Selasa, 12 Januari 2010

Cerpen : Bujur Sangkar Kecerdasan


Cerpen : Bujur Sangkar Kecerdasan
Oleh : Erjie Al-Batamiy

Cuaca cerah. Awan menepi, enggan tuk memboikot rezeki Allah berupa sinar mentari. Masih dengan mengenakan seragam kerjanya, Fabian seorang karyawan outsourcing mengayunkan langkah kakinya dengan ringan.

Hatinya senang sekali saat ini. Sisa uang THR masih cukup banyak. Jika diakumulasikan dengan tabungannya selama ini, cukup kiranya untuk menutupi biaya mengikuti pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual. Pelatihan yang selama ini diimpikannya, yang menurutnya mampu membuat dia menjadi lebih kenal dan dekat dengan Sang Pencipta.

Kala itu harga pasaran pelatihan telah turun. Berkisar pada angka Rp. 1.200.000,- sampai Rp. 1.500.000,-. Kebetulan harga pelatihan kecerdasan yang diadakan di kota tempat Fabian menetap ialah Rp. 1.350.000,- diskon 10% bagi 25 pendaftar pertama. Uang ditangannya hanya ada Rp. 1.400.000. Fabian buru-buru mendaftar agar kiranya mendapat diskon pendaftaran awal.

Sayang, sesampainya di tempat pendaftaran, dia mendapat urutan sebagai pendaftar ke 27, sehingga diskon tak mampu diraihnya. Fabian harus membayar penuh. Tak disangka ternyata animo awam tetap tinggi. Jumlah pendaftaran menjadi membludak. Fabian kecewa, dengan mengharapkan belas kasihan dari panitia pelaksana bahwa dia hanya mampu membayar maksimal Rp. 1.400.000,- Fabian memohon, namun panitia pelaksana dengan ekspresi seolah-olah simpati menolak dengan halus permohonan Fabian.

“Tolonglah mbak, sekali ini saja. Saya mati-matian mengumpulkan uang untuk mengikuti pelatihan ini” pinta Fabian.

“Maaf mas tidak bisa, silahkan mas coba lagi tahun depan, insya Allah akan diadakan kembali di kota ini. Maaf kalo boleh tanya mas kerja dimana ya?”

“Saya kerja sebagai karyawan outsourcing bagian cleaning service”

Yaa.. pantasan susah buat ngikutin pelatihan kayak gini, kan pelatihan ini sifatnya eksklusif, buat kalangan yang mampu saja. Orang miskin atau gak mampu jangan mimpi deh, jaman sekarang semuanya harus pake duit, kan penyakit wahn alias takut mati dan cinta dunia seperti yang diramalkan oleh Rasulullah SAW sedang terjadi, sehingga buat masuk surga saja butuh modal yang gede. Aneh juga… padahal pada zaman dahulu para salafus saleh berlomba untuk menyampaikan kebenaran dan berdakwah agar orang-orang bisa mengenal Tuhannya secara gratis, tapi kok sekarang… Allah aja berfirman saat Nabi Nuh A.S berkata, aku tidak meminta upah sedikitpun darimu, upahku tak lain hanya dari Allah, dan aku disuruh supaya termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (QS Yunus 72) mungkin para salafus saleh hanya mengharapkan balasan Allah di akhirat kelak, sementara jaman sekarang mereka mungkin merasa cukup dengan imbalan dunia.. tanda-tanda kiamat kali Salah seorang panitia berujar dihati.

“Mungkin mbak mempunyai solusi atas permasalahan ini. Jujur mbak, saya benar-benar ingin menjadi lebih baik, lebih dekat dengan Allah dan mengenal-Nya”

Dialog antara Fabian dengan salah seorang panitia pelaksana ternyata dari tadi didengar oleh Widya. Kala itu kebetulan Widya mendapat tugas dari kantornya untuk mendaftarkan karyawan kantor secara paket mengikuti pelatihan kecerdasan emosional dan spritual, sementara dia sendiri tidak mengikuti pelatihan tersebut, karena merasa sudah cukup mengerti mengenai kecerdasan intelektual, emosional dan spritual tanpa harus mengikuti pelatihan. Teman baik Widya merupakan pemimpin halaqah Creative Moslem Community (CMC), komunitas nirlaba tempat nongkrongnya anak-anak muda yang ingin mengerti agama dan membahas isu-isu kekinian serta berusaha untuk bersikap mu’tadil (moderat), dinamis namun tetap ketat dalam penggunaan dan penafsiran nash atau dalil yang akan digunakan sebagai hujjah.

“Maaf mas, kenalkan saya Widya. Tanpa bermaksud menyinggung, tadi saya sempat mendengar mas mengeluh karena tidak memiliki biaya yang cukup untuk mengikuti pelatihan kecerdasan. Ini saya ada tawaran untuk membantu mas,” Widya menyodorkan sebuah kartu nama.

“Ini kartu nama Akhi Joe” Widya memberikan kartu nama sahabatnya. Pada kartu nama tersebut tertera lengkap alamat pengajian sang ikhwan berikut nomor ponselnya. “Beliau adalah teman baik saya dan pimpinan halaqah Creative Moslem Community. Halaqah kecil-kecilan yang berisi anak-anak muda yang ingin belajar agama islam. Kebetulan kamis malam ini, ba’da sholat isya’ akan diadakan kajian mengenai kecerdasan intelektual, emosional dan spritual, insya Allah bisa membantu mas untuk mengerti mengenai berbagai kecerdasan tersebut. Perlu diingat kajian ini gratis lho.. malahan dapat snack lagi hee..”

“Masya Allah, benarkah mbak. Wah terima kasih atas informasinya. Insya Allah saya akan datang”

Fabian sangat senang sekali. Tak menyangka pertolongan Allah datang secepat ini. Dia persiapkan diri, niat dan doanya untuk lebih mengenal Sang Rabbinnas di ijabah oleh Allah SWT. Rasa syukur-pun menggenangi wadah batinnya. Innalhamdalillah. Niat yang baik, mendatangkan kesudahan yang baik.
***

Dari kejauhan kira-kira 100 meter sebelum menuju Masjid Jabal Nuur, telah terdengar azan menggema, suaranya dibawa oleh deru angin, hingga sampai ke telinga Fabian yang sedang menaiki ojek pak Budi Satrio. Gema azan menandakan bahwa waktu isya’ baru saja masuk.

Lumayan ramai jamaah sholat isya’ pada malam itu. Mungkin sebagian ingin menghadiri pengajian Akhi Joe ba’da isya’ nanti, hingga sekalian sholat isya’ disana.

Fabian baru saja tiba. Beberapa lembar uang ribuan dikeluarkannya. Fabian membayar pas. Tanpa menunda lagi, dia ayunkan langkah kakinya memasuki Masjid Jabal Nur. Momentumnya bersamaan dengan dikumandangkannya iqamah. Kala itu Joe ikut hadir sholat berjamaah disana. Joe mengambil sebelah kanan shaf pertama. Imam Taufik Mubarak memberikan arahan untuk merapikan shaf,

“Suwu sufufakum” ucap Imam Taufik Mubarak.

“Sami’na wa atho’na” jawab semua makmum kompak. Sholat isya’ akhirnya dilaksanakan.

Seusai rangkaian ibadah sholat isya’ sebagian jamaah berkumpul. Rata-rata awammah semua. Hanya sebagian kecil ikhwan atau akhwat. Itupun mereka adalah sahabat dari Akhi Joe.

Terasa sekali aura keberkahan melingkupi mereka yang berkumpul waktu itu. Malaikat rahmat berduyun-duyun turun menggerumuni majelis tersebut. Penuh sesak hingga ke langit. Para malaikat hafal bahwa setiap diadakan pengajian atau diskusi oleh Joe, dengan niat tulus Joe coba untuk mengajak saudara saudari seimannya yang hadir kala itu agar mengingat Allah lebih banyak lagi dari segi kuantitas dan lebih baik lagi dari segi kualitas, namun cara Joe dalam membuat yang hadir dalam mengingat Allah tidaklah dengan cara melafalkan wirid bersama-sama, melainkan dengan cara mewacanakan suatu bahan yang sekiranya baik untuk dijadikan ajang diskusi atau share, dan dari bahan tersebut Joe berusaha untuk menuntun mereka agar lebih mengenal Allah dan memahami segala bentuk ketetapan-Nya, baik yang bersifat kauni (takdir) maupun syar’i (syariat) , dengan memperhatikan ayat-ayat Allah yang bersifat qauliyah (al-qur’an) dan kauniyah (fenomena semesta) hingga dia berkeyakinan Insya Allah halaqah yang dibentuknya merupakan salah satu bentuk aplikasi daripada majelis dzikirullah.

Pernah suatu saat Akhi Ardian yang merupakan sahabat Akhi Joe sendiri, bertanya perihal halaqah yang dipimpinnya, yang oleh Joe di klaim sebagai salah satu majelis dzikir.

“Afwan akh, ana ingin bertanya sesuatu kepada antum” tanya Ardian.

“Tafadhol akhi” Joe mempersilahkan.

“Begini, ana telah mendengar dari antum bahwa antum mengatakan halaqah yang antum pimpin ini merupakan salah satu bentuk majelis dzikir yang diperintahkan oleh seorang yang kita cintai yakni Rasulullah SAW. Betul begitu akh?”

“Insya Allah benar”

“Baiklah, ana bukan ingin memvonis pendapat antum salah, atau setidaknya kurang benar, tapi jika melihat halaqah yang antum pimpin didalamnya hanya terdapat kegiatan diskusi mengenai agama tidak ada sama sekali kegiatan berupa lafal-lafal wirid berupa puja puji kepada Allah SWT. Bukankah Rasulullah melalui sabdanya memberikan definisi bahwa majelis dzikir adalah majelis yang didalamnya terdapat aktivitas mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji dan memohon kepada Allah SWT. Menurut ana lebih tepat jika yang dimaksud dengan majelis dzikir ialah majelis yang didalamnya terdapat aktivitas melafadzkan tasbih, tahmid, dan tahlil. Afwan akh, bukan ingin menyalahkan, ana hanya berusaha mengklarifikasi dengan membandingkan opini ana, sebab sejujurnya ana tidak meragukan kapasitas antum dalam berpikir dan berpendapat. Ini hanya sebuah diskusi akh”

“Syukron atas pandangan yang antum sampaikan wahai saudaraku yang kucintai karena Allah. Ana akan coba menguraikan berbagai alasan yang menjadi pertimbangan ana hingga menghasilkan argumentasi seperti yang antum sampaikan barusan. Memang betul apa yang antum utarakan, bahwa yang dimaksud dengan majelis dzikir ialah majelis yang didalamnya terdapat aktivitas berupa mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji dan memohon kepada Allah SWT. Ana setuju dengan antum dalam hal itu, namun ada sebuah pertanyaan kritis yang perlu dilayangkan, yakni apakah kegiatan mensucikan, mengagungkan, memuji dan memohon kepada Allah SWT itu hanya terbatas pada kegiatan melafalkan wirid saja?”

…NAMUN ADA SEBUAH PERTANYAAN KRITIS YANG PERLU DILAYANGKAN, YAKNI APAKAH KEGIATAN MENSUCIKAN, MENGAGUNGKAN, MEMUJI DAN MEMOHON KEPADA ALLAH SWT ITU HANYA TERBATAS PADA KEGIATAN MELAFALKAN WIRID SAJA?...

Pikiran Ardian mencoba tuk merambah lebih dalam guna memahami pertanyaan Joe. Ardian tidak memberikan komentar. Dia biarkan sahabatnya, Joe untuk menjawab pertanyaannya sendiri.

“Tentu saja tidak akh. Tidak berarti kegiatan tersebut hanya terpaku pada kegiatan wirid saja. Memang tidak salah, andaikan saja pada suatu majelis terdapat kegiatan wirid dan atas kegiatan tersebut, majelis yang sedang dilangsungkan dapat diklasifikasikan sebagai majelis dzikir. Akan tetapi bukan berarti kegiatan tersebut menjadi satu-satunya bentuk aplikasi dari majelis dzikir yang disabdakan oleh Rasulullah. Penglafalan pujian kepada Allah pada dasarnya bertujuan untuk mengingat Allah, oleh sebab itu dikatakan sebagai majelis dzikir dan menjadikan wirid sebagai salah satu medianya. Sekarang ana bertanya pada antum, andaikan saja pada suatu majelis, ana sedang menjelaskan tentang masalah akidah, bukankah saat itu ana sedang berusaha membuat yang hadir agar mengerti mengenai hakikat ketauhidan, dan tentu saja hal tersebut merupakan bentuk dari usaha ana dalam mensucikan Allah SWT, lalu bila ana sedang menjelaskan mengenai hikmah dan keutamaan dalam menjalankan syariat-Nya, bukankah pada saat itu ana sedang berusaha mengagungkan Allah SWT melalui penjelasan tentang kemaslahatan dan keadilan hukum-Nya, dan saat ana sedang menjelaskan mengenai asmaul-husna berikut ibroh yang bisa diteladani dari sifat-sifat Allah tersebut, bukankah ana sedang berusaha memuji Allah SWT melalui keindahan sifat-sifat-Nya. Dari semua kegiatan yang ana lakukan tersebut, sudah cukupkah untuk diklasifikasikan sebagai majelis dzikir yang disabdakan oleh Rasulullah SAW?”
…ANDAIKAN SAJA PADA SUATU MAJELIS, ANA SEDANG MENJELASKAN TENTANG MASALAH AKIDAH, BUKANKAH SAAT ITU ANA SEDANG BERUSAHA MEMBUAT YANG HADIR AGAR MENGERTI MENGENAI HAKIKAT KETAUHIDAN, DAN TENTU SAJA HAL TERSEBUT MERUPAKAN BENTUK DARI USAHA ANA DALAM MENSUCIKAN ALLAH SWT…

…BILA ANA SEDANG MENJELASKAN MENGENAI HIKMAH DAN KEUTAMAAN DALAM MENJALANKAN SYARIAT-NYA, BUKANKAH PADA SAAT ITU ANA SEDANG BERUSAHA MENGAGUNGKAN ALLAH SWT MELALUI PENJELASAN TENTANG KEMASLAHATAN DAN KEADILAN HUKUM-NYA…

…SAAT ANA SEDANG MENJELASKAN MENGENAI ASMAUL-HUSNA BERIKUT IBROH YANG BISA DITELADANI DARI SIFAT-SIFAT ALLAH TERSEBUT, BUKANKAH ANA SEDANG BERUSAHA MEMUJI ALLAH SWT MELALUI KEINDAHAN SIFAT-SIFAT-NYA…

Ardian tersenyum. Nalarnya setuju dengan pendapat Joe. Akhi Joe melanjutkan penjelasannya.

“Akh, hendaklah kita bisa bersikap lebih cerdas dan bijaksana dalam beragama. Ketahuilah bahwa tingkatan tertinggi daripada kemampuan seorang muslim dalam berfikir ialah tatkala dia telah mampu mencapai tahapan ulul-albab. Tahukah akhi apa yang dimaksud oleh ulul-albab?”

“Tafadhol akh, antum yang lebih tahu daripada ana” karena pemahaman antum tentang Al-Qur’an dan As-sunah lebih baik dari ana Ardian mengakui dalam hati.

“Ulul-Albab adalah muslim yang telah memiliki pengetahuan mengenai hikmah daripada ketetapan-ketetapan Allah, baik yang bersifat kauni yakni mengenai takdir Allah dan yang bersifat syar’i yaitu mengenai syariat-Nya. Dengan mengetahui hikmah dibalik takdir Allah, insya Allah dia mampu bersikap ikhlash untuk menerima semua ketetapan Allah, baik yang menyenangkan baginya ataupun tidak, sebab dia tahu Rabb-nya tidak mungkin mendzalimi dirinya meskipun sebesar dzarrah, dan dengan memahami hikmah dibalik syariat-Nya, insya Allah membuat dia bersemangat dan sepenuh hati dalam menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, karena dia telah mengetahui tujuan dari Allah dalam menetapkan syariat tersebut beserta keutamaannya, yang tak lain merupakan wujud dari sifat Ar-rahman & Ar-rahimNya serta Al-Malik & Al-Hakim Allah SWT. Tidak mungkin kita bisa sampai pada derajat ulul-albab jika kita tidak mau menjadi muslim yang gemar berfikir. Bukankah Allah berfirman, dan tidaklah mendapatkan pelajaran kecuali ulul-albab (QS Al-Baqarah 269) dan tidaklah pelajaran atau hikmah dapat kita raih kecuali dengan cara merenung dan bertafakur, sedang hikmah sendiri merupakan esensi dari seluruh ketetapan Allah. Sebab hikmah yang dimaksud disini ialah esensi, untuk itu ketahuilah akh, hendaklah kita berimbang dalam melaksanakan amalan sholeh kepada-Nya. Amalan terbagi atas tiga, yakni yang bersifat jasadiyah, qalbiyah dan aqliyah. Janganlah kita terlalu fokus kepada amalan yang bersifat jasadiyah dan qalbiyah saja lalu melupakan amalan yang bersifat aqliyah, sebab apabila kita melakukan hal tersebut, sesungguhnya tanpa kita sadari kita telah melakukan kufur nikmat atas nikmat akal yang telah diberikan Allah kepada kita”

Subhanallah… ungkapan ketakjuban baru saja disematkan Ardian didalam hatinya. Dia kagum dengan pemahaman sahabatnya.

…ULUL-ALBAB ADALAH MUSLIM YANG TELAH MEMILIKI PENGETAHUAN MENGENAI HIKMAH DARIPADA KETETAPAN-KETETAPAN ALLAH, BAIK YANG BERSIFAT KAUNI YAKNI MENGENAI TAKDIR ALLAH DAN YANG BERSIFAT SYAR’I YAITU MENGENAI SYARIAT-NYA…

…JANGANLAH KITA TERLALU FOKUS KEPADA AMALAN YANG BERSIFAT JASADIYAH DAN QALBIYAH SAJA LALU MELUPAKAN AMALAN YANG BERSIFAT AQLIYAH, SEBAB APABILA KITA MELAKUKAN HAL TERSEBUT, SESUNGGUHNYA TANPA KITA SADARI KITA TELAH MELAKUKAN KUFUR NIKMAT ATAS NIKMAT AKAL YANG TELAH DIBERIKAN ALLAH KEPADA KITA…

“Sebelum akhi bertanya sesuat yang nyeleneh, maka perlu ana tambahkan disini bahwa sekalipun kita telah mengetahui mengenai hikmah dibalik syariat Allah, bukan berarti kita boleh meninggalkan amalannya. Jika kita telah mengetahui tujuan daripada sholat ialah untuk mengingat Allah, bukan berarti hanya dengan mengingat Allah kita sudah dapat dikatakan telah melaksanakan sholat. Justru kita harus semakin semangat untuk melaksanakan sholat, karena telah mengetahui tujuan dan keutamaannya. Analogikan saja jika ada seorang pasien yang membutuhkan obat sedang dengan mengetahui khasiat daripada obat tersebut tentu akan membuat dia semangat untuk meminumnya, bukan malah meninggalkannya. Inilah salah satu bentuk keprihatinan ana terhadap saudara-saudara kita yang mengaku telah mengenal Allah atau mencapai tahap makrifatullah lalu dengan jahilnya meninggalkan syariat atau amalan yang diperintahkan-Nya. Seharusnya mereka tetap merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunah, lihatlah apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para salafus saleh. Bukankah Allah berfirman, Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS. Al-Maidah 16)”

Itulah rangkaian dialog silam yang terjadi antara Akhi Joe dan Akhi Ardian. Pola pikir Joe yang unik kadang kala menimbulkan pertanyaan besar dibatinnya, yaitu apakah orang-orang di sekitarnya mempunyai pola pikir yang jumud dan stagnan, sehingga tidak bisa mengikuti kedinamisan zaman? Atau pola pikir Joe yang telah melampaui zaman dimana dia berada saat ini? Apakah ini tanda-tanda akan terjadi revolusi pemikiran? Wallahu’alam, Joe sendiri tidak tahu pasti.
***

Waktu yang direncanakan untuk diadakan pengajian telah tiba. Joe harus membuka pengajian yang dipimpinnya tersebut, setelah mengucapkan salam Joe mengiringi pembukaan pengajiannya dengan mengucapkan khutbatul haajah, diikuti sholawat kepada Nabiyullah Muhammad SAW.

Sapaan dan intro awal terkait materi yang akan diwacanakan pada malam hari itu, baru saja disampaikan Joe. Sejenak Joe mengajak semua yang hadir untuk saling berinteraksi dan berkenalan, agar tidak ada kesan kekakuan, namun juga tidak kebablasan menjadi terlalu cair. Joe ingin pengajian yang dikreasikannya menjadi pengajian yang bersifat dialog bukan monolog, karena Joe paham dia bukanlah seorang mahaguru sehingga mengarah pada figuritas untuk selalu didengar tanpa mau mendengar. Joe selalu menempatkan semua pemuda pemudi yang hadir sebagai sahabatnya, bukan sebagai muridnya. Bagi Joe dia bukan orang memiliki lebih banyak ilmu daripada yang lainnya, tetapi kebetulan dia hanya lebih dulu tahu mengenai informasi akan sesuatu daripada yang lainnya, sehingga tanpa rasa sungkan dia berbagi dan tanpa sadar telah mensugestikan dirinya untuk selalu bersikap tawadhu’, sebab Joe paham tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ kecuali Allah akan menaikkan derajat orang tersebut di sisi-Nya.

…JOE INGIN PENGAJIAN YANG DIKREASIKANNYA MENJADI PENGAJIAN YANG BERSIFAT DIALOG BUKAN MONOLOG, KARENA JOE PAHAM DIA BUKANLAH SEORANG MAHAGURU SEHINGGA MENGARAH PADA FIGURITAS UNTUK SELALU DIDENGAR TANPA MAU MENDENGAR…

Suasana telah semarak akan aroma penasaran dari para musafir ilmu. Mereka ingin menambah bekal pengetahuan guna mencapai oase kebahagiaan dunia dan lembah kenikmatan surga. Joe masuk pada kajian inti yakni mengenai kecerdasan intelektual, emosional dan spritual.

“Tahukah sahabatku sekalian, apa yang dimaksud dengan orang jenius?”

Berbagai jawaban spekulatif dan kadang asal terlontarkan. Ada yang menjawab,
“Memiliki IQ diatas 140”… “Mampu menghasilkan karya-karya seperti Leonardo da Vinci, Michaelangelo ato Mozart” bahkan ada yang menjawab “Memiliki kemampuan kayak detektif conan” Jawaban barusan keluar dari lisan Fabian. Bermacam-macam jawaban. Beraneka tanggapan. Joe membiarkan terlebih dahulu. Setelah reda akan gemuruh jawaban, Joe menyampaikan pendapatnya.

“Menurut saya yang dimaksud dengan orang jenius ialah orang yang telah memiliki secara berimbang segitiga kecerdasan. Siapa yang tahu apa itu segitiga kecerdasan?”

Semua terdiam. Ingin menjawab khawatir salah, lalu dicap sok tahu.

“Segitiga kecerdasan terdiri dari kecerdasan intelektual, emosional dan spritual”

“Ohh…” jawab yang hadir. Seperti biasa terdapat desas desus diantara yang hadir, seperti,”Aku udah tahu jawabnya itu, cuma ragu aja mau ngomong”… “Kalo aku sih udah tahu tapi males aja mau ngomong” dan lainnya. Joe hanya tersenyum mendengar ocehan-ocehan ringan tersebut.

“Baiklah sekarang saya akan menjelaskan satu per satu mengenai kecerdasan intelektual, emosional dan spritual, dimulai dari kecerdasan intelektual”

Keheningan menyinggahi Masjid Jabal Nur. Semua menyimak, tak terkecuali para malikat. Para malaikat bernostalgia pada masa Adam A.S pertama kali diciptakan, saat Allah menantang mereka untuk menyebutkan nama-nama atas sesuatu, lalu mereka tak mampu menjawabnya sebab belum diajarkan oleh Allah SWT. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana ternyata telah terlebih dahulu mengajarkannya kepada Adam A.S, dan memerintahkan Adam A.S untuk mengajarkannya kepada para malaikat. Kali ini mereka mendengarkan kembali dari seorang bani adam.

“Tadi ada yang mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan jenius kalo dia memiliki IQ diatas 140. Pandangan ini sesungguhnya kurang benar, karena pola yang digunakan dalam tes IQ lebih mengedepankan kemampuan otak kiri yaitu logika dan analisis, sehingga kurang mempertimbangkan kemampuan atau kelebihan dari otak kanan seseorang berupa intuisi dan imajinasi, sehingga bersikap diskriminatif. Kelemahan lain dari pola ini adalah terdapat bias budaya, bahasa dan lingkungan yang mempengaruhinya. Kekecewaan terhadap tes IQ konvensional menimbulkan pengembangan sejumlah teori alternatif, yang semuanya menegaskan bahwa kecerdasan adalah hasil dari sejumlah kemampuan independen yang berkonstribusi secara unik terhadap tampilan manusia”

Aliran oksigen yang dibawa darah mengalir dengan kecepatan tinggi, untuk memberi konsumsi oksigen yang cukup bagi otak. Jantung bekerja ekstra. Otak semua yang hadir berupaya menghasilkan sinyal listrik lebih sebab kajian yang diberikan oleh Joe kali ini lumayan berat. Konsentrasi dibutuhkan.

“Jika memang kemampuan otak kiri yang menjadi ukuran kecerdasan, apa betul jika seorang fisikawan lebih cerdas dari seorang seniman? Apa betul Einsten lebih cerdas dari Mozart? Apa bijak mengatakan bahwa Leonardo da Vinci kalah cerdas dari Isaac Newton. Tidak saudaraku sekalian. Seseorang bisa dikatakan cerdas secara intelektual apabila dia memiliki kemampuan yang baik dan berimbang dalam penggunaan otak kiri dan otak kanan. Kemampuan intuisinya sama bagusnya dengan kemampuan analisis. Kemampuan imajinasinya sama baiknya dengan kemampuan berlogika”

Pencerahan akan tabir pengetahuan-Nya mulai sedikit terkuak, akal mereka secara sadar menerima definisi yang baru saja ditawarkan oleh Joe.

…SESEORANG BISA DIKATAKAN CERDAS SECARA INTELEKTUAL APABILA DIA MEMILIKI KEMAMPUAN YANG BAIK DAN BERIMBANG DALAM PENGGUNAAN OTAK KIRI DAN OTAK KANAN. KEMAMPUAN INTUISINYA SAMA BAGUSNYA DENGAN KEMAMPUAN ANALISIS. KEMAMPUAN IMAJINASINYA SAMA BAIKNYA DENGAN KEMAMPUAN BERLOGIKA…

“Bisa saya ambil contoh kasus seperti ini. Telah menjadi kesepakatan ilmiah bahwa kemampuan orang dalam berbahasa atau berbicara yang lazim disebut kemampuan verbal atau linguistik merupakan salah satu representasi bekerjanya otak kanan. Bisa kita lihat kenyataan dilapangan, betapa banyak orang yang telah mencapai tingkat master, doktoral atau bahkan profesor, yang tentu saja secara keilmuan tidak diragukan lagi kemampuannya, begitu diberi kesempatan berbicara didepan kelas atau umum terkadang membuat orang merasa bosan, jenuh bahkan terkesan tidak menarik. Apa penyebabnya? Bukan karena kedangkalan ilmu, bukan juga apa yang disampaikan oleh mereka tidak urgen… melainkan karena kemampuan verbal mereka kurang. Kemampuan mereka dalam merangkai kata lemah dan komunikasi yang disampaikan terkesan kaku dan teoritis sekali, sehingga menjadi tidak menarik untuk didengarkan. Hal ini bisa terjadi tak lain karena mereka kurang mengoptimalkan kemampuan otak kanan dan terlalu fokus pada otak kiri. Perhatikanlah Rasulullah dalam menyampaikan hadits-haditsnya, betapa indah dan sarat maknanya, bahkan bisa dikatakan sebagai sastra terbaik setelah Al-qur’an”

Betul juga ya Semua membatin.

…BUKAN KARENA KEDANGKALAN ILMU, BUKAN JUGA APA YANG DISAMPAIKAN OLEH MEREKA TIDAK URGEN… MELAINKAN KARENA KEMAMPUAN VERBAL MEREKA KURANG…

“Semua rencana besar, bagaimana-pun skalanya dan apapun bentuknya, pasti selalu dimulai dengan ide atau mimpi, sedang ide atau mimpi merupakan produk dari otak kanan, setelah ide ditemukan baru dilanjutkan dengan analisis realistis dan logis yang tiada lain merupakan produk dari otak kiri, sehingga tidak salah jika Rasululllah dalam kesehariannya selalu memulai dari yang kanan. Melangkahkan kaki keluar rumah, memasuki masjid dan lainnya. Lihatlah betapa pentingnya peranan otak kanan maupun otak kiri, sehingga tidak berlebihan jika Aisyah maupun Umar pernah mengatakan, ajarilah anak-anakmu sedari dini sastra, agar apa? Agar sel-sel otak kanan mereka hidup, dan itu merupakan permulaan yang bagus sebelum memasuki jenjang logika. Sastra merupakan salah satu bentuk seni, sedang seni sangat mengandalkan intuisi dan imajinasi, pelajarilah seni, baik sastra, musik maupun seni lainnya dan tentunya harus sesuai dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Didalam islam terdapat seni kaligraphi, arsitektur, syair, sastra, bahkan lantunan seperti qiratus sab’ah, setelah itu ajarilah mereka ilmu mantiq, fiqh atau hikmah. Insya Allah kecerdasan intelektual dalam arti sebenarnya akan mampu diraih. Sesungguhnya orang berilmu itu belum tentu cerdas, sebab kecerdasan sendiri merupakan pondasi dan ilmu adalah bangunannya, apa jadinya bangunan tanpa pondasi… dan apabila kecerdasan telah bertautan dengan ilmu maka hal tersebut akan menghasilkan pemahaman, sedang pemahaman sendiri merupakan media untuk mengetahui hikmah, sementara hikmah adalah syarat mutlak bagi mereka yang berpredikat sebagai ulul-albab”


…SEMUA RENCANA BESAR, BAGAIMANA-PUN SKALANYA DAN APAPUN BENTUKNYA, PASTI SELALU DIMULAI DENGAN IDE ATAU MIMPI, SEDANG IDE ATAU MIMPI MERUPAKAN PRODUK DARI OTAK KANAN, SETELAH IDE DITEMUKAN BARU DILANJUTKAN DENGAN ANALISIS REALISTIS DAN LOGIS YANG TIADA LAIN MERUPAKAN PRODUK DARI OTAK KIRI, SEHINGGA TIDAK SALAH JIKA RASULULLLAH DALAM KESEHARIANNYA SELALU MEMULAI DARI YANG KANAN…

…SESUNGGUHNYA ORANG BERILMU ITU BELUM TENTU CERDAS, SEBAB KECERDASAN SENDIRI MERUPAKAN PONDASI DAN ILMU ADALAH BANGUNANNYA, APA JADINYA BANGUNAN TANPA PONDASI… DAN APABILA KECERDASAN TELAH BERTAUTAN DENGAN ILMU MAKA HAL TERSEBUT AKAN MENGHASILKAN PEMAHAMAN, SEDANG PEMAHAMAN SENDIRI MERUPAKAN MEDIA UNTUK MENGETAHUI HIKMAH, SEMENTARA HIKMAH ADALAH SYARAT MUTLAK BAGI MEREKA YANG BERPREDIKAT SEBAGAI ULUL-ALBAB…

Maha Suci Engkau ya Allah, tiadalah yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan pada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, dan tiadalah mengetahui yang gaib baik di bumi maupun di langit selain Engkau, termasuk apa yang telah Engkau anugerahkan ke dalam pikiran bani adam satu ini Ucapan mensucikan dan mengagungkan Allah SWT baru saja terlontar dari mereka yang hadir begitu juga dengan para malaikat.

“Setelah mengetahui mengenai kecerdasan intelektual, selanjutnya kita bahas mengenai kecerdasan emosional. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional?”
Kembali Joe melemparkan pertanyaan, karena baginya ini forum diskusi, berharap tercipta dialog, tapi kali ini tidak ada yang berani menjawab. Joe tersenyum.

“Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosional apabila dia telah bersikap dewasa dalam mengahadapi setiap hal, yang oleh orang-orang filsuf atau ahli hikmah lazim disebut sebagai kebijaksanaan. Ya jadi kedewasaan itu sama artinya dengan kebijaksanaan. Semua pasti pada tahu bahwasanya tua itu sunatullah, sedang kedewasaan atau kebijaksanaan merupakan akhlakul karimah. Mengapa saya katakan akhlakul karimah? Karena parameter terbaik untuk mengetahui kebijaksanaan diri ialah dengan melihat akhlak yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Terkadang penyikapan kita terhadap suatu hal bisa bersifat relatif untuk menjadi sebuah objektifitas, namun melalui sunah Rasulullah, kita bisa mengetahui bahwa yang haq itu haq dan yang batil itu batil, sekalipun tidak menyenangkan dan tidak pas di hati. Dapat dilihat dari sikap seseorang dalam menyikapi kematian, rezeki, jodoh dan lainnya. Dari sikap mereka dalam menghadapi semua hal tersebut, kita bisa menilai apakah mereka termasuk insan-insan yang memiliki kebijaksaan diri atau kedewasaan jiwa. Itulah konsep mengenai kecerdasaan emosional”

…SEMUA PASTI PADA TAHU BAHWASANYA TUA ITU SUNATULLAH, SEDANG KEDEWASAAN ATAU KEBIJAKSANAAN MERUPAKAN AKHLAKUL KARIMAH…

“Apakah antara kecerdasan intelektual dan emosional memiliki tahapan? Mana yang harus didahulukan?” Fabian bertanya.

“Smart question!!” respon Joe dengan senyum ramahnya.

“Ada dong tahapannya. Sangat sulit bagi kita untuk memiliki kecerdasan emosional jika tidak terlebih dahulu memiliki kecerdasan intelektual, sebab kecerdasan intelektual adalah gerbang bagi maksudnya ilmu Allah. Kecerdasan intelektual ibarat filter sekaligus processor untuk memilah dan memahami ilmu-ilmu yang masuk. Bukankah dengan memiliki kecerdasan intelektual, berarti kita akan memiliki kepahaman, dan berawal dari kepahaman atas suatu kondisi maka kemudian kita mampu menyikapi dengan bijak setiap keadaan. Mampunya kita menyikapi setiap keadaan secara dewasa atau bijak menunjukan bahwa kita telah memiliki kecerdasan emosional, tapi ingat!!.. ukuran apakah sikap yang kita ambil bijak atau tidak harus dilihat dari sudut pandang islam yakni dengan melihat akhlak Rasulullah SAW”

…MAMPUNYA KITA MENYIKAPI SETIAP KEADAAN SECARA DEWASA ATAU BIJAK MENUNJUKAN BAHWA KITA TELAH MEMILIKI KECERDASAN EMOSIONAL, TAPI INGAT!!.. UKURAN APAKAH SIKAP YANG KITA AMBIL BIJAK ATAU TIDAK HARUS DILIHAT DARI SUDUT PANDANG ISLAM YAKNI DENGAN MELIHAT AKHLAK RASULULLAH SAW…

Malam menuai gelap. Serpihan yang tampak oleh mata, bagai tamu cahaya di langit dunia. Belum ada rasa kantuk menyerang, penghuni Masjid Jabal Nur masih bugar, malah semakin segar jiwanya, tak lain hal tersebut ialah konsekuensi logis dari cipratan butiran rahmat-Nya. Mereka semakin asyik.

“Untuk melengkapi segitiga kecerdasan, maka sekarang akan saya jelaskan mengenai kecerdasan spritual. Saya langsung saja… Mengenai kecerdasan spritual, bisa dianalogikan bagai sebuah pendingin. Kala mesin akal dan emosi sudah tidak mampu lagi menjawab, saat itulah kecerdasan spritual bekerja, dengan mengatakan : aku beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya. Saya ambil contoh, apakah akal kita mampu untuk menjawab hakikat mengenai tangan Allah, mata Allah, bagaimana bentuknya, apakah sama dengan yang dimiliki oleh mahluk-Nya, lalu bagaimanakah keadaan surga, seperti apakah rupa penghuninya. Akal dan emosi kita tidak akan mampu menjawabnya, dan dengan memiliki kesadaran diri bahwa akal dan emosi kita tidak mampu menjawabnya, lalu kita ucapkan : aku beriman pada Allah dan apa yang diturunkan kepada nabi-nabinya, itulah tanda nyata bahwa kita telah memiliki kecerdasan spritual”

…DENGAN MEMILIKI KESADARAN DIRI BAHWA AKAL DAN EMOSI KITA TIDAK MAMPU MENJAWABNYA, LALU KITA UCAPKAN : AKU BERIMAN PADA ALLAH DAN APA YANG DITURUNKAN KEPADA NABI-NABINYA, ITULAH TANDA NYATA BAHWA KITA TELAH MEMILIKI KECERDASAN SPRITUAL…

“Kenapa bisa begitu?” kembali Fabian ingin menggugah rasa penasarannya.

“Saudaraku sekalian ketahuilah, sesungguhnya ilmu pengetahuan manusia masih terlalu muda untuk mengerti maksud-maksud Allah. Ingatlah tatkala Allah menurunkan al-qur’an lebih dari empat belas abad yang lalu, sesungguhnya pada saat itu Allah telah menurunkan berbagai ilmu yang baru bisa dibuktikan kebenarannya saat ini. Salah satunya mengenai etape kejadian manusia. Mungkin seandainya saja kita hidup dizaman Rasulullah, akal dan batin kita akan bertanya-tanya saat membaca Surat Al-Mu’minun ayat 14, apa benar ini merupakan proses kejadian manusia? Karena kita memiliki kecerdasan spritual, mungkin kita akan menjawab : aku beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, namun pada kenyataannya ilmu mengenai tahapan kejadian manusia atau secara ilmiah biasa disebut embriologi dan baru berkembang 90 tahun belakangan ini membenarkan apa yang difirmankan Allah. Al-Qur’an bagaikan gunung es yang mengalami proses pencairan seiring dengan berjalannya zaman dan akan mencair seluruhnya pada saat masa dunia telah sirna. Pencairan tersebut merupakan ilustrasi dari kehendak Allah untuk membuka satu per satu tabir ilmu-Nya, setelah tabir tersingkap, barulah tampak nyata bagi kita hikmah dan maksud-maksud Allah selama ini. Karena kita paham bahwa Allah atas kehendak-Nya hanya akan menurunkan ilmu dan hikmahnya secara bertahap, maka kita harus bijak dalam menyikapi tabir ilmu dan hikmah yang belum diturunkan kepada kita dengan mengatakan : untuk saat ini aku percaya dan beriman kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya. Mungkin Allah belum ingin menunjukan maksud dari ayat-ayat-Nya, mungkin juga nanti, tapi aku percaya bahwa Allah memiliki sifat Al-Hakim, sehingga setiap detil perbuatan-Nya selalu mengandung hikmah, untuk itu aku tidak ingin memaksa akal dan emosiku menjawab semua, cukuplah ku imani saja. Itulah kecerdasan spritual”

Selangkah lebih maju, para penghuni Masjid Jabal Nur, setidaknya untuk sementara ini telah memiliki pengetahuan mengenai berbagai kecerdasan.

…AL-QUR’AN BAGAIKAN GUNUNG ES YANG MENGALAMI PROSES PENCAIRAN SEIRING DENGAN BERJALANNYA ZAMAN DAN AKAN MENCAIR SELURUHNYA PADA SAAT MASA DUNIA TELAH SIRNA. PENCAIRAN TERSEBUT MERUPAKAN ILUSTRASI DARI KEHENDAK ALLAH UNTUK MEMBUKA SATU PER SATU TABIR ILMU-NYA, SETELAH TABIR TERSINGKAP, BARULAH TAMPAK NYATA BAGI KITA HIKMAH DAN MAKSUD-MAKSUD ALLAH SELAMA INI…

“Disisi lain memiliki kecerdasan spritual berarti, memiliki jiwa yang mampu mengarahkan diri untuk melakukan setiap aktivitas, dimana aktivitas tersebut selalu mengandung nilai ubudiyah atau ibadah kepada Allah SWT. Makannya ibadah, tidurnya ibadah, bergaul dengan istrinya ibadah. Semua detil kehidupannya adalah ibadah kepada Allah tanpa terkecuali. Lihatlah firman Allah, Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Adz-Dzariyat : 56) dan Katakanlah: Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS Al-An’am : 162)”

…DISISI LAIN MEMILIKI KECERDASAN SPRITUAL BERARTI, MEMILIKI JIWA YANG MAMPU MENGARAHKAN DIRI UNTUK MELAKUKAN SETIAP AKTIVITAS, DIMANA AKTIVITAS TERSEBUT SELALU MENGANDUNG NILAI UBUDIYAH ATAU IBADAH KEPADA ALLAH SWT…

“Untuk itu marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi orang-orang jenius, dengan menguasai segitiga kecerdasan, sebab dengan kejeniusan kita, insya Allah akan mampu membawa perubahan yang signifikan bagi kemajuan islam. Mengingat apa yang baru saya sampaikan tadi bahwa orang jenius adalah orang percaya pada Allah dan apa yang diturunkannya, untuk itu perlu kita pahami bahwa hanya dengan menjadi seorang muslim kita mampu untuk menjadi orang jenius dalam arti sesungguhnya. Jangan minder dengan kaum kuffar dan musuh Allah sebab insya Allah kesempatan kita untuk menjadi orang yang lebih jenius dari mereka lebih besar, yakni karena kita beriman, dan ingatlah bahwa yahudi menjadi hebat seperti sekarang, hingga pengaruhnya bisa kita rasakan diseluruh dunia saat ini, bukan karena faktor genetis, keturunan atau ras, melainkan faktor budaya. Budaya orang yahudi-lah yang telah membentuk karakter mereka seperti saat ini, budaya yang sangat menggemari ilmu pengetahuan. Untuk itu marilah kita belajar, belajar dan belajar. Ada satu hal yang hampir lupa saya sampaikan” Semua menunggu apa kiranya.

“Tadi saya katakan dengan memiliki segitiga kecerdasan insya Allah cukup untuk kita dikatakan sebagai orang yang jenius. Nah.. ada satu lagi kecerdasan yang insya Allah mampu membawa kita satu level lebih atas dari jenius, yakni super jenius. Untuk menjadi super jenius kita harus memiliki satu kecerdasan lagi, yaitu kecerdasan fisikal, sehingga sekarang kita tidak lagi berada pada konsep segitiga kecerdasan, melainkan bujur sangkar kecerdasan. Kecerdasan fisikal adalah kecerdasan yang dimiliki oleh fisik kita untuk menyesuaikan diri atau cepat beradaptasi dengan segala kondisi, fisik yang tangguh, sehat dan tidak gampang sakit. Jagalah kesehatan, atur pola istirahat dan makan yang benar, sehingga fisik kita terbiasa untuk membantu kita beramal sesuai dengan fitrahnya. Tercatat dalam sejarah kenabian bahwasanya Rasulullah seumur hidup hanya sakit dua kali, dan pada sakit yang kedua tersebut membawa pada wafatnya beliau. Luar biasa kekuatan fisik yang dimiliki oleh Nabi SAW, tak heran jika beliau bersabda, mukmin yang lebih kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Hendaklah kita menjadi mukmin dan mukminah yang kuat, baik secara intelektual, emosional, spritual dan fisikal, dengan begitu insya Allah kita akan lebih dicintai oleh Allah SWT”

…UNTUK MENJADI SUPER JENIUS KITA HARUS MEMILIKI SATU KECERDASAN LAGI, YAITU KECERDASAN FISIKAL, SEHINGGA SEKARANG KITA TIDAK LAGI BERADA PADA KONSEP SEGITIGA KECERDASAN, MELAINKAN BUJUR SANGKAR KECERDASAN…

…KECERDASAN FISIKAL ADALAH KECERDASAN YANG DIMILIKI OLEH FISIK KITA UNTUK MENYESUAIKAN DIRI ATAU CEPAT BERADAPTASI DENGAN SEGALA KONDISI…

Pertanyaan selanjutnya ialah, sudah sampai ditahap manakah kita? super jenius, jenius atau biasa saja Riak pertanyaan batin Joe kepada semuanya.

Sementara Fabian pulang dengan girangnya, dia tidak perlu menghabiskan uang jutaan hanya untuk mengenal Tuhan melalui ragam kecerdasan. Paling hanya ongkos ojek. Fabian merasa berterima kasih kepada Joe dan semua, “Jazakumullah Khairan”

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Mujadilah : 11)

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqarah : 247)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar