Jumat, 22 Januari 2010

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta (Bab II)

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta
Oleh : Erjie Al-Batamiy

BAB II

Awal pertemuan

Dari remang-remang kejauhan di ufuk timur sana, sinar mentari berpendar menyelimuti hawa sejuk di pagi itu. Saat itu lebih kurang pukul 6 pagi. Ryan melakukan beberapa gerakan kecil agar tubuhnya menjadi sedikit bugar. Hari minggu itu Ryan telah merencanakan sesuatu . Ia ingin pergi ke toko buku selepas zuhur.

Telah menjadi kebiasaannya untuk minimal seminggu sekali membeli buku, namun karena padatnya aktivitas yang dilakukannya pada akhir-akhir ini, membuat banyak buku yang telah di beli olehnya hanya tersusun rapi di rak buku tanpa sempat di bacanya.

Sebetulnya ia merasa tak nyaman akan hal ini. Ia merasa telah berlaku boros karena membeli banyak buku tanpa tindak lanjut untuk membacanya, namun hari itu ia tetap dengan rencananya semula untuk pergi ke toko buku, melihat-lihat buku, kalau-kalau ada yang bagus, apalagi kurang lebih dua hari yang lalu baru saja dibuka sebuah toko buku baru, Ryan menjadi penasaran dan ingin melihat-lihat koleksi buku di toko buku tersebut.

Hari minggu merupakan hari libur bagi anak-anak Inferno Band. Hari ini biasa digunakan bagi mereka untuk re-freshing. Melapangkan jiwa, dan menyegarkan kembali mentalitas diri. Tak terkecuali bagi Ryan, walau momen ini sedikit terusik oleh kehadiran mimpi yang ia alami tadi malam, oleh karena itu ia juga berencana hari ini untuk menemui sahabat karibnya, Maulana. Untuk bertukar pikiran mengenai hal yang menimpa dirinya. Sekaligus melepas rindu dan memperbaharui tali silahturahim di antara mereka.

Ass.akh, pa kabar ? semoga antum dalam keadaan baik aja (Insya Allah)

Afwan klo ana baru sempat ngirim kabar. (Baru sms klo lagi ada perlu aja he9x)

Antum ntar sore ada di tempat g ? ana mo kesana, ada perlu, sekalian silahturahim. Syukron..

Begitu tulis Ryan dalam sms-nya. Pesan-pun di kirim.


Tak berapa lama datang sms balasan dari Maulana, berbunyi :

W3. Alhamdulillah ana dlm kedaan sehat, Antum datang aj, ana hari ini g kemana-mana kok.

Ryan merasa lega membaca sms balasan karibnya tersebut, tanpa membuang waktu ia bergegas mandi dan sarapan. Kebetulan Dor baru saja pulang membawa tiga bungkus nasi uduk, dengan sigap Ryan menuju dapur mengambil tiga piring makan dan tiga gelas minum untuk dirinya dan dua sahabatnya. Obrolan-obrolan kecil terjalin di antara mereka bertiga. Hampir saja Ryan ingin menceritakan tentang mimpi yang di alaminya, namun niat tersebut diurungkannya. Sebaiknya tidak ia ceritakan hal ini pada sembarang orang, pikirnya. Cukuplah pada orang-orang yang sangat dekat dengannya. Jika tidak pada Maulana maka pada Iqbal seorang karibnya yang lain.

Setelah melewati waktu zawal, suara adzan dari masjid di samping rumah Ryan berkumandang kembali, tanda telah masuk waktu zuhur, dengan penuh semangat Ryan bersiap diri memenuhi panggilan Rabb-nya, setelah mengerjakan shalat qabliah zuhur di rumah, bergegas ia pergi menuju masjid bersama dengan jamaah lainnya.

Saat itu jamaah shalat zuhur terlihat lebih banyak dari hari biasanya. Kebetulan hari itu hari minggu, sehingga banyak jamaah yang sebagian besar bapak-bapak sedang libur kerja.

Selesai shalat para jamaah sibuk dengan wiridnya masing-masing, tak terkecuali Ryan. Selesai wirid para jamaah pada berdiri mendirikan shalat ba’diyah dzuhur, namun berbeda dengan Ryan, setelah selesai wirid ia langsung pulang ke rumah untuk mengerjakan shalat ba’diyah-nya di rumah, karena menurutnya itu lebih utama.

Di dalam hati ia berkata, mungkin ini yang di maksud oleh Rasullullah tentang menjadi orang yang terasing, dan mungkin aku ditakdirkan untuk itu”. Tanpa ia sadari bahwa apa yang baru saja diucapkannya telah menjadi kenyataan untuk saat ini dan untuk waktu yang akan datang.

Setelah shalat ba’diyah di kerjakan, Motor di panaskan dan Ryan telah siap untuk keluar rumah. Dimulai dengan doa, kemudian melangkahkan kaki kanannya, Ryan pergi melaksanakan rencana yang ia niatkan tadi pagi.


...SELESAI SHALAT PARA JAMAAH SIBUK DENGAN WIRIDNYA MASING-MASING, TAK TERKECUALI RYAN. SELESAI WIRID PARA JAMAAH PADA BERDIRI MENDIRIKAN SHALAT BA’DIYAH DZUHUR, NAMUN BERBEDA DENGAN RYAN, SETELAH SELESAI WIRID IA LANGSUNG PULANG KE RUMAH UNTUK MENGERJAKAN SHALAT BA’DIYAH-NYA DI RUMAH, KARENA MENURUTNYA ITU LEBIH UTAMA...

...DI DALAM HATI IA BERKATA, MUNGKIN INI YANG DI MAKSUD OLEH RASULLULLAH TENTANG MENJADI ORANG YANG TERASING, DAN MUNGKIN AKU DI TAKDIRKAN UNTUK ITU”. TANPA IA SADARI BAHWA APA YANG BARU SAJA DIUCAPKANNYA TELAH MENJADI KENYATAAN UNTUK SAAT INI DAN UNTUK WAKTU YANG AKAN DATANG...

***

Mentari terasa cukup menyengat siang itu. Desingan klakson dan deru kendaraan serta umpatan para pengedara meriuhkan suasana di sepanjang jalan, dari arah utara, motor Ryan melaju sedang menuju toko buku baru yang ingin dikunjunginya, sesampainya disana, ia sibuk mencari tempat parkir kosong untuk kendaraan roda dua miliknya, begitu mendapatkannya, ia melepaskan helm, mengunci stang motor, dan mengambil karcis parkir.

Dengan santai Ryan berjalan dan sesekali matanya melirik kesana kemari untuk melihat-lihat koleksi buku yang ada. Ia membuka dan membolak-balikkan halaman demi halaman dari beberapa buku yang agak mencuri perhatiannya. Buku sejarah, buku sastra, buku kesehatan semua dijamahnya.

Dari sebelah kanan derap lembut suara sepatu perlahan menuju ke arahnya, lalu terhenti sejenak ketika seorang gadis kecil berumur lebih kurang 8 tahun terlihat kebingungan, dengan ramah si empunya sepatu menyapa,

“Sedang cari buku apa dik ?” senyum-pun mengiringi pertanyaan ramah tersebut.

“Komik-komik di mana ya mbak ?” tanya si gadis kecil

“Adik sedang mencari komik apa ?”

“Komik Doraemon..!”

“Oh..komik Doraemon di sebelah sana dik..” seraya menunjukkan sebuah rak berisi puluhan komik
Tak ayal dialog antara si gadis kecil dan wanita yang tak lain bekerja di toko buku itu mengundang perhatian Ryan. Matanya melirik sebentar ke arah itu. Tadinya ia hanya ingin melihat sekilas, namun selang beberapa detik kemudian entah mengapa tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang.

Subhanallah, ungkap hatinya penuh ketakjuban.

Secara spontan matanya melirik kembali ke arah wanita itu. Ia tahu ini salah. Ia tahu pandangan ini merupakan salah satu dari anak-anak panah iblis. Tak seharusnya ia mengulangi pandangannya, dan bukannya ia tak mengerti akan perintah Allah untuk menahan pandangan, namun ini terlalu sulit. Kecantikan wanita itu terlalu mencolok di bandingkan wanita sekitarnya, bahkan bila di bandingkan dengan wanita-wanita cantik yang sering di temuinya dalam berbagai kesempatan.

Sekali lagi ia arahkan pandangannya kearah wanita itu. Kali ini ia memandang lebih lama, dan bergumam,

Dia sungguh berbeda.

Aura kecantikan yang di pancarkan wanita itu begitu terasa berbeda dengan yang di pancarkan wanita cantik lainnya. Kesopanan pakaiannya, santun lakunya, bening tatapnya, tulus senyumnya, sungguh-sungguh menawarkan sesuatu yang beda. Sesuatu yang belum pernah di saksikan seumur hidup Ryan, dari dandanannya mudah ditebak bahwa wanita tersebut seorang akhwat.

Subhanallah.. Sungguh luar biasa karya Tuhanku yang satu ini. Ya Allah sesungguhnya Engkaulah sebaik-baiknya pencipta.

Tanpa sadar sosok wanita itu berjalan ke arahnya. Keruan saja Ryan menjadi salah tingkah dan mencoba pura-pura membaca buku yang ada di tangannya, namun baru saja wanita tersebut akan beranjak dari hadapannya, tiba-tiba saja mulut Ryan bergeming,

“Mba’ !?!”

“Ya..” jawab wanita itu

Ryan menjadi kikuk. Seakan-seakan mulutnya berujar dengan sendirinya, tanpa di sadari atau di sengaja, karena jauh di alam bawah sadarnya sesungguhnya hal itu tak lain merupakan dorongan batinnya, dengan sedikit debaran, ia mencoba untuk tetap terlihat cool.

...AURA KECANTIKAN YANG DI PANCARKAN WANITA ITU BEGITU TERASA BERBEDA DENGAN YANG DI PANCARKAN WANITA CANTIK LAINNYA. KESOPANAN PAKAIANNYA, SANTUN LAKUNYA, BENING TATAPNYA, TULUS SENYUMNYA, SUNGGUH-SUNGGUH MENAWARKAN SESUATU YANG BEDA. SESUATU YANG BELUM PERNAH DI SAKSIKAN SEUMUR HIDUP RYAN, DARI DANDANANNYA MUDAH DITEBAK BAHWA WANITA TERSEBUT SEORANG AKHWAT...

...SUBHANALLAH.. SUNGGUH LUAR BIASA KARYA TUHANKU YANG SATU INI. YA ALLAH SESUNGGUHNYA ENGKAULAH SEBAIK-BAIKNYA PENCIPTA...

“Mba’ saya sedang cari buku “Kesaksian yang terabaikan” terbitan Nurulhaq Publishing, kira-kira masih ada ngga’ ya ?”

“Sudah di cek datanya di komputer mas ?” tanya wanita itu tanpa memperhatikan pertanyaan Ryan secara seksama.

“Tadi sih udah tapi hasilnya nihil. Saya cuma mau nanya aja, mungkin masih ada stok lamanya di gudang. Soalnya saya sudah cari kemana-mana tapi belum ketemu juga!”

“Bukunya terbitan tahun berapa mas ?”

“Cetakan pertamanya tahun 1999, tapi kalo untuk cetakan selanjutnya saya kurang tahu, mungkin cuma ada cetakan pertamanya aja”

“Oh..begitu! gini mas, kalaupun ada digudang kita sebagai stok lama tetap aja tidak kita entri di computer, karena maksimal buku-buku yang kita entri di komputer cuma buku yang terbitan terakhirnya sampai dengan tujuh tahun yang lalu”

Tiba-tiba wanita tersebut teringat akan sesuatu dan kembali bertanya kepada Ryan untuk meyakinkan ingatannya.

“Tadi kalo gak salah mas bilang judul bukunya “Kesaksian yang terabaikan” ya, itu buku terjemahankan?

“Iya, benar sekali mba’”

“Itukan buku lama mas dan kalo saya gak salah dengar-dengar isunya buku tersebut sengaja dihilangkan dari pasaran karena content-nya...” wanita tersebut memberi jeda pada ucapannya.

“Menyudutkan salah satu kelompok?” Ryan coba menyambung kalimat yang terputus tersebut dan hanya anggukan yang diberikan oleh wanita tersebut.

Dan aku tahu sekali kelompok mana yang merasa disudutkan akibat terbitnya buku tersebut, aku yakin aku pernah melihat buku tersebut. Iya aku yakin aku pernah melihat buku tersebut dan semoga aku masih bisa menemukannya disitu. Judul asli buku tersebut ialah “Ignoring Testimony : Testimony from The Former of God Soldier” terbitan pertama tahun 1984, dua tahun setelah kejadian itu. Ya Allah apakah ini takdir-Mu? Mengapa tiba-tiba saja datang seorang lelaki kepadaku dan menanyakan tentang buku itu? Ataukah ini sekedar kebetulan belaka? Atau jangan-jangan? Laa hawla walaa kuwwatillabillaah. Tapi untuk apa lelaki ini mencari buku tersebut, sekedar hobi bacakah atau …” wanita itu membatin, sejenak pikirannya menerawang melintasi celah masa silam, menuruni bukit kesedihan dan terhempas didalam jurang kepedihan. Terbayang untuk kesekian kalinya wajah rupawan seorang lelaki yang sangat dia cintai...

Kakak..

Andai saja saat itu dia sedang sendiri dan tiada seorangpun disekitarnya, tentulah aliran air mata kerinduan tak akan mampu ia bendung, cukuplah kini hanya di batin saja.

“Iya sih saya dengar juga begitu, katanya sengaja dihilangkan dari pasaran, gak tahu benar apa tidak, makanya daripada penasaran mending saya cari aja” jawab Ryan enteng,karena dia tidak tahu detil isi dari buku tersebut, yang dia tahu hanya sebatas sinopsisnya saja.

“Kalo boleh tahu buat apaan ya buku itu ?” Tanya wanita itu penuh selidik.

Ryan sedikit tersenyum lalu berkata, “ Ya… sebenarnya hanya buat tambahan referensi bacaan saya saja mbak.”

...DAN AKU TAHU SEKALI KELOMPOK MANA YANG MERASA DISUDUTKAN AKIBAT TERBITNYA BUKU TERSEBUT, AKU YAKIN AKU PERNAH MELIHAT BUKU TERSEBUT. IYA AKU YAKIN AKU PERNAH MELIHAT BUKU TERSEBUT DAN SEMOGA AKU MASIH BISA MENEMUKANNYA DISITU. JUDUL ASLI BUKU TERSEBUT IALAH “IGNORING TESTIMONY : TESTIMONY FROM THE FORMER OF GOD SOLDIER” TERBITAN PERTAMA TAHUN 1984, DUA TAHUN SETELAH KEJADIAN ITU. YA ALLAH APAKAH INI TAKDIR-MU? MENGAPA TIBA-TIBA SAJA DATANG SEORANG LELAKI KEPADAKU DAN MENANYAKAN TENTANG BUKU ITU? ATAUKAH INI SEKEDAR KEBETULAN BELAKA? ATAU JANGAN-JANGAN? LAA HAWLA WALAA KUWWATILLABILLAAH. TAPI UNTUK APA LELAKI INI MENCARI BUKU TERSEBUT, SEKEDAR HOBI BACAKAH ATAU …” WANITA ITU MEMBATIN, SEJENAK PIKIRANNYA MENERAWANG MELINTASI CELAH MASA SILAM, MENURUNI BUKIT KESEDIHAN DAN TERHEMPAS DIDALAM JURANG KEPEDIHAN. TERBAYANG UNTUK KESEKIAN KALINYA WAJAH RUPAWAN SEORANG LELAKI YANG SANGAT DIA CINTAI...

Wanita tersebut mengambil inisiatif dan menawarkan kepada Ryan untuk mencarikan buku yang sedang dicari oleh Ryan.

“Kalau memang perlu saya bisa bantu nyariin atau pesan, dan kalau ada yang lainnya sekalian saja. Catat di sini saja mas.” Seraya menyodorkan kertas dan pena yang dari tadi berada di tangan kanannya.

Ryan mengambil kertas dan pena tersebut, sambil mencatat, sesekali ia mencoba mengingat daftar buku-buku yang agak sulit di dapatkannya, setelah selesai, kertas dan pena yang ia gunakan di kembalikan olehnya.
“Toko buku ini baru bukakan mba’? baru dua harikan?”

Ryan mencoba mengalihkan topik pembicaraan dari seputar buku tadi, dan sekedar berbasa-basi, karena sebenarnya tanpa bertanya-pun dia sudah tahu jawabannya. Ia hanya berusaha mengulur waktu agar bisa lebih lama bersama. Ia tak bisa memahami perasaan aneh yang hinggap padanya saat itu. Ia betul-betul merasa nyaman dan tak ingin wanita itu beranjak dari situ.

“Iya baru dua hari.. Mas sering hunting buku-buku ya. Buku apa aja yang mas sering baca ? Disini koleksi buku-buku kita lumayan lengkap lho.”

Sambil mendengar, Ryan mencoba untuk mencuri pandang. Matanya tertuju pada sebuah co-card yang menggantung pada wanita itu. Di situ terdapat sebuah nama “IRA FAYZA KHAIRY.”

Oh.. Ira namanya..

Tiba-tiba ada sesuatu yang mengusik batinnya. Sedikit curiga ia memperhatikan kembali nama belakang wanita itu, kemudian pandangannya beralih pada sebuah papan besar yang berada tak jauh dari atas kepalanya. Disitu tertulis dengan jelasnya, “TOKO BUKU KHAIRY.”

“Ada apa mas..?” tanya wanita itu sedikit keheranan, melihat gelagat lain dari Ryan.

“Mba’ yang punya toko ini ya..?” tanya Ryan serius.

“Mas tahu dari mana ?”

“Itu!” seraya menunjukkan nama belakang pada co-card yang menggantung pada diri wanita itu, sejurus kemudian mata wanita itu tertuju pada co-card yang dimaksud.

“Kebetulan iya..”

“Oh.. kirain mba’ pegawai disini, mana pake’ co-card kayak gitu”

“Yaa.. mas, masa’ yang boleh pake co-card cuma pegawai aja, tapi asumsi mas gak salah kok, memang saya kerja disini, sebagai manajer. Toko buku ini milik papa, dan saya diberi amanah oleh beliau untuk mengurus toko ini, sekalian belajar bisnis, gitu kata beliau.”
“Kalo gitu papa-nya mba’ ngurus bisnis yang lain ya ?”

“Iya, papa ngurus bisnis yang lain. Alhamdulillah untuk saat ini kita udah punya 3 toko buku. Pusatnya di Jakarta dan cabangnya ada di Bandung dan Jogja. Hm.. tapi ngomong-ngomong nih mas, kok bisa sampe perhatiin co-card saya segala ya, mas termasuk cowok yang telaten ya.”

Masya Allah, ini pujian apa sindiran. Masa’ dia bilang aku cowok yang telaten, maksudnya? Ih.. nyindir banget nih mba’.

Ryan menggerutu didalam hati. Timbul perasaan tidak enak dan juga malu. Ia tahu dia salah dan kenapa juga matanya harus memperhatikan hingga ke co-card segala. Sindiran yang cerdas pikirnya. Ryan berpikir sejenak untuk memberikan jawaban yang sekiranya mampu menyelamatkan mukanya.

“Kalo saya sampe memperhatiin co-card-nya mba’, itu sebagai wujud dari sikap wara’ lho mba’.”

“Wara’ ?” Tanya wanita itu keheranan.

“Iya, Wara’. Saya memperhatikan co-card mba’ sebagai wujud kehati-hatian saya atau penjagaan diri dari perbuatan sia-sia. Untuk mastiin bahwa orang yang sedang saya tanyakan mengenai buku yang saya cari adalah orang yang mengerti akan informasi buku-buku di toko buku ini, dan orang tersebut tidak lain pastilah pegawai toko buku ini bukan? Nah sekarang saya nanya ke mba’ nih, cara apakah yang paling efektif untuk mengetahui bahwa orang tersebut merupakan pegawai toko buku ini atau bukan?”

Tanpa wanita itu sempat menjawabnya, Ryan langsung menimpali,

“Tentu salah satu caranya dengan melihat co-card kan?”

Wanita itu hanya diam sambil bibirnya mengulas senyum tipis.

“Coba mba’ bayangkan, kalo aja orang yang sedang saya tanyain ternyata bukan pegawai toko buku ini, kan sia-sia jadinya pertanyaan saya, jadi gak efisien dan buang-buang waktu aja. Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia.”

Kok bisa ya ngasi jawaban kayak gitu. Semoga ini hanya prasangka buruk-ku saja bahwa dia sedang ngeles. Hm.. smart answer.

Sejenak keduanya terdiam.

“Tapi terlepas dari itu semua, saya minta maaf ya mba’, saya hanya mencoba untuk mengklarifikasi, afwan jiddan kalo saya sedikit lancang, tapi insya Allah saya gak punya maksud gimana-gimana.”

“Gak apa mas, saya sendiri juga bingung apa yang mau saya maafkan, wong gak ada yang salah kok menurut saya, tapi jawaban mas barusan cukup religius”

“Religius? Mba’ ngejek ya?” Ryan balik bertanya.

“Eh nggak kok, that’s a nice answer I have ever heared,dan nggak nyangka aja”

“Nggak nyangka? Maksudnya?” Ryan semakin bingung.

Wanita itu berusaha menghindar untuk menjawab pertanyaan Ryan, walau dalam hatinya ia berkata,

Nggak nyangka kalo melihat tampilan luarnya.

“Mas ngaji dimana?”

Oh.. Ryan bergumam dan mulai paham arah pembicaraan wanita itu.

Dengan respon yang cool, Ryan menjawab,

“Saya rasa bukan masalah ngaji dimana-nya, kalo mba’ coba menghubung-hubungkan dengan jawaban saya tadi, tapi lebih karena karena saya rajin dan “telaten” (sambil memberi respon menyindir balik) membaca buku, ditambah pula dengan melihat style mba’ tebakan pertama saya, ya.. mba’ adalah seorang akhwat, jadi saya hanya berusaha untuk menyesuaikan gaya bahasa dengan lawan bicara itu saja.”

Oh.. begitu, ini mas malah nyindir balik.

“Tapi ngomong-ngomong kita belum kenalan nih dari tadi, salam ta’aruf saya Ryan.”

“Salam ta’aruf juga dari saya, saya Ira.”

Mereka saling memperkenalkan diri masing-masing tanpa melakukan ritual berjabat tangan. Tak terasa dialog yang mereka lakukan telah membuat sang waktu berlalu selama kurang lebih sepuluh menit.

“Ok mba’ Ira terima kasih ya untuk waktu dan bantuannya, saya tunggu kabar bukunya ya.”

“Oh ya mas saya minta nomor yang bisa dihubungi, untuk ngasi kabar mengenai pesanan buku-buku tadi.”

Ira menyodorkan kembali kertas yang tadi dia berikan ke Ryan untuk menulis buku-buku yang akan dipesan, sejurus kemudian Ryan mencatat nomor ponsel pribadi miliknya dikertas tersebut.

“Baiklah mas Ryan saya permisi dulu dan silahkan mas untuk melihat-lihat koleksi buku lainnya.”

“Ok mba’ Ira, syukron ya”

Masing-masing dari mereka berlalu, namun tiba-tiba,

“Mas Ryan !” Ira memanggil kembali.

Dia memanggilku kembali. Ada apakah gerangan. Ryan terkejut mendengar Ira memanggil namanya kembali. Menyeruaklah didalam hatinya perasaan “GR”, dengan mantap dan penuh percaya diri dia membalikkan badan,

“Ada apa mba’ ?”
“Itu tali sepatunya lepas, katanya mas orang yang “wara’” (sambil memberikan sindiran balasan), hati-hati lho entar bisa jatuh.”

Ya kirain mau ngomong apa, udah GR aja. Sindiran balasan rupanya. Gak apa-apalah Allahummaghfirli..”

“Syukron untuk informasinya mba’, jazakillah khair” Jawab Ryan sambil tersenyum.

“Wa iyyakum.” Ira ikut tersenyum.

Afwan ya mas, gak ada maksud apa-apa kok, cuma iseng he..

Menyadari hari mendekati sore, Ryan menyudahi tamasyanya di toko buku dan membawa beberapa buku ke kasir untuk di belinya, setelah membayar buku yang hendak di belinya tadi, kembali ia alihkan pandangannya mencari-cari sosok Ira yang kala itu sedang merapikan beberapa buku yang agak berserakan di rak buku, saat itu Ira sama sekali tak menyadari bahwa dari kejauhan ada sepasang mata sedang menatapnya, sambil senyum-senyum sendiri Ryan berjalan keluar menuju parkiran.

***

Ada sesuatu yang menggelitik perasaan Ryan dari kejadian yang baru saja di alaminya. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya membuat dirinya sangat takjub melihat wanita tadi. Jika karena kecantikan wajahnya, itupun di akui oleh Ryan. Wajahnya memang cantik, tapi itu saja tak kan cukup. Bukankah dia sudah sering bertemu dengan wanita-wanita cantik dalam berbagai kesempatan, tapi perasaannya biasa saja saat melihat mereka. Tak seperti saat melihat wanita tadi. Ada semacam perasaan lain dalam dirinya.

Bukanlah kecantikan wanita itu yang menjadi faktor utama keinginanku untuk melihatnya berulang kali, walau ku akui faktor itu mungkin saja ada, tapi ku tetap yakin itu bukanlah faktor yang utama, pasti ada hal lainnya.

Berpikir dan terus berpikir akhirnya ia sedikit menemukan jawaban dari pertanyaan batinnya.

Ada sesuatu lain yang melekat pada diri wanita itu. Sesuatu yang jauh lebih anggun dari pada sekedar keindahan fisik belaka. Sesuatu yang terpatri rapi di dalam relung jiwanya, yaitu keindahan hatinya.

Kemilau wajahnya mungkin saja merupakan refleksi keindahan yang terpancar dari kecantikan akhlaknya, dan kecantikan wajah yang tampak darinya tersempurnakan oleh kecantikan hati yang selalu dia jaga di manapun ia berada. Mungkin asumsiku ini terlalu terburu-buru atau bahkan berlebihan, entahlah.. aku tahu pendapatku ini bukanlah lahir dari sebuah pengamatan yang mendalam dan nalar, lebih kepada prasangka atau firasat atau apalah namanya.. atau karena hatiku telah ... ah tidak, bukan itu, bukan itu Ryan .. Hey wake up man.. Hati-hatilah saat nafsu telah melogika..

Hm.. by the way tumben-tumbenan akhwat kok supel ya he.. Semoga prasangkaku ini benar, walau kuakui terkadang memang sulit untuk membedakan mana sifat supel mana yang kelewat ramah terhadap lawan jenis, entahlah ..

Jawaban tadi kiranya sementara cukup memuaskan bagi Ryan untuk menghilangkan sedikit ganjalan pada hatinya. Jawaban terhadap misteri yang menyelimuti keanggunan yang ada pada diri Ira.

***

Sambil menyanyikan lagu favoritnya yaitu lagu ciptaannya sendiri, ia pacu kendaraan roda duanya menuju Masjid Baitul Hikmah. Tempat di mana Maulana, sahabat karibnya tinggal sebagai penjaga masjid bersama dengan aktivitis dakwah lainnya. Kendaraan dipacu dengan cukup kencang olehnya. Ia ingin mengejar waktu untuk sholat ashar berjamaah di sana.

Sudah lumayan lama ia tidak bersua dengan Maulana. Hampir satu bulan kiranya. Terakhir bertemu saat ia meminjamkan Maulana sebuah buku tentang Fiqh siyasah (fiqh politik). Kala itu kebetulan Maulana sedang bertamu ke rumah Ryan. Mengingat kejadian lampau tersebut membuat Ryan tergugah akan kenangan-kenangan masa silam saat ia dan Maulana masih sama-sama duduk di bangku SMA di tempat asal mereka, Batam. Pada waktu itu tali pertemanan yang terjadi di antara mereka terjalin dengan amat baik dan semakin baik hingga saat ini.

Mereka bertekad untuk saling membantu baik dalam keadaan senang maupun susah, bahkan dulu mereka sering bolos bareng, kemudian jika pacaran inginnya jadian bareng. Tak jarang juga mereka saling bantu saat sedang berkelahi dengan orang lain tanpa peduli siapa yang salah dan siapa yang memulai lebih dulu.

Perbedaan yang sangat tampak antara keduanya ialah kegemaran atau kecenderungan mereka masing-masing. Jika Ryan lebih senang dengan musik, berbeda dengan Maulana yang lebih senang untuk ikut aktif dalam organisasi intra sekolah atau OSIS dan sejenisnya. Tak mengherankan di kemudian hari ketika mereka telah sama-sama menjadi seorang ikhwan, maka kegemaran masing-masing dari mereka pada saat SMA tetap mereka jalani. Maulana di bidang pergerakkan mahasiswa sementara Ryan di bidang musik, namun dengan kapasitas masing-masing, mereka saling mengakui dan menghargai bahwa mereka adalah sama-sama aktivis Islam dan bertekad untuk menjadi Jundullah, bagian dari pasukan Allah yang berjuang untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.

Setelah lulus SMA mereka sepakat untuk sama-sama kuliah di Jogjakarta. Pada akhirnya Maulana di terima di FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) UGM, sedang Ryan di terima di Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembanguan UII (Universitas Islam Indonesia).

...MEREKA SALING MENGAKUI DAN MENGHARGAI BAHWA MEREKA ADALAH SAMA-SAMA AKTIVIS ISLAM DAN BERTEKAD UNTUK MENJADI JUNDULLAH, BAGIAN DARI PASUKAN ALLAH YANG BERJUANG UNTUK MENEGAKKAN KALIMATULLAH DI MUKA BUMI INI...

***
Tak berapa lama Ryan telah sampai ke tempat tujuannya, dari depan aula masjid tampak wajah penuh keakraban menyambut kedatangannya, dengan senyum yang teduh Maulana menyapa sahabatnya itu dengan salam.

“Assalamu’alaikum.!”

“Wa ‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barukatuh.” Jawab Ryan.

Dengan dandanan khas aktivis pergerakkan, maulana mengajak Ryan untuk menuju ke kamarnya yang berada dibelakang masjid. Obrolan-obrolan ringan sambil di selingi tawa kecil menghiasi perjumpaan mereka.

Di depan aula masjid tampak beberapa orang ikhwan sedang berdiskusi. Mereka tampak asyik dan larut dalam suasana tersebut, kemudian fokus mereka sedikit teralihkan dengan kedatangan Ryan. Mereka dan Ryan saling bertatapan kemudian saling melempar senyum.

Suasana keilmuan dan islami terasa sekali saat Ryan memasuki kamar Maulana. Persis di sebelah kasur berjejer buku-buku yang tertata rapi dalam sebuah almari kaca. Di seberang rak terdapat bermacam kaset nasyid dan belasan vcd islami.

“Ada gerangan apa engkau ingin menemuiku ?” tanya Maulana dengan sedikit bercanda.

“Waduh maen nanya langsung aja antum, persilahkan dulu kek tamunya masuk. Kayaknya buru-buru nih, antum lagi ada kesibukan ?”

“Oh.. afwan, gak kok, lagi gak sibuk akh, ana cuma penasaran saja apa yang mau antum bicarain, tumben pasti penting nih. Mari akh silahkan masuk” Maulana mempersilahkan sahabatnya masuk.

“Ngomong-ngomong liqo’ antum gimana, masih jalan ? katanya antum baru pindah alamat.” Sambung Maulana.

“Iya ana baru pindah alamat, ana ditransfer dan lokasi liqo’ jadi berubah di daerah Pogung. Alhamdulillah surat rekomendasi dari Murobbi sudah ana dapatkan tapi ana belum sempat menghubungin Murobbi yang baru, jadinya udah dua minggu ana gak liqo’” Ryan coba menerangkan dan tanpa membuang waktu lagi ia coba utarakan maksud hatinya untuk menemui Maulana,

“Ada sesuatu penting yang ingin ana bicarakan.”

“Apaan ? Mau konsultasi cinta ?” kembali Maulana bertanya dengan nada bercanda.

“Antum bisa aja..! Bukan itu maksud kedatangan ana kesini. Ana kesini untuk bertukar pikiran dengan antum mengenai mimpi yang ana alami tadi malam.”.

Dengan lancar Ryan menggunakan kosakata khas para ikhwan. Ia melakukan ini semata-mata hanya untuk menyesuaikan diri dengan obyek bicaranya seperti dengan Ira di toko buku tadi, sehingga gaya bicaranya akan berbeda jika ia bertemu dengan teman-teman bandnya atau teman-teman di lingkungan pergaulan lainnya.

“Mimpi !?.. Mimpi buruk ya ?”

“Bagi ana sih ini mimpi buruk.” Dengan menghirup napas yang cukup panjang Ryan coba melanjutkan ceritanya.


Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar