Selasa, 12 Januari 2010

Cerpen : Ketika Harus Memilih I


Cerpen : Ketika Harus Memilih I
Oleh : Erjie Al-Batamiy

“Ya Allah kuatkanlah hamba, tuk menerima takdir-Mu dengan segenap hati, dan tunjukkan selalu cahaya cinta-Mu sehingga hamba mampu tuk tetap berjalan meski terang itu telah lenyap saat Kau putuskan perpisahan bagi Kami berdua ....”

Ryan berusaha memperbanyak dzikir untuk mengingat Allah, istighfar menjadi andalannya. Itulah satu-satunya cara yang ia ketahui saat ini untuk membuat dirinya tetap tenang dan bertahan, saat sedang menikmati makan siang setelah melaksanakan sholat dzuhur, tanpa ia duga ternyata Allah telah memberikan keputusan yang sangat menentukan bagi dia dan Ira. Siang itu Ira mengirimkan pesan pendek melalui ponselnya kepada Ryan:

“Assalamu’alaikum... Akhi gimana kabarnya..” tulis Ira dalam pesan pendeknya.

“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah baik.. Ukhti gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah baik juga.. Akhi... ada yang mau ana ceritakan”

“Silahkan ya ukhti” jawab Ryan.

“Tapi ana mohon akhi jangan kaget dengan kabar ini, dan ana berharap akhi bisa menyikapi kabar ini dengan ikhlas karena yang selama ini ana kenal akhi adalah seorang yang arif & bijak”

Langsung saja Ryan mengerutkan dahinya, darahnya berdesir dan jantungnya berdegub kencang seakan tak ingin ketinggalan tuk meramaikan situasi. Ryan bingung harus menjawab apa, walau dia mengerti apa maksud dari pesan pendek yang baru saja dikirimkan Ira, berusaha untuk tetap tenang Ryan menjawab,

“Insya Allah ana tidak apa-apa ukh.. Ceritakan saja ada apa.. Kenapa? Ukhti mau nikah ya?”

“Bismillah.. Insya Allah awal tahun depan ana mau nikah, calonnya dipilihkan orang tua, seminggu yang lalu ana udah dikhitbah.. Hingga saat ini ana masih terus istikhoroh, mohon doanya ya akh.. Semoga Allah senantiasa menjaga ana dan ditunjukan jalan yang terbaik.. Ana minta maaf ya akh kalo selama ini banyak salah & khilaf.”


Coba untuk kuatkan hati, pesan pendek tersebut dijawab oleh Ryan,

“Alhamdulillah kalo gitu ukh.. Insya Allah ana akan selalu doakan ukhti, dan Insya Allah, Allah akan selalu memperlakukan kita secara makruf.. amin”

“Besar harapan ana semoga ukhuwah ini tidak akan pernah terputus dan semoga Allah menjaga & menggolongkan kita menjadi orang-orang yang beruntung dunia&akhirat, amin. Sampaikan salam ana untuk keluarga akhi, jazakaullah khairan ...”

Ryan menyandarkan badannya di kursi, santapan makan siang tak urung dihabiskannya, nafsu makannya sudah hilang. Melihat jam telah menunjukan pukul 12.50, itu artinya jam istirahat siang sudah hampir habis dan ia harus bergegas menuju kantornya untuk kembali bekerja.

Setiba di meja kerjanya, Ryan langsung duduk di kursi, tak kuasa rasanya untuk tetap berdiri, tumpukan pekerjaan dan ketikan yang harus diselesaikan tak terlalu digubrisnya. Ryan termenung, galau untuk menentukan sikap, sekuat apapun iman yang ia miliki dan ilmu yang ia ketahui rasanya untuk sementara ini tak mampu untuk meredam gundah hatinya, bibirnya hanya berusaha untuk tetap berzikir. Tepat pukul 15.00 Ryan minta izin pulang kerja lebih awal, dia beralasan kalau kondisi fisiknya kurang sehat.

***

Akhirnya inilah yang telah diputuskan Allah bagi Ryan dan Ira, setelah dua tahun diperjuangkan, namun inilah yang dikehendaki Allah. Ryan sadar dia telah ikhtiar semampunya, akan tetapi untuk hasil akhir biarlah hal tersebut menjadi urusan Allah, dia bertawakal, menyerahkan semuanya kepada Allah.

Dua tahun lalu gerbang hati yang selama ini ditutup rapat olehnya telah dia buka untuk seorang akhwat bernama Ira, gayung bersambut, ternyata Ira menerima cintanya dan mereka sepakat untuk menikah, namun Allah maha kuasa untuk menentukan segalanya, orang tua Ira sangat tidak setuju dengan pilihan Ira dan meninginkan Ira menikah dengan calon yang dipilih oleh orang tuanya, karena menurut orang tua Ira, merekalah yang paling tahu dan mengerti bagaimana cara untuk membahagiakan putrinya, Ryan keberatan menerima keadaan itu dan telah berkali-kali mencoba untuk meyakinkan Ira agar bersama-sama dengan Ryan meyakinkan orang tuanya, namun gagal.

Sebulan yang lalu Ryan dan Ira sepakat untuk menyudahi perjuangan mereka dalam meyakinkan orang tua Ira dan menghentikan serta membuang jauh-jauh mimpi mereka tuk menikah, namun saat itu Ryan sempat mengatakan pada Ira :

“Sungguh ukh, sejujurnya hingga saat ini perasaan ana terhadap ukhti masih seperti dulu, dan wallahu’alam entah sampai kapan perasaan tersebut akan tetap bertahan. Jauh dari lubuk hati ana, ana tetap berharap agar bisa menikah dengan ukhti, dan berharap semoga saja Allah menurunkan keajaiban dan memperkenankan kita tuk menikah. Ana bertekad akan menunggu ukhti dan tidak ingin membuka hati ana untuk wanita lain, namun penantian tersebut akan berakhir manakala ukhti telah menikah dengan lelaki lain.”

Sambil meneteskan air mata, Ira coba untuk mencurahkan perasaan hatinya,
“Sungguh akh, ana juga masih memiliki perasaan yang demikian terhadap akhi, namun apa yang sanggup ana perbuat.. Sebaiknya akhi tidak perlu menunggu ana lagi, kasian akh dengan akhwat-akhwat lainnya yang mungkin lebih siap dan lebih baik dari ana untuk menikah dengan akhi, jangan akh, akhi tidak perlu berharap lagi, karena ana sendiri tidak berani mengharapkannya lagi, semakin ana berharap semakin perasaan ini sakit akh”

“Entahlah, ana tidak bisa menjawabnya sekarang, tapi biarlah semua berjalan apa adanya. Ya ukhti bolehkan ana ajukan satu permintaan kepada ukhti?”

“Apa itu akh?”

“Sudikah ukhti jika kelak kita memang tidak berjodoh, dan ukhti menikah dengan lelaki lain, lelaki tersebut adalah lelaki yang betul-betul kepadanya ukhti memiliki ketertarikan, bukan karena paksaan dan juga korban perasaan, dan Insya Allah ana bisa mengiklashkan ukhti untuk menikah dengan lelaki lain”

Ira terdiam seribu bahasa, permintaan yang mustahil menurutnya, toh selama ini dia memilih untuk mengakhiri hubungan dengan Ryan karena dia telah memilih untuk mengikuti kemauan orang tuanya.

“Afwan akh, ana tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut, huff..” Ira menghela nafas sejenak, kemudian dia melanjutkan,

“Baiklah akh, sekarang ana akan berterus terang kepada akhi. Ada satu hal yang selama ini belum ana ceritakan ke akhi, ana menunggu saat yang tepat untuk menceritakannya dan ana rasa inilah saat yang tepat. Akh.. mungkin akhi tahu bahwa sekitar 2,5 tahun yang lalu, kakak ana yakni mas Rudi telah melaksanakan sunah Rasulullah tuk menikah, tahukah akhi bahwa abi dan umi hingga saat ini sama sekali gak pernah ridho atas pernikahan tersebut, bahkan ana melihat sendiri bagaimana ekspresi wajah abi dan umi yang seharusnya bahagia seperti orang tua lainnya saat menikahkan anaknya, namun tidak sama sekali akh. Mereka sama sekali tidak bahagia, bahkan abi sempat sakit-sakitan karena hal tersebut, walaupun afwan ana tidak bisa memberitahukan kepada akhi mengapa abi dan umi tidak ridho atas pernikahan tersebut. Sejak saat itu ana berazzam untuk tidak melakukan apa yang telah dilakukan oleh kakak kepada abi dan umi. Ana bertekad saat pernikahan ana nanti, abi dan umi harus bahagia, untuk itu ana berusaha untuk iklash menikah dengan calon suami yang diridhoi oleh abi dan umi, yang terpenting bagi ana, abi dan umi bahagia. Meski ana harus mengorbankan perasaan dan kebahagiaan ana. Semoga akhi bisa mengerti.”

Ryan tak memberikan respon apapun, dia tidak mampu berkata-kata lagi. Batinnya galau dan nelangsa menyaksikan kekasih hatinya harus berkorban dengan cara yang demikian.

***

Malam harinya Ryan bertandang ke rumah Murrabinya yakni Ustadz Andi, untuk bersilahturahim sekaligus menumpahkan keluh kesahnya kepada ustadznya tersebut.

Sesampai disana Ryan menceritakan kepada Ustadz Andi mengenai pesan pendek yang diperolehnya dari Ira tadi Siang.

“Jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang?” Tanya Ustadz Andi

“Ana tidak tahu, mau tidak mau ana harus menerima ini, jika memang ini yang telah digariskan Allah”

“Ryan, coba kamu buka Surat Al-Baqarah ayat 216, disitu Allah berfirman bahwa mungkin saja engkau membenci sesuatu padahal sesuatu tersebut adalah baik untukmu, dan mungkin saja kau mencintai sesuatu padahal sesuatu itu tidak baik untukmu. Allah lebih mengetahui sedangkan kamu tidak”

Ryan mulai menangkap arah pembicaraan ustadznya.

“Ryan sekarang saya tanya sama kamu...kamu masih seorang muslimkan?”

Ryan hanya mengangguk.


“Kamu masih yakinkan bahwa Allah itu tuhanmu?”

“Ya ustadz”

“Dan kamu ridhokan Allah sebagai tuhanmu?”

“Ya Insya Allah”

“Baiklah kalau begitu,jika kamu memang masih mengaku seorang muslim dan yakin serta ridho Allah sebagai tuhanmu, maka konsekuensinya kamu harus menerima dengan iklash bahwa didalam zat Allah terdapat sifat-sifat ketuhanan, yakni salah satunya ialah sifat maha mengetahui, dan bila Allah memang maha mengetahui, sebaiknya kita sebagai manusia jangan sok tahu dan tergesa-gesa memvonis bahwa Allah tidak adil dan salah dalam menetapkan takdirnya, karena sekali lagi yan, Allah lebih tahu atas segala sesuatu”

Ryan menyimak perkataan murrabinya dengan seksama, sambil akalnya berusaha tuk mencerna lebih dalam pandangan murrabinya.

“Yan, tahukah kamu kenapa saya mengatakan hal barusan? Karena saya melihat dari sikapmu, kamu belum bisa mengiklashkan kepergian Ira dan dari tatapan wajahmu seolah-olah kamu berkata bahwa Allah tidak adil. Istigfar yan.. Istigfar.. Ketahuilah bahwa Allah tidak mungkin mendzalimi hambanya meskipun sebesar dzarah dan Allah tergantung pada persangkaan hamba-Nya, Husnudzan-lah bahwa Allah betul-betul menyayangimu”

Astagfirullah.. Ryan membatin.

“Sekarang saya akan mengajukan sebuah pertanyaan penting kepada kamu. Analogikan saja saya yang sedang ada dihadapanmu ini adalah jibril yang diutus Allah untuk menyampaikan pesan dari Allah, dan pesan tersebut berupa pertanyaan dari Allah. Allah bertanya kepadamu, manakah yang akan engkau pilih wahai hamba-Ku, Ira atau Aku? Sesungguhnya Aku cemburu saat kau meletakkan zat selain Aku untuk bertahta disinggasana hatimu, dan karena Aku sangat menyayangimu, untuk itu Aku putuskan hal ini bagimu dan Ira, semata-mata agar engkau kembali ke jalan-Ku. Bukankah disetiap sholatmu kau selalu meminta kepada-Ku untuk ditunjukkan jalan yang lurus (ihdinasy syiraathalmustaqiim)?”

Serta merta Ryan meneteskan air mata, menumpahkan butir-butir penyesalan, hatinya yang semula tandus dihantam badai kegalauan sekejap telah berubah teduh menghijau, menumbuhkan kelopak-kelopak hikmah dan membanjiri relung hati dengan siraman keikhlasan. Dia sadar bahwa akal sehatnya telah tertutupi oleh awan kejahiliahan sebab terlalu cendrerung kepada Ira.

“Saya rasa, saya tidak perlu menjelaskan hal ini lebih lanjut yan, karena saya yakin kamu pasti sudah paham maksud pembicaraan saya, sebab kamu adalah mutarabbi terbaikku, diantara semua mutarabbiku kamulah yang paling cerdas dan paling cepat mengerti, hanya saja saya menganggap kamu tadi sedang galau dan betul juga kata orang-orang bahwa apabila seseorang sedang jatuh cinta maka 83,13% kecerdasannya akan hilang, dan subhanallah ternyata hal tersebut dapat juga menimpa orang secerdas kamu he..” Ustadz Andi tersenyum memandang Ryan.

Ryan membalas senyuman tersebut, sambil menyeka air mata, dia menadahkan tangan ke langit, bermaksud untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Ustadz Andi tadi, dalam hati dia berkata,

"Ya Allah ya Robbana, jika memang ini yang kau putuskan dan terbaik bagi hamba dan Ira, maka dengan keridhoan hati hamba menerima ini semua. Jika Engkau meminta hamba untuk memilih, maka hamba akan memilih Engkau ya Robbi, karena hamba tahu bahwa hanya Engkaulah yang bersedia membalas cinta hamba lebih daripada rasa cinta yang dimiliki oleh mahluk-mahluk-Mu, oleh karena Engkau menyayangi hamba, hamba yakin kelak Engkau akan memberikan pengganti yang lebih baik daripada ini semua, dan hamba yakin bahwa angin yang Kau tiupkan akan senantiasa berhembus tuk membawakan mimpi-mimpi baru, menyejukkan jiwa dengan belaian kasih sayang-Mu dan menyinari mata hati yang tertutupi kabut nafsu, agar jelas dan terang tuk melihat bahwa tak ada yang sanggup menggantikan keindahan-Mu. Robbana aatina milladunka rahmah wa hayyi’ lana min amrina rosyadaa, Allahummagfirli.. Allahummagfirli.. Allahummagfirlana.. Amin Allahumma Amin.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar