Selasa, 12 Januari 2010

Cerpen : Poligamer


Cerpen : Poligamer
Oleh : Erjie Al-Batamiy

Kicauan beraneka spesies burung bersiulan meriuhkan suasana rumah Baim. Rumah tersebut dibuat semi tradisional. Ada hiasan wayang, kursi jati, tembikar dan lainnya. Baim sedang khusyuk belajar. Mengkaji dan mengulas mengenai syarah / penjelasan tentang materi pengajian yang baru saja didapatnnya kemaren sore. Materi tersebut berjudul “Adab-adab berpoligami”. Terdapat bab-bab tersendiri dari kumpulan materi tersebut diantaranya, Kewajiban Memberi Giliran Di Antara Isteri-isteri, Bagian Untuk Isteri Baru, Mengundi Di Antara Isteri-isteri Untuk Dibawa Safar, Tata Cara Isteri Menghibahkan Gilirannya, Kiat Mendapatkan Izin Untuk Melanggar Gilirannya.

Baim sudah bulat dengan tekadnya untuk berpoligami kelak. Kesediaan untuk di poligami merupakan syarat wajib yang harus diterima oleh calon isterinya. Jika calon isterinya tidak bersedia maka Baim akan mencari calon lainnya. Bagi Baim poligami merupakan hak mutlak suami, dengan atau tanpa persetujuan isteri poligami yang akan dilakukannya tetap sah.

Tak lama lagi Baim akan menikahi seorang akhwat yang kebetulan ibunda dari si akhwat merupakan teman dari ibunda Baim. Ada dilema yang muncul pada jiwa Baim, disatu sisi dia sangat ingin menikahi akhwat bersangkutan karena kecantikan ahklak dan fisiknya, namun disisi lain Baim tahu bahwa saat ini akhwat tersebut sedang mengidap penyakit paru-paru kronis, yang membuat akhwat tersebut harus rutin memeriksakan perkembangan kesehatannya. Baim tak sampai hati untuk menyampaikan perihal keinginannya berpoligami pada si akhwat, khawatir si akhwat bakalan menolak sehingga pernikahan mereka gagal, atau bisa jadi si akhwat makin bertambah sakit. Untuk itu Baim sengaja mengurungkan niatnya untuk menyampaikan, setidaknya hingga mereka menikah dan si akhwat telah sembuh. Muncul juga dalam pemikiran Baim bahwa, seandainya saja setelah mereka menikah si akhwat belum juga menampakkan gejala kesembuhan yang signifikan, maka hal tersebut akan dijadikan alasan bagi Baim untuk berpoligami. Dia akan mengatakan didepan pegawai Kantor Urusan Agama dimana dia berdomisili, bahwa alasan baginya untuk berpoligami disebabkan isterinya tidak mampu memenuhi kewajiban layaknya seorang isteri pada umumnya.

“Assalamu’alaikum…” Terdengar sapaan di depan rumah Baim.

“Wa ‘alaikum salam…” Jawab Baim.

Bergegas Baim menghampirinya, ternyata sahabatnya yakni Andi yang datang. Kedatangan Andi adalah untuk menjaga tali silahturahim diantara dia dengan sahabatnya. Suasana keakraban memenuhi pertemuan mereka. Baim mempersilahkan masuk dan menghidangkan minuman dan juga makanan ringan. Sumringah Andi, sambil menanyakan apakah Baim telah memiliki agenda pada malam hari ini.

“Im, kamu sudah punya acara belum ntar malam?”

“Sepertinya belum, insya Allah kosong, ada apa ndi?”

“Ini nih, aku tadi baru saja jalan-jalan ke mall, eh ngeliat di studio XXI lagi ada penayangan Mega Film “Ketika Cinta Bertasbih” nonton yuk, kebetulan tiketnya udah kubeliin buat kita”

“Ogah ah, gak mau”

“Lho kenapa?” Andi keheranan. Baim menghela napas, sejenak tenang.

“Kurang sreg aja buat menontonnya”

“Kurang sreg kenapa?” Kembali keheranan menerpa Andi.

“Sejujurnya aku tidak terlalu tahu mengenai fakta yang sesungguhnya, namun dalam sebuah iklan film yang banyak disiarkan dalam berbagai media, mengenai film “Ketika Cinta Bertasbih”, konon katanya film ini menjelaskan dalil-dalil yang sangat jelas menentang poligami. Pantas saja jika film ini digandrungi oleh banyak kaum hawa bahkan banyak para tokoh yang katanya ulama juga menyambut baik film tersebut”

Andi hanya menyimak, dia belum terlalu yakin dengan apa yang ada dipikirannya mengenai pembicaraan Baim.

“Memang aku belum menonton langsung film tersebut, akan tetapi dari iklan yang ditayangkan di telivisi, ada satu kalimat dalam film tersebut yang aku anggap penting dan menarik untuk diungkap kebenarannya, kalimat tersebut diucapkan oleh salah seorang gadis yang berkata, aku ingin seperti Fatimah, yang tak mau dimadu oleh sayyidina Ali”

“Okey, kayaknya aku mulai mengerti arah pembicaraanmu, tapi silahkan lanjutkan dulu im”

“Hal ini menjadi menarik karena ungkapan ini digunakan untuk menolak poligami”

“Kamu yakin ungkapan diatas bisa ditafsirkan sebagai penolakan akan poligami?”

“Ya aku yakin sekali”

“Kamu sudah baca novelnya belum? Sudah membaca keseluruhan dialog mengenai poligami yang kamu utara kan tadi?”

“Belum sih, emangnya ada apa dari keseluruhan dialognya?”

“Hee.. im..im kok buru-buru amat memvonisnya. Pada penutup dari dialog tersebut, sang penulis novel memberikan ilustrasi sederhana, bahwa keinginan seorang Fatimah atau wanita manapun untuk menolak dipoligami bukan karena mereka beranggapan bahwa poligami itu haram, tetapi penolakan mereka disebabkan ketidak suka-an mereka untuk di poligami. Apakah jika seseorang tidak suka makan jengkol, petay atau yang lainnya bisa diartikan bahwa menurut mereka makanan-makanan tersebut haram? Apakah ketidak suka-an Rasullah pada acar di kuku memiliki aspek syariat dan menyebabkan pemakaian acar pada kuku menjadi haram? Im… ketahuilah bahwa ketidak suka-an Rasulullah tersebut karena kapasitas beliau sebagai manusia bukan nabi, sehingga itu hanya masalah selera, bukan masalah benar salah. Bisa disimpulkan bahwa dialog poligami yang terdapat pada novel Ketika Cinta Bertasbih bukan bentuk penolakan atau pengharaman atas praktek poligami. Untuk itu jangan terlalu terburu-buru memvonis sahabatku, ingatlah sabda Rasulullah : Sesungguhnya ketergesa-gesa-an itu datangnya dari setan, sementara kehati-hatian itu datangnya dari Allah”

…KETAHUILAH BAHWA KETIDAK SUKA-AN RASULULLAH TERSEBUT KARENA KAPASITAS BELIAU SEBAGAI MANUSIA BUKAN NABI, SEHINGGA ITU HANYA MASALAH SELERA, BUKAN MASALAH BENAR SALAH…

“Tapi ndi, ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Sebenarnya berpoligami telah jelas bagi kita hukumnya adalah boleh. Allah berfirman : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS. Al-Nisa’: 3) dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Pilihlah 4 orang dan ceraikan yang lainnya”

Kembali Andi terlebih dahulu menyimak.

“Pada hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menegaskan, Apa saja yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa saja yang diharamkan-Nya maka hukumnya haram, dan apa saja yang didiamkan-Nya maka hal itu dimaafkan, maka terimalah apa saja dari Allah yang dimaafkan-Nya, karena sesungguhnya Allah tidak melupakan sesuatu pun, kemudian beliau SAW membaca, dan tidaklah Tuhanmu lupa (QS. Maryam: 64).” Terang Baim, kemudian melanjutkan,

“Demikianlah beberapa dalil qathi’ yang menetapkan hukum seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari satu istri hingga empat orang, namun anehnya, masih saja ada orang-orang yang ragu bahkan membuat keragu-raguan tentang hukum yang telah jelas ini. Berbagai macam cara dilakukan guna mengaburkan hukum poligami, dengan menyimpangkan makna ayat, menafsirkannya dengan ro’yu (akal semata) Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu (QS. At-Tahrim: 1)” Tak puas dengan uneg-uneg dalil yang baru disampaikannya Baim-pun menambahkan,

“Berkaitan dengan pendapat sebagian orang yang mengklaim bahwa Fatimah menolak untuk di poligami, sebaiknya pendapat tersebut perlu diluruskan. Benarkah Fatimah Menolak Poligami? Suatu saat Ali bin Abi Thalib memiliki niat untuk menikah lagi. Mendengar niat Ali radhiyallahu ‘anhu tersebut, Fatimah pun menolak, Rasulullah juga menentang keras keinginan Ali bin Abi Thalib untuk menikah lagi. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru dan beliau bersabda Keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan ia mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga, akan tetapi, yang menceritakan kejadian ini tidak hanya satu, sehingga mengambil kesimpulan menentang poligami hanya bermodalkan hadits tersebut sangatlah picik dan jauh dari sikap ilmiah, jika tidak ingin dikatakan jahil/bodoh, karena masih ada hadits lain yang menjadi penjelas atas hadits tersebut, kenapa Rasulullah bisa sangat emosi ketika anaknya hendak dimadu”

“Terangkan padaku” Sahut Andi.

“Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, kemudian Fatimah mendengar tentang hal tersebut dan dia datang kepada Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam dan berkata, kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu, dan ini Ali ingin menikahi anak perempuan Abu Jahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri, ketika mengucapkan tasyahhud Beliau berkata, Amma Ba’d, Aku telah menikahkan Abu Ash ibn Rabi’ kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku, dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki kemudian Ali meninggalkan pinangannya, dari hadits ini nampak jelas sebuah kebenaran bahwa alasan Fatimah menolak dipoligami adalah karena ia tidak ingin dikumpulkan dengan putri Abu Jahal musuh Allah. Jelaslah keputusan Fatimah dan Rasulullah ini bukanlah sebuah penolakan akan poligami, melainkan penolakan terhadap Abu Jahal yang notabene memusuhi Rasulullah dan Dakwah Islamiyah kala itu”

“Ada hadits lainnya?” Tanya Andi.

“Ada. Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda, dan sesungguhnya aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan, dan juga tidak mengharamkan apa yang telah dihalalkan, akan tetapi, Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri musuh Allah dalam satu tempat selama-lamanya. Dalam hadits ini, semakin tegas pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengatakan : Aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan. Tentunya hal ini menjadi senjata pamungkas untuk membungkam mulut orang-orang yang menggunakan hadits penolakan Fatimah tersebut untuk menolak hukum poligami yang telah ditetapkan dengan jelas hukum kebolehannya oleh Allah Dzat yang Maha Kuasa”
Andi melihat gelagat emosi pada jiwa Baim, dan ingin menyampaikan pendapat yang berseberangan dengan pendapat Baim.

“Baim sahabatku, pertama-tama aku ingin sampaikan kepada kamu bahwa aku yang sedang berbicara denganmu kini bukanlah seorang pro poligami atau kontra poligami. Aku tidak ingin menempatkan diriku pada salah satu posisi tersebut, dan aku merasa sangat senang dan bersyukur jika Allah menempatkanku sebagai seorang pro syariah, sebab itu adalah posisi ideal bagi seorang mukmin sejati. Mengapa kukatakan hal yang demikian, karena sebentar lagi aku akan menyampaikan pendapatku tentang poligami yang mungkin agak bersebarangan dengan pendapatmu, dan atas pendapatku tersebut aku tidak ingin kamu mengecapku sebagai seorang yang menentang poligami. Sebelumnya aku ingin bertanya padamu, bolehkah kamu melakukan poligami tanpa persetujuan istrimu?”

…AKU MERASA SANGAT SENANG DAN BERSYUKUR JIKA ALLAH MENEMPATKANKU SEBAGAI SEORANG PRO SYARIAH, SEBAB ITU ADALAH POSISI IDEAL BAGI SEORANG MUKMIN SEJATI…

“Tentu saja boleh, sebab poligami adalah hal yang tidak diharamkan oleh Allah, sehingga berimplikasi secara fikih menjadi mubah hukumnya”

“Apakah sah poligamimu apabila tidak memperoleh persetujuan istrimu?”

“Selama rukun nikah dan syarat sah nikah kupenuhi, maka poligami insya Allah sah”

“Baiklah, sejujurnya saat kamu mengatakan bahwa bolehnya berpoligami tanpa persetujuan istri, aku setuju dengan pendapatmu bahwa hal tersebut boleh, lalu sahkah pernikahan tersebut, aku kembali setuju dengan pendapatmu, bahwa selama rukun nikah dan syarat sahnya dipenuhi maka hal tersebut sah, tapi ada hal penting yang terlewatkan, tahukah kamu apa itu?”

Baim diam tanda tak tahu.

“Seluruh ulama, bahkan mungkin seluruh muslim di dunia insya Allah sepakat dengan pendapatmu, yang membolehkan poligami, tapi tahukah kamu sebenarnya saat kita membahas tentang poligami, sesungguhnya kita tidak sedang berbicara dalam tataran boleh apa tidak, tetapi kita sedang berbicara dalam tataran perlu atau tidak. Ingatlah itu sahabatku.”
Tersentak menjadi rona kecil di jiwa Baim, dia mulai terpengaruh akan pandangan Andi.

“Kamu sedari tadi beragumen seolah-olah kebanyakan muslim di dunia ini menentang dan mengecap poligami itu haram, padahal tidak. Bukan itu permasalahannya, telah menjadi ijma’ bahwa poligami itu mubah dan sah-sah saja untuk dilakukan, tapi apakah seorang suami perlu atau tidak berpoligami, maka itu akan menjadi masalah yang berbeda. Sebab tidak tepat jika poligami dikatakan sebagai sunah melainkan solusi”

…KAMU SEDARI TADI BERAGUMEN SEOLAH-OLAH KEBANYAKAN MUSLIM DI DUNIA INI MENENTANG DAN MENGECAP POLIGAMI ITU HARAM, PADAHAL TIDAK…

…SEBAB TIDAK TEPAT JIKA POLIGAMI DIKATAKAN SEBAGAI SUNAH MELAINKAN SOLUSI…

“Solusi?” Baim mengerutkan dahinya.

“Iya. Kenapa disebut solusi, karena antara sunah dan solusi memiliki implikasi yang berbeda. Perbedaannya antara lain, jika poligami dikatakan sunah maka konsekuensinya orang yang melakukan poligami akan mendapatkan pahala dan orang yang monogami tidak, lalu pelaku poligami akan memiliki keutamaan dibandingkan pelaku monogami, dan terakhir pelaku poligami akan digolongkan sebagai umat Muhammad sedang pelaku monogami tidak termasuk. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah dan barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka bukan golonganku logiskah secara syar’i hal tersebut?”

…JIKA POLIGAMI DIKATAKAN SUNAH MAKA KONSEKUENSINYA ORANG YANG MELAKUKAN POLIGAMI AKAN MENDAPATKAN PAHALA DAN ORANG YANG MONOGAMI TIDAK, LALU PELAKU POLIGAMI AKAN MEMILIKI KEUTAMAAN DIBANDINGKAN PELAKU MONOGAMI, DAN TERAKHIR PELAKU POLIGAMI AKAN DIGOLONGKAN SEBAGAI UMAT MUHAMMAD SEDANG PELAKU MONOGAMI TIDAK TERMASUK…

Baim enggan menjawab, karena hati kecil dan nalarnya akan berfatwa bahwa hal tersebut tidak logis.

“Beda jika poligami dikatakan sebagai sebuah solusi. Jika poligami dikatakan sebagai sebuah solusi konsekuensinya poligami hanya bisa dilakukan jika terjadi suatu masalah dan tidaklah permasalahan tersebut bisa selesai kecuali poligami sebagai solusi atau jalan keluarnya, tidak ada alternatif solusi lainnya. Apa contoh masalahnya, misalnya istri tidak mampu memberikan keturunan atau mandul, istri mengalami penyakit menahun yang menyebabkan dia secara mutlak tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, atau dengan niat tulus dan benar-benar karena Allah berpoligami untuk kepentingan dakwah islamiyah, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertanyaannya, sudahkah kita mampu untuk memastikan hati kita bahwa niat tersebut betul-betul karena Allah? Jika tidak mampu atau ragu untuk memastikan sebaiknya jangan berpoligami. Dari contoh yang telah kusebutkan, teranglah bahwa bolehnya poligami bersifat kasuistis atau kondisional, sebab poligami adalah solusi, untuk itu dibutuhkan suatu kondisi tertentu yang harus dipenuhi sebelum melakukan poligami, yakni alasan yang kusebutkan tadi. Itulah pandangan bijak dari segi fiqih dan nyata bahwa aku tidak mengharamkannya sama sekali”

…JIKA POLIGAMI DIKATAKAN SEBAGAI SEBUAH SOLUSI KONSEKUENSINYA POLIGAMI HANYA BISA DILAKUKAN JIKA TERJADI SUATU MASALAH DAN TIDAKLAH PERMASALAHAN TERSEBUT BISA SELESAI KECUALI POLIGAMI SEBAGAI SOLUSI ATAU JALAN KELUARNYA, TIDAK ADA ALTERNATIF SOLUSI LAINNYA…

…SUDAHKAH KITA MAMPU UNTUK MEMASTIKAN HATI KITA BAHWA NIAT TERSEBUT BETUL-BETUL KARENA ALLAH? JIKA TIDAK MAMPU ATAU RAGU UNTUK MEMASTIKAN SEBAIKNYA JANGAN BERPOLIGAMI…

Terasa sedikit pudar warna terang dari lukisan niat yang ada di kanvas hati milik Baim. Baim mulai mempertimbangkan doktrin yang diterimanya selama ini tentang poligami.

“Tentang bolehnya poligami tanpa persetujuan isteri, ketahuilah im, bahwa dalam melakukan ibadah kepada Allah memiliki beberapa tahapan, yang pertama sah lalu kedua diterima. Mungkin niat kamu untuk berpoligami adalah beribadah kepada Allah, sehingga saat kamu berpoligami tanpa persetujuan isteri atau bahkan tanpa adanya kondisi tertentu yang menyebabkan poligami menjadi sebuah solusi, mungkin saja poligamimu sah, tapi masih satu hal yang perlu dipertanyakan yaitu, apakah ibadah poligami yang kamu lakukan itu bernilai di mata Allah sehingga diterima oleh-Nya?”

…BAHWA DALAM MELAKUKAN IBADAH KEPADA ALLAH MEMILIKI BEBERAPA TAHAPAN, YANG PERTAMA SAH LALU KEDUA DITERIMA…

…MUNGKIN SAJA POLIGAMIMU SAH, TAPI MASIH SATU HAL YANG PERLU DIPERTANYAKAN YAITU, APAKAH IBADAH POLIGAMI YANG KAMU LAKUKAN ITU BERNILAI DI MATA ALLAH SEHINGGA DITERIMA OLEH-NYA?...

Sentakan bagai kejutan listrik baru saja menyengat Baim.

“Analogikan saja sholat, katakanlah rukun & syarat sah sholat telah kita penuhi seperti wudhu, sifat sholat dan menutup aurat, tapi aurat yang tertutup bagi kita kaum pria hanya dari pusar hingga lutut, katakan saja kita sholat hanya mengenakan singlet dan celana pendek yang menutupi lutut, mungkin sholat kita sah, kewajiban kita gugur, tapi apakah akan diterima oleh Allah dan diganjar pahala sholat kita tersebut? Sangat meragukan”

Makin terasa jungkir balik logika Baim, perlahan dia mulai bisa menerima pandangan Andi.

“Kita bisa memasuki surga Allah tak lain semata-mata karena kemurahan Allah SWT. Begitulah yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, tapi tahukah kamu im, bahwa salah satu faktor yang menjadi pertimbangan Allah dalam melimpahkan kemurahan-Nya kepada kita ialah dengan melihat prilaku atau etika pergaulan yang dilakukan oleh hamba-Nya, baik saat hamba tersebut bergaul dengan sesama manusia (hablumminannas) atau saat sedang bergaul dengan Allah (hablumminallah). Sudahkah pergaulan tersebut tergolong makruf oleh-Nya? Bagaimana mungkin dapat dikatakan makruf apabila kita berpoligami tanpa persetujuan isteri atau tanpa kondisi tertentu yang wajib dipenuhi sebelum berpoligami. Kamu tahu betapa sakit dan dzalimnya hal tersebut baginya. Itu bukan suatu kemakrufan sahabatku. Bayangkan saja rasanya kamu di duakan oleh isterimu, bagaimana sakitnya. Berbuat adillah, karena adil dekat dengan taqwa, sedangkan taqwa adalah jalan menuju surga, bukankah mampu berbuat adil merupakan syarat mutlak sebelum berpoligami”

Pandanganmu sungguh mendalam sahabatku, ungkap Baim dihati.

…SALAH SATU FAKTOR YANG MENJADI PERTIMBANGAN ALLAH DALAM MELIMPAHKAN KEMURAHAN-NYA KEPADA KITA IALAH DENGAN MELIHAT PRILAKU ATAU ETIKA PERGAULAN YANG DILAKUKAN OLEH HAMBA-NYA, BAIK SAAT HAMBA TERSEBUT BERGAUL DENGAN SESAMA MANUSIA (HABLUMMINANNAS) ATAU SAAT SEDANG BERGAUL DENGAN ALLAH (HABLUMMINALLAH). SUDAHKAH PERGAULAN TERSEBUT TERGOLONG MAKRUF OLEH-NYA?...

“Mengenai hadits tentang Fatimah yang kamu sebutkan tadi, betul bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah untuk menolak poligami, tapi ada ibroh yang mendalam dapat kita ambil dari hadits tersebut. Bahwa dari hadits tersebut kita peroleh dua pelajaran berharga, pertama, seorang istri berhak untuk memberikan respon apakah setuju atau tidak atas keinginan suami untuk berpoligami, walaupun persetujuan tersebut bukan merupakan syarat sah bagi poligami suami apabila tetap ingin berpoligami, tapi layak untuk dihargai dan dijadikan bahan pertimbangan. Kedua, seorang istri berhak untuk menuntut cerai atas ketidak-sedia-annya dipoligami. Ingat itu sahabatku. Tunaikanlah segala sesuatu sesuai dengan haknya masing-masing”

…PERTAMA, SEORANG ISTRI BERHAK UNTUK MEMBERIKAN RESPON APAKAH SETUJU ATAU TIDAK ATAS KEINGINAN SUAMI UNTUK BERPOLIGAMI, WALAUPUN PERSETUJUAN TERSEBUT BUKAN MERUPAKAN SYARAT SAH BAGI POLIGAMI SUAMI APABILA TETAP INGIN BERPOLIGAMI, TAPI LAYAK UNTUK DIHARGAI DAN DIJADIKAN BAHAN PERTIMBANGAN. KEDUA, SEORANG ISTRI BERHAK UNTUK MENUNTUT CERAI ATAS KETIDAK-SEDIA-ANNYA DIPOLIGAMI…

Baim hanya diam, terasa pengajian intensif yang di ikutinya tentang poligami serasa hambar, karena sesungguhnya dia belum menguasai dan memahami masalah mendasar dari adab awal sebelum berpoligami, terlalu terburu-buru mempelajari adab-adab setelah berpoligami.

“Ingatlah Baim sahabatku, sekali lagi aku katakan, aku sama sekali tidak menolak poligami apalagi mengharamkannya, sebab saat kita sedang berbicara tentang poligami, sesungguhnya kita tidak sedang berbicara mengenai boleh atau tidak, sah apa tidak, haram ataukah halal, tapi perlu atau tidak, sebab poligami sebuah solusi bukan sunah. Bukankah Rasulullah lebih dari 20 tahun mempratekkan hidup monogami bersama Khadijah r.a, lebih lama daripada kehidupan poligami beliau. Mengapa bukan hal tersebut yang kita pratekkan?”

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-A’raf : 33).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar