Jumat, 22 Januari 2010

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta (Bab I)

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta
Oleh : Erjie Al-Batamiy


BAB I

Dan ceritapun dimulai

Alunan lembut melody soft blues dari gitar Fender Tele-Caster berwarna hitam milik Ryan terdengar akrab di telinga teman-teman bandnya. Petikan demi petikan dirasa semakin mantap. Menghanyutkan ritme emosi dan mengantarkan getaran-getaran psikis para pendengarnya. Malam itu jam menunjukkan pukul sebelas lebih tiga menit. Para personil Inferno Band melakukan sesi terakhir latihan untuk konser hari Rabu mendatang. Tergambar jelas wajah puas para personil begitu juga dengan Dor, sang manajer yang punya nama asli Abdulrahman bin Sutarjo.

Para personil mengemas perlengkapan latihan masing-masing, dan kemudian semuanya bergegas, bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing, kecuali Ronald sang vokalis yang rumahnya menjadi basecamp sekaligus tempat latihan yang baru saja selesai.

Dor dan Ryan yang kebetulan tinggal serumah pada sebuah kontrakan pamit terlebih dahulu. Disusul Ijul dan Doni yang sempat menghisap sebatang rokok terlebih dahulu sebelum pulang.

Suasana kota Jogja sangat lenggang, hanya terdengar sesekali suara motor yang bergantian. Saat itu sedang musim hujan, jalan basah, angin terasa lembab. Kebetulan malam itu sedang tidak turun hujan. Ditengah jalan Dor dan Ryan berpisah. Dor pulang duluan karena sudah sangat mengantuk, sedangkan Ryan singgah terlebih dahulu ke warung bubur kacang ijo milik aa’ Bram.

Warung bubur kacang ijo milik aa’ Bram terletak tidak jauh dari kediaman Ryan, paling-paling hanya sekitar 200 meter arah selatan rumahnya. Ryan sudah mengenal aa’ Bram dan istrinya cukup lama. Sering ia dibawakan oleh-oleh jika aa’ Bram pulang ke Kuningan atau pun pulang ke kampung istrinya di Bandung.

Warung aa’ Bram selalu ramai di datangi oleh anak-anak kos yang ada di daerah tersebut. Selain makanannya yang terkenal enak, harga di warungnya pun dijamin lebih miring di banding warung-warung burjo lainnya. Ditambah lagi akan sifat aa’ Bram yang terkenal ramah dan gampang akrab pada siapa saja. Hal inilah yang membuat dia disenangi oleh banyak orang.

Dari kejauhan terdengar suara motor milik Ryan mendekat ke arah warung burjo. Perlahan tapi pasti motor tersebut berhenti tepat di depan warung burjo aa’ Bram. Saat itu seperti biasa warung terlihat ramai dipenuhi oleh anak-anak kos. Baik yang datang hanya sekedar untuk mencari cemilan, atau pun rokok, sampai yang benar-benar kelaparan juga ada.

Ryan memarkirkan motornya dengan hati-hati. Maklum zaman sekarang pencurian motor terjadi di mana-mana dan sebagai seorang muslim ia selalu berusaha untuk bersikap waspada sebagai bentuk usaha atau ikhtiarnya. Baru kemudian ia bertawakal menyerahkan semuanya kepada Allah.

Click, terdengar suara kunci pengaman yang ia pasang pada cakram depan motornya. Beberapa saat kemudian ia pun masuk ke warung tersebut dan memesan satu mangkok bubur kacang ijo hangat.

“A’ burjonya satu ya” ujarnya dengan sedikit serak pada suaranya

“Lho kok tumben, biasanya indomie goreng telor..”

“Tenggorokanku lagi rada gak enak a’.. mungkin gara-gara tadi latihannya pake’ AC, trus mana latihannya kemalaman lagi…” jawab Ryan sambil menahan sedikit sakit di tenggorokkannya. Sekalipun di band posisinya sebagai gitaris tetapi tidak jarang ia diminta juga oleh Ronald sang vokalis untuk jadi backing vocal, baik saat latihan maupun pada saat konser, dan tenggorokannya benar-benar sensitif terhadap udara dingin.

“Tadi habis latihan band..?” tanya aa’ ramah. Ryan Cuma mengangguk

“Di bungkus apa makan sini yan ?” tanya aa’ lagi.

“Makan sini aja a’.. gak usah pake’ ketan ya a’..”

“Sip bos..” jawab aa’ mantap

Tak lama kemudian semangkuk bubur kacang ijo hangat yang dipesan oleh Ryan tadi sudah tersaji tepat di hadapannya. Ia mengaduknya sambil meniup dengan perlahan. Tak lupa ia mengucapkan basmalah sesaat sebelum menyantapnya. Setelah beberapa suap ia mulai merasa agak enakkan. Hatinya mengucap syukur kepada rabbnya akan hal itu, dan ia mulai mengajak si aa’ ngobrol.

“Kemarin kenapa tutup seharian a’..?”

“Iya, kemarin saya mengantar istri ke rumah sakit.” Jawab aa’ bram kalem

“Teh Rika sakit apa a’? Perasaan dua hari yang lalu pas ketemu dengan saya kelihatannya baik-baik aja.”

“Penyakit Maagnya kambuh lagi, tapi kali ini lumayan parah.” Tampak raut kesedihan dari wajah aa’ Bram.

“Innalilahi wa innailaihi roji’un, tapi sekarang sudah tidak apa-apa kan ?..” tanya Ryan prihatin.

“Alhamdulillah sekarang sudah agak baikkan..” kemudian aa’ Bram permisi sebentar ke belakang untuk mengangkat gorengan yang baru saja matang.

Selang beberapa menit kemudian semangkuk Bubur Kacang Ijo yang tadi dipesan oleh Ryan habis di lahapnya. Ia mulai merasa mengantuk. Penat yang menjalar di seluruh tubuhnya ikut memberi andil menambah rasa kantuk tersebut. Tanpa berlama-lama lagi ia pun mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari saku celananya.

“A’ burjonya satu.”

“Sudah yan..? Ryan mengangguk. “Hm..burjo satu ya..? biasa seribu tiga ratus”

“Nih.. a’”.. seraya menyodorkan uang lima ribu yang di keluarkannya tadi.

Dengan cekatan tangan si aa’ mengambil uang lima ribu tersebut dan langsung mencari kembaliannya.

“Nih yan.. kembaliaannya..”

“Thanks a’..”.

Uang kembalian tersebut langsung saja di ambil oleh Ryan tanpa menghitungnya lagi. Sejurus kemudian kakinya melangkah keluar dari warung menuju motornya yang terparkir dengan aman. Sambil bersiul kecil ia membuka kunci pengaman yang terpasang di cakram depan motornya, lalu setelah itu ia memasukkan kunci ke kontak motor dan segera beranjak dari tempat itu.

***

Sesampainya dirumah, Ryan segera membuka pintu garasi, dengan sedikit tertatih ia mendorong motornya ke dalam garasi. Meletakkannya tepat disamping sedan hitam milik Abdurrahman alias Dor, panggilan keren sang manajer band.

Ryan mengamati sekeliling rumah, ternyata penghuninya sudah tertidur pulas semua. Ia terus berjalan dengan langkah gontai sambil menahan rasa kantuk. Matanya melirik ke arah jam dinding yang berada diantara dua kaligraphi arab bertuliskan Allah dan Muhammad yang tertata sedemikian rupa di sebelah kanan dan kiri jam dinding. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul dua belas kurang beberapa menit.

Hampir tengah malam rupanya. Ia bergumam.

Membuka almari pakaian, Ryan mencari sarung untuk sholat. Sambil menguap ia memilah-milah beberapa sarung miliknya, setelah beberapa saat, sehelai sarung bermotif kotak-kotak dengan variasi warna biru muda yang dominan serta warna putih dan ungu yang tampak serasi dikeluarkannya dari almari pakaian. Sarung tersebut diletakkannya di atas meja baca yang ditumpuki beberapa buku yang belum sempat dibaca olehnya.

Tangannya dengan perlahan menyingsingkan celana jeans yang sedang ia kenakan setinggi pangkal betisnya, kemudian ia menuju ke ruang wudhu yang berada di samping kamar mandi rumahnya.

Membasahi sebagian anggota tubuhnya dengan sucinya air wudhu dan ditemani oleh nada-nada dengkuran si Dor yang lumayan nyaring, Ryan mencoba untuk tetap menikmati suasana. Rasa kantuk yang tadi menyerangnya perlahan-lahan hilang sesaat setelah ia mengambil air wudhu.

“Kantuk yang baru saja menyerangku tadi benar-benar buah perbuatan setan”

Segera setelah mengganti pakaian, ia mengambil sajadah dan membentangkannya. Menghadapkan wajahnya kebawah dan mengarahkan pandangannya pada tempat dimana ia akan sujud, dengan penuh kekhusyukkan ia kerjakan lima rakaat shalat witir, shalat dengan bilangan ganjil pada rakaatnya dan sangat di anjurkan oleh Rasullullah SAW untuk dikerjakan setiap malamnya.

Sebenarnya ia lebih sering mengerjakan shalat malam pada sepertiga malam yang terakhir dengan bilangan sebelas rakaat. Namun malam ini ia betul-betul merasakan keletihan yang sangat di sekujur tubuhnya, khawatir kalau-kalau nanti ia tidak terbangun pada sepertiga malam yang terakhir dan melewatkan malam tanpa mengerjakan satu rakaat pun shalat lail maka dengan sedikit kepayahan ia mengerjakannya sebelum beranjak tidur. Baginya biarlah kehilangan sedikit pahala dari rabbnya daripada harus mengambil resiko kehilangan cinta dari-Nya. Bukankah Allah lebih mencintai hamba-hambanya yang melakukan ibadah secara konsisten atau terus-menerus meskipun hanya sedikit daripada banyak namun terputus-putus, pikirnya.

Setelah menyelesaikan sholat malam ia bersiap untuk tidur. Diaturnya alarm tepat pukul setengah empat pagi dan diletakkannya jam tersebut di samping kanan kasur yang hanya beralaskan tikar. Sejenak ia palingkan diri dari pikiran-pikiran yang membebaninya, dan dengan perasaan lega karena telah mengerjakan shalat witir, ia rebahkan badannya di atas kasur. Seraya menadahkan tangan, dalam keadaan berbaring ia berdoa ,kemudian badan, kaki dan wajahnya ia hadapkan ke kanan untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan nabinya pada saat tidur.

***

Perlahan ia coba memejamkan mata dan mengistirahatkan jasad yang telah seharian beraktivitas. Kira-kira setelah setengah jam berlalu tetap saja matanya belum menunjukkan tanda-tanda akan mengantuk. Semakin lama hal ini benar-benar membuat ia semakin cemas. Bagaimana tidak, kira-kira jam setengah empat nanti ia sudah harus bangun lagi, atau paling lambat jam empat tepat saat azan subuh berkumandang untuk mengikuti shalat subuh berjamaah di masjid. Apalagi subuh nanti merupakan gilirannya untuk mengisi tausiyah yang di adakan rutin saban hari minggu di masjid tersebut.

Sedikit memaksakan, Ryan mencoba untuk terus memejamkan mata. Baru sekitar satu jam kemudian ia mulai merasa nyaman, secara perlahan kesadarannya mulai menghilang dan terus menghilang ke alam bawah sadar. Alam dimana kematian menjadi saudara kembarnya. Alam dimana manusia tidak mengerti dimana sesungguhnya ia berada. Alam yang di kenal oleh awam sebagai alam tidur, tanpa terasa kepulasan telah menyelimutinya dan mengantarkan dirinya sejenak pada suatu fase lain dari kehidupan ini.

Sinar bulan malam itu cukup terang. Tersempurnakan akan kerlipan bintang-bintang yang mengangkasa. Cahaya perak dan lukisan malam yang tergores dalam kanvas kehidupan, meruas dan meruangi sisi-sisi jiwa manusia yang tiada walau sedetikpun luput dari pengawasan-Nya. Pengawasan dari yang memiliki mata namun tidak mengantuk, dari yang memiliki telinga namun tidak tuli, dari yang maha berkuasa namun tiada mendzalimi, dalam kasih-Nya (rahman) manusia hidup, dalam sayang-Nya (rahim) keimanan di bawa mati.

Raut yang tergambar pada wajah Ryan saat ini, saat ia sedang terlelap, menampakkan bahwa ia baru saja melewati hari yang sangat melelahkan. Hari yang mengantarnya untuk terlelap menghabiskan sisa-sisa malam. Hari-hari yang ia habiskan untuk menjalani profesi sebagai seorang musisi, tapi bukan sembarang musisi. Ia seorang musisi yang terkenal atau lazim di sebut artis. Merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Baru sekitar 26 tahun ia habiskan jatah umurnya di dunia ini.

***

Bunga tidur yang mengesalkan

Kring..kring..kring bunyi berulang-ulang alarm dari jam milik Ryan sontak memecahkan kesunyian di malam itu. Spontan seketika itu juga membuat yang empunya menjadi terjaga, dengan terburu-buru tangannya berusaha meraih jam tersebut dan mematikannya. Pada saat itu masih pukul setengah 4 pagi, namun dari arah samping rumahnya telah terdengar alunan ayat-ayat suci Al-quran melantun merdu mengalir di telinganya, menambah kesyahduan suasana di pagi itu. Keindahan lantunan ayat-ayat suci tersebut secara teratur mengirama melewati gendang telinganya dan membuat ia yang masih setengah sadar langsung terjaga sepenuhnya. Untunglah hal pertama yang diingatnya ialah Allah, serta merta bibirnya berucap Alhamdulillah, kemudian kearah langit ia menadahkan tangan dan berdoa,

“Alhamdulillahiladzi ahyanaa ba’damaa amaatanaa wa ilaihinnusyur, ya Allah segala pujian hanya Engkaulah pemiliknya, terima kasih terhaturkan dari hati hamba kepada-Mu duhai zat yang maha suci lagi maha terpuji, tiadalah daya maupun upaya melainkan atas izin-Mu sehingga hamba mampu menjadikan diri-Mu menjadi hal yang pertama kali hamba ingat saat hamba terjaga.”

Lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an yang masih saja berlangsung sampai kelak adzan subuh di kumandangkan sebenarnya berasal dari kaset yang sengaja di putar oleh takmir Masjid Nurul ‘ilmy, masjid yang berada di lingkungan rumah Ryan setiap setengah jam sebelum masuk waktu sholat subuh.

Sejujurnya malam tadi terasa amat singkat sekali bagi Ryan. Dia mungkin hanya tertidur kira-kira dua sampai tiga jam saja, namun kondisi badannya sudah terasa segar kembali. Agak aneh memang. Ia tak sadar dan terlupa bahwa sesuatu yang cukup penting baru saja terjadi dalam tidurnya.

Dengan sedikit gerakan perenggangan ia coba mempersiapkan diri untuk mengerjakan shalat subuh. Sambil sesekali menguap ia menuju kamar Dor dan adiknya Dor, yaitu sigit.

“Dor,git.. udah mo subuh, ayo bangun.. ntar kesiangan.”

“Ya..” sahut keduanya dengan nada memelas.

...SEJUJURNYA MALAM TADI TERASA AMAT SINGKAT SEKALI BAGI RYAN. DIA MUNGKIN HANYA TERTIDUR KIRA-KIRA DUA SAMPAI TIGA JAM SAJA, NAMUN KONDISI BADANNYA SUDAH TERASA SEGAR KEMBALI. AGAK ANEH MEMANG. IA TAK SADAR DAN TERLUPA BAHWA SESUATU YANG CUKUP PENTING BARU SAJA TERJADI DALAM TIDURNYA...

Selang sepuluh menit kemudian, Ryan sudah siap dengan rapi mengenakan baju koko dan sarung yang ia gunakan untuk shalat witir tadi malam, sedang Dor masih di kamar mandi, sementara Sigit baru saja mulai mengambil air wudhu dengan wajah yang sedikit mengantuk. Tepat pukul empat, adzan pun di kumandangkan oleh pak Heri, orang yang di bayar oleh takmir tiap bulan khusus untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Ryan mengambil sajadah, kemudian membentangkannya. Di ikuti oleh Dor dan Sigit, kemudian masing-masing dari mereka mengerjakan shalat fajar atau Qabliah subuh.

Ryan selalu membiasakan diri untuk mengerjakan shalat sunatnya di rumah kecuali jika dia sedang berpergian. Mengetahui keutamaan serta pahala yang akan di dapatkan, membuat Ryan prihatin melihat banyaknya orang yang masih mengerjakan shalat-shalat sunat mereka di masjid khususnya sholat rawatib. Padahal rasul telah menyampaikan sabda beliau bahwasanya shalat sunat yang di kerjakan di rumah jauh lebih utama daripada shalat sunat yang di kerjakan di masjid. Perbandingannya-pun tak tanggung-tanggung yaitu seperti perbandingan antara shalat fardu yang dikerjakan berjamaah dengan yang di kerjakan sendiri, yaitu 25 atau 27 kali lipat.

Sedikit mempercepat tanpa mengabaikan sifat shalatnya, kurang dari tiga menit, Ryan telah merampungkan ibadah sholat sunatnya. Dor dan Sigit sudah terlebih dahulu selesai, dengan tenang Ryan membuka pintu rumah, menutup dan menguncinya kembali.

***

Iqamah telah di kumandangkan. Terdengar suara pak Heri yang sedikit berat itu mengalun di udara. Shalat subuh-pun dimulai. Para jamaah dengan khusyuk mendengarkan imam melantunkan bacaannya, tak terkecuali Ryan.

Selang beberapa waktu kemudian, di tengah sholatnya tiba-tiba kekhusyukan Ryan mulai terganggu. Bukan gangguan yang sedikit, tetapi benar-benar menyesakkan. Gangguan yang hanya bisa di rasakan oleh Ryan seorang, tidak pada jamaah lainnya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi gangguan tersebut. Berusaha untuk merebut kembali kekhusyukan sholatnya yang telah di renggut oleh setan, namun apa daya ia tetap saja tak mampu.

Sayup-sayup konsentrasi terhadap bacaan, baik yang sedang dibacanya maupun yang sedang di baca oleh imam mulai surut dan berkurang. Dalam hati ia meminta perlindungan kepada Allah agar sudi untuk menghilangkan gangguan tersebut, namun tetap saja gangguan itu datang dan datang lagi hingga imam mengucapkan salam tanda berakhirnya sholat.

...PADA SAAT IA SEDANG ASYIK MASYUK MENGHADAP TUHANNYA, SEKETIKA ITU JUGA SETAN DENGAN LICIKNYA MENGINGATKAN RYAN AKAN SEBUAH MIMPI. MIMPI YANG IA ALAMI TADI MALAM. MIMPI YANG KELAK DIKEMUDIAN HARI AKAN SANGAT MEMPENGARUHI HIDUPNYA. SEBUAH MIMPI BURUK MENURUTNYA. BENAR-BENAR BURUK. LEBIH BURUK DARI MIMPI KETEMU HANTU, ATAU YANG SEJENIS...

Setelah salam, Ryan mengucapkan istighfar sebanyak tiga kali, memohon ampun kepada Allah akan ketidaksempurnaan shalatnya. Ia telah berusaha semampunya namun inilah yang terjadi. Lagi-lagi ini merupakan perbuatan setan, pikirnya.

“Bisa-bisanya ini terlintas pada saat aku sedang sholat”

Pada saat ia sedang asyik masyuk menghadap Tuhannya, seketika itu juga setan dengan liciknya mengingatkan Ryan akan sebuah mimpi. Mimpi yang ia alami tadi malam. Mimpi yang kelak di kemudian hari akan sangat mempengaruhi hidupnya. Sebuah mimpi buruk menurutnya. Benar-benar buruk. Lebih buruk dari mimpi ketemu hantu, atau yang sejenis.

Kekesalan memenuhi relung jiwanya. Sangat beralasan memang jika situasi batinnya menjadi seperti itu. Ia bertanya-bertanya mengapa ingatan akan mimpi itu baru terlintas pada saat ia sedang sholat. Mengapa tidak pada saat ia baru bangun tidur tadi, sehingga jika memang mimpi itu dirasa akan sangat mengusik kekhusyukan shalatnya ia bisa mewanti-wanti hal tersebut sebelum melaksanakan shalat.

Seandainya saja…

Setelah mengucapkan perkataan itu dalam hatinya Ryan buru-buru untuk beristighfar. Ia baru saja teringat bahwa perkataan seperti itu di larang oleh Rasullullah untuk di ucapkan meskipun hanya di dalam hati.

Perkataan ini hanya akan membuka lebih lebar lagi pintu masuk setan kedalam hatiku. Ia berusaha membuat ku menyalahkan apa yang telah di takdirkan Allah SWT. Maha suci Allah dari segala kekurangan termasuk salah dalam menetapkan takdir terhadap hamba-hambanya.

***

Waktu terus berputar, berjalan beriringan dengan laju kehidupan. Ryan sadar ia masih punya satu kewajiban lain, yaitu mengisi tausiyah pada pagi itu. Untuk sementara ia berusaha menyingkirkan pikiran tadi dari benaknya.

Siraman rohani pada pagi itu mampu ia sampaikan dengan baik. Tidak banyak yang di sampaikan olehnya. Tidak pula berat kandungannya. Baginya yang terpenting dapat memberikan ilmu yang praktis bagi para jamaah yang mendengarkan, untuk kemudian bisa langsung diamalkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

***

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar