Selasa, 12 Januari 2010

Cerpen : Karena Manusia Tidak Pantas di Surga


Cerpen : Karena Manusia Tidak Pantas di Surga Oleh : Erjie Al-Batamiy

Nabi Musa sedang termenung, bingung dan tak menentu luapan batinnya. Baru saja dia ingin melupakan perdebatan sengitnya dengan Nabi Adam. Dia malu, karena duel argumentasi antara dia dengan Nabi Adam dimenangkan secara mutlak oleh Nabi Adam.

Sesungguhnya dengan lapang dada Nabi Musa menerima kekalahannya, namun ada satu hal yang dirasa menyentil, hingga membuat dia merasa tidak nyaman.

Saat berdebat tadi, dengan lantang Nabi Musa berkata kepada Nabi Adam: “Wahai Adam, kamu adalah nenek moyang kami, kamu telah mengecewakan harapan kami dan mengeluarkan kami dari surga”

Dengan sigap serangan tersebut ditangkis oleh Nabi Adam seraya menjawab: “Kamu Musa, Allah telah memilihmu untuk diajak berbicara dengan kalam-Nya dan Allah telah menuliskan untukmu dengan tangan-Nya. Apakah kamu akan menyalahkan aku karena suatu perkara yang telah Allah tentukan empat puluh tahun sebelum Dia menciptakan aku?”

Ending perdebatan itu sudah bisa ditebak, Nabi Adam menang berdebat dengan Nabi Musa. Perang argument tersebut masih menyisakan residu ketidak-puasan dihati Nabi Musa,dia bertanya-tanya,

“Baiklah aku terima jika memang Allah telah berkehendak untuk mengusir Adam dari surga, hingga membuat semua manusia turun ke dunia, dan belum tentu apakah pada akhirnya akan kembali ke surga atau neraka, namun.. aku penasaran dan bertanya-tanya, mengapa Allah menciptakan takdir seperti itu? Buat apa? Bukankah lebih baik Adam tidak ditakdirkan untuk diusir dari surga, sehingga semua manusia bisa langsung menempati surga begitu mereka tercipta. Hmm.. sangat tidak mungkin Allah menggariskan hal tersebut, tanpa hikmah dan tujuan yang terkandung didalamnya, bukankah Allah adalah Al-Hakim (Maha Bijaksana), ada baiknya hal ini kutanyakan saja, mungkin ini kali kedua aku akan berbicara dengan Allah secara langsung, setelah di Bukit Thursina dahulu”

Nabi Musa kemudian bergegas menuju Arsy, dimana Allah sedang bertahta dengan “Sarung Kebesaran-Nya” dan “Selendang Kesombongan-Nya”. Nabi Musa bermaksud meluapkan rasa ingin tahunya kepada Allah SWT. Diperjalanan dia bertemu dengan Nabi Adam, Nabi Adam bertanya, “Hendak kemana engkau Musa?”, Nabi Adam sedikit heran. “Aku ingin bertemu dengan Allah SWT, ada hal penting yang ingin kutanyakan pada-Nya” Jawab Nabi Musa sembari melintas tanpa sedikitpun menoleh ke arah Nabi Adam.

Didorong akan bisikan-bisikan keingin-tahuan, langsung saja Nabi Adam mengikuti Nabi Musa menuju Arsy, agak cepat jalan Nabi Musa, namun Nabi Adam tetap menjadi makmum patuh mengikuti tempo jalan Nabi Musa.

Sesampai di ambang Arsy mereka berdua dicegat oleh Jibril,

“Assalamu’alaikum” Sapa awal Jibril. “Wa’alaikum salam” Jawab keduanya. “Ada gerangan apa kalian datang kesini?” Jibril mulai menginterogasi.

“Aku ingin bertemu dengan Allah SWT, bisakah aku bertemu dengan-Nya?” Nabi Musa mulai memberikan keterangan awal kepada Jibril.

“Benarkah?” Tanya Nabi Adam dan Jibril serentak kaget. “Ada perlu apa?” Interogasi lanjutan dari Jibril. “Maaf aku tak bisa mengatakannya, aku ingin menyampaikan langsung kepada Allah.”

Jibril berfikir, menimbang rasa, namun dia tidak berani memutuskan, “Baiklah, kalian berdua tunggu disini sebentar. Aku akan menuju Arsy untuk melaporkan hal ini pada Allah SWT.”

Selagi menunggu, Nabi Adam bertanya pada Nabi Musa kembali, “Ada apa?” dengan enteng Nabi Musa merespon, “lihat saja nanti”, tak lama kemudian dari tempat mereka berpijak, terlihatlah bayangan gelap sayap yang semakin meluas, melirik ke atas, ternyata Jibril telah kembali dari Arsy untuk melapor kepada Allah SWT.

“Aku sudah menyampaikan perihal kedatanganmu kepada Allah SWT, dan Dia berfirman bahwa Dia telah mengetahui maksud kedatanganmu, Dia berfirman bahwa engkau datang kali ini untuk menanyakan hikmah dari takdir diturunkannya Adam ke dunia, benarkan?”

Nabi Musa diam tanda setuju, lalu Nabi Adam dengan nada terkejut, “Seriuskah engkau wahai Musa?”, “Tentu saja” Nabi Musa mantap.

“Namun sayang wahai Musa, Allah SWT telah menuliskan di lauhul mahfudz, bahwa engkau ditakdirkan berbicara dengan-Nya, hanya pada saat didunia dahulu dan nanti ketika setelah kiamat terjadi, yakni di negeri akhirat kelak, tidak untuk saat ini dan untuk itu Allah SWT telah memberi mandat kepadaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu”. Jibril memberi penjelasan perihal pelaporannya tadi kepada Allah SWT, lalu tanpa diduga Jibril mengucapkan terima kasih kepada Nabi Musa atas kedatangannya.

“Terlepas dari ini semua, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu wahai Musa. Terima kasih atas kedatanganmu”

“Terima kasih untuk apa?” Nabi Musa keheranan.

“Aku berterima kasih karena berkat kedatanganmu ini aku bisa pergi ke Arsy lagi untuk menghadap Allah, kemudian diberi tugas kembali oleh Allah SWT untuk menyampaikan firman-Nya. Betapa senangnya. Tahukah engkau Musa, bahwa aku sangat merindukan tugasku dahulu sebagai penyampai wahyu Allah, sejak wafatnya kekasih Allah SWT, yakni Muhammad SAW, sejak saat itu aku menganggur. Aku tidak pernah lagi menjalani tugas sebagai penyampai wahyu, karena sejak Muhammad SAW wafat, sejak saat itu pula pintu kenabian telah tertutup, dan tentunya diikuti juga dengan tertutupnya pintu wahyu”

Nabi Musa memandang Jibril dengan tatapan meragukan, dia ragu apakah penjelasan Jibril itu valid, serta merta Nabi Musa berujar,

“Engkau berdusta wahai Jibril”, sergah Nabi Musa. “Apa yang ku dustakan” Jibril tidak terima. “Engkau berdusta bahwa saat ini engkau sedang menganggur, dan tidak pernah bertugas lagi untuk menyampaikan wahyu”, suasana memanas. “Buktikan jika aku berdusta” tantang Jibril.

“Baiklah” tantangan Jibril diterima Nabi Musa, sementara Nabi Adam enggan untuk ikut-ikutan, dia hanya menjadi pendengar.

“Wahai Jibril ketahuilah, pernah suatu hari datang beberapa kelompok malaikat. Mereka baru saja tiba dari belahan bumi bagian timur. Kebetulan saat itu kami berpapasan, saat sedang berpapasan dengan mereka, tanpa sengaja aku mendengar mereka saling berbisik-bisik, saling kasak-kusuk tentang sesuatu yang heboh, dari bisik-bisik tersebut setidaknya ada tiga hal yang aku dengar dan aku ingat hingga saat ini, pertama kelompok malaikat yang baru saja tiba dari negeri arab, mereka berbicara tentang ayat yang membahas masalah katak. Kedua kelompok malaikat yang baru saja tiba dari negeri bernama Lahore, mereka berbicara tentang nabi baru yang namanya mirip dengan nama Muhammad SAW, sedang ketiga kelompok malaikat yang baru saja tiba dari Indonesia, mereka berbicara tentang seorang wanita yang mengklaim dirinya sebagai penjelmaanmu wahai Jibril. Dari ketiga hal tersebut aku menafsirkan, bahwa kelompok malaikat yang pertama sedang bicara tentang Musailamah, sedang kelompok kedua sedang berbicara tentang Mirza Ghulam Ahmad, dan ketiga tentang Lia Aminudin. Nah, disebabkan adanya fakta-fakta tersebut, aku yakin bahwa engkau telah berdusta saat mengatakan sedang menganggur tidak memiliki tugas lagi untuk menyampaikan wahyu, sementara pada kenyataannya setelah wafatnya Muhammad SAW, masih saja ada nabi-nabi baru, yang tidak mungkin mendapatkan predikat nabi jika tidak mendapatkan wahyu, dan tidak mungkin wahyu itu bisa mereka dapatkan kecuali engkau yang menyampaikannya”

“Oohhhh..” Terang bagi Jibril maksud Nabi Musa. “Wahai Musa akan kuterangkan kepadamu sebagai bentuk klarifikasi dariku. Harus kau ketahui bahwa mereka semua, yang mengaku sebagai nabi adalah sekelompok manusia yang memiliki satu klasifikasi yang sama, yakni kelompok manusia yang mudah GR dan ke-PD-an. Lihatlah Musailamah, hanya karena para pengikutnya sangat mencintai dia dan menjuluki dia sebagai ar-rahman, dia telah berani memproklamirkan diri sebagai nabi dan dengan PD nya meminta kepada Muhammad SAW untuk membagi kekuasaan di bumi ini menjadi 2, seolah-olah risalah kenabian adalah ajang bagi-bagi wilayah kekuasaan, lalu ada Mirza Ghulam Ahmad dan Lia Aminudin, mereka berkata bahwa mereka telah diberi wahyu melalui mimpi, seolah-olah Allah SWT telah berfirman kepada mereka dan mengangkat mereka menjadi nabi, padahal mereka saja yang ke-GR-an, apa jaminannya bahwa yang mendatangi mereka melalui mimpi tersebut adalah Allah SWT atau aku sebagai penyampai wahyu? Tentu saja tidak ada. Mereka semua adalah pembohong di zamannya masing-masing, jadi tidak benar hal tersebut. Kesemuanya hanya fitnah belaka.”

“Engkau tidak sedang berdusta wahai Jibril?” Selidik Nabi Musa. “Sesungguhnya aku ini penyampai Kalamullah, tidak ada hak sedikit-pun atas ku untuk mendustakan lisanku ini” Jibril coba meyakinkan Nabi Musa, dan dengan senyum Nabi Musa berkata bahwa dia percaya, “Baiklah aku percaya”.

“Jika engkau telah percaya wahai Musa, ada baiknya kita lanjutkan pada acara inti, berkaitan dengan kedatanganmu kali ini untuk menanyakan hikmah diturunkannya Adam ke dunia” Nabi Adam yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, “Bagus ada baiknya kita mulai sekarang saja. Sejujurnya aku sudah tidak sabar dan penasaran ingin mengetahui alasannya”

“Bismillah” Jibril memulainya dengan menyebut nama Allah SWT. “Wahai Musa, sebelum aku menjelaskan alasan Allah SWT mentakdirkan Adam turun ke dunia, ada baiknya akan aku jelaskan terlebih dahulu makna Al-Hakim menurut ajaran Islam, namun.. karena dari sisi pandangan Islam, untuk itu aku akan menggunakan Al-Qur’an sebagi rujukannya. Aku harap engkau tidak tersinggung wahai Musa karena tidak menggunakan kitab yang diturunkan Allah SWT kepadamu yakni Taurat”

“Tentu tidak. Aku sama sekali tidak tersinggung. Risalah kenabian merupakan masalah estafet penyampaian, makin ke belakang makin menyempurnakan. Begitu juga dengan kitab kenabian, kitab yang datang belakangan merupakan kitab yang membenarkan sekaligus menyempurnakan kitab terdahulu, tentu tidak relevan jika aku ngotot untuk tetap menggunakan taurat, bukankah apa yang ada didalam taurat telah terkandung didalam Al-Qur’an”

“Baiklah jika memang begitu. Didalam Islam Al-Hakim memiliki makna yaitu Dzat pemilik hikmah yang Maha Sempurna. Artinya Allah 'Azza Wa Jalla tidak pernah menciptakan dan memerintahkan sesuatu kecuali untuk suatu hikmah dan semua ketetapan Allah termasuk taqdir adalah ketetapan yang bijaksana, tepat dan bagus. Tidaklah Allah SWT menciptakan sesuatu apapun untuk tujuan yang sia-sia, dan tidak pula Allah SWT menetapkan hukum syariat apapun kecuali sesuatu yang pasti maslahat. Dari pengertian tersebut wajib bagi kita untuk terlebih dahulu merangkai kerangka pikiran dan hati kita, dengan memasukkan sebuah foto bergambar senyuman keikhlasan. Dimana foto tersebut merupakan lambang dari bentuk husnu-dzan terhadap Allah SWT dan bentuk keikhlasan untuk menerima semua yang telah digariskan oleh Allah SWT, karena percaya, apapun yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT itu sudah pasti baik” Terbayang sejenak serpihan kenangan dibenak Jibril. Dia teringat sekaligus rindu akan kenangan masa lalu dimana dia masih sering mengajarkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW dahulu, saat Rasulullah SAW masih hidup di dunia.

“Dan alasan mengapa Allah SWT mentakdirkan Adam untuk turun ke dunia adalah karena harga diri mahluk bernama manusia, yang menghalangi mereka untuk langsung tinggal di surga begitu mereka tercipta. Sesungguhnya pada saat Adam diciptakan untuk pertama kalinya, Allah SWT langsung memerintahkan kami para malaikat untuk sujud sebagai suatu bentuk penghormatan, karena manusia mahluk yang mulia, untuk itulah mereka ditugaskan sebagai khalifah di dunia”

“Lalu?” Satu kata dari Nabi Musa.

“Sekarang aku bertanya padamu wahai Musa, pantaskah seorang yang ingin diberi predikat sebagai seorang sarjana, namun untuk mendapatkan predikat tersebut dia hanya menjalani Ujian Akhir Nasional (UAN) tingkat SD, sungguh tidak pantas, karena begitu dia lulus dari ujian tingkat SD tersebut, dia hanya pantas menyandang gelar sebagai tamatan SD bukan sarjana, sehingga tidak ada bedanya dengan manusia, sungguh tidak pantas bagi kalian diberi predikat oleh Allah SWT sebagai mahluk terbaik yang pernah diciptakan-Nya, kemuliaannya melebihi kami para malaikat sampai-sampai kami harus sujud menghormatinya, lalu Allah SWT memberi ilmu yang lebih dibandingkan kami, dan atas kelebihan-kelebihan tersebut pantaskah kalian untuk menempati surga tanpa di uji sama sekali? Sangat tidak pantas tentunya. Harga diri kalian sangat tinggi dan membuat kalian tidak pantas untuk menempati surga tanpa terlebih dahulu menjalani ujian di dunia sebagai mahluk bernama manusia”

“Seandainya saja manusia boleh memilih untuk ditakdirkan bisa langsung menempati surga tanpa menjalani ujian sebelumnya?” Tiba-tiba Nabi Adam menggubris dialog antara Nabi Musa dengan Jibril.

“Konsekuensinya wahai Adam, kalian tidak pantas menyandang gelar sebagai manusia, kalian tidak pantas disebut sebagai mahluk terbaik Allah SWT, dan kami tidak sudi untuk melakukan sujud penghormatan kepada kalian, karena dengan begitu klasifikasi kalian tentu berada lebih rendah dari mahluk bernama manusia. Sekali lagi aku katakan bahwa kalian wajib untuk menjalani ujian hidup di dunia, karena kalian adalah manusia, mahluk terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya. Untuk itu bersuka citalah kalian atas kemuliaan yang kalian dapatkan itu”

“Setuju” jawab Nabi Adam dan Nabi Musa serentak. Mereka sumringah. Bersama-sama mereka saling berujar dengan sebuah kalimat bijak, ”Mengapa engkau harus menjalani ujian dunia sebelum kembali ke surga? Karena aku adalah mahluk bernama manusia!”. Jibril ikut-ikutan menimpali,

“Andaikan ada yang bertanya, maukah kalian hidup di surga begitu tercipta?” dengan kompak Nabi Adam dan Nabi Musa menjawab,

“Ih.. emang kita makhluk apaan, kita ini manusia gitu lhoo... “. “Ha..” Mereka semua tertawa.

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’am:18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar