Selasa, 12 Januari 2010

Cerpen : Tasawuf Cinta Sang Puteri


Cerpen : Tasawuf Cinta Sang Puteri
Oleh : Erjie Al-Batamiy

Sultan Fawwaz Al-Maghriby terlihat cemas. Berbaur perasaan bingung dan juga khawatir, mengenang nasib puterinya. Sudah sebulan sang puteri tidak pulang ke istana. Ayah dan bunda sudah tak sabar ingin bersua.

Kira-kira beberapa bulan yang lalu Puteri Nayla Fawwaz mengatakan kepada sultan dan permaisuri bahwa dia ingin berubah untuk menjadi lebih baik lagi, dengan bertaqarrub kepada Allah SWT. Puteri Nayla ber’azzam untuk belajar tentang agama Islam dengan benar dan berusaha untuk mereguk cinta sejatinya yakni Mahabatullah (cinta kepada Allah ‘azza wa jalla).

Sebulan yang lalu Puteri Nayla mengklaim bahwa dia telah menemukan cinta sejatinya, dan atas cinta tersebut dia merasa berkewajiban untuk berkorban demi cinta-Nya, agar Allah yang Maha Lembut dan Maha Halus sudi menerima Puteri Nayla sebagai kekasih-Nya. Untuk itu dia pergi meninggalkan istana, meninggalkan tempat dimana dia lahir dan bertahun-tahun dibesarkan disana. Meninggalkan segala kenikmatan istana yang pernah dicicipinya. Puteri Nayla berujar kepada Sultan Fawwaz,

“Wahai ayahanda sungguh kecintaan ananda kepada Allah SWT telah menuntun ananda untuk pergi meninggalkan istana ini, ananda ingin zuhud terhadap dunia ini dan mengharapkan hanya cinta-Nya. Jika ayahanda memang masih mencintai ananda, marilah ikut bersama ananda, kita tinggalkan istana ini untuk berbaur menjadi rakyat jelata”

Pilihan yang berat menurut Sultan Fawwaz. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan istana dan seluruh urusannya. Urusan umat yang dibebankan kepadanya sebagai amir negeri. Sultan Fawwaz mencoba memberikan pengertian kepada puterinya, namun Puteri Nayla tetap dengan tekad semula, yakni pergi meninggalkan istana.

Beberapa hari setelah kepergian puteri, Sultan Fawwaz mengutus beberapa prajurit untuk mencari tahu kabar Puteri Nayla dan betapa pilu hati sang sultan mendengar berita yang dibawa prajurit sepulang dari tempat Puteri Nawwaz bermukim. Ternyata Puteri Nayla tinggal sebatang kara dipinggiran hutan dekat perbatasan negeri. Di gubuk reot yang menjadi tempat tinggal puteri, hanya diterangi oleh sebatang lilin saja. Penampilannya kumal hampir tidak bisa dikenali. Tiap hari dia hanya memakan sekerat roti. Untuk membeli roti dan lilin setiap harinya Puteri Nayla mencari kayu kering dihutan untuk dijadikan kayu bakar agar bisa dijual di pasar, dan beruntungnya kerabat istana karena setiap pergi ke pasar untuk menjual kayu dan membeli roti dan lilin, Puteri Nayla selalu menggunakan hijab seperti niqab sehingga orang tidak ada yang mengenali bahwa orang tersebut adalah puteri amir mereka. Tak terbayangkan jika orang-orang pada tahu bahwa Puteri Nayla telah berubah, tidak seperti yang mereka kenal dahulu. Hendak diletakkan dimana muka para kerabat istana terutama Sultan Fawwaz karena malu.

Ketika ditanya oleh Sultan Fawwaz perihal perubahan yang terjadi padanya kini, Puteri Nayla menjawab,

“Ayahanda apalah artinya ananda melahap berbagai makanan lezat nan mengenyangkan, namun jiwa ananda lapar dan dahaga. Cukuplah Allah bagi ananda. Berkhalwat dengan-Nya membuat jiwa ananda kenyang dan tak ada santapan yang lebih lezat selain selalu menyibukkan diri dengan berdzikir menyebut nama-Nya, hingga memalingkan diri ananda dari wajah dunia. Tak perlu ayahanda menjemput, biarkan ananda untuk tetap disini”

Sultan Fawwaz kehabisan akal untuk meminta puteri kesayangannya kembali ke istana, lalu sambil bersandar pada singgasananya, Sultan Fawwaz coba berkonsultasi dengan para penasehatnya. Berunding membahas langkah apa yang sekiranya bisa diambil untuk membuat Puteri Nayla kembali seperti sedia kala.

Perdana Menteri Tariq Barnini memberikan saran kepada sultan,

“Ada baiknya sultan mengadakan sayembara dan mengumumkan ke seluruh penjuru negeri. Umumkan bahwa siapa saja yang mampu membujuk Puteri Nayla kembali ke istana maka akan diberi hadiah”

“Tapi wahai perdana menteri, dengan begitu akan membuat semua orang tahu keadaan Puteri Nayla saat ini mau diletakkan dimana mukaku, bisa jadi seluruh orang di negeri ini berbondong-bondong mendatangi Puteri Nayla untuk membujuknya dan aku khawatir dia akan syok akan hal tersebut dan marah padaku. Kurasa itu tidak efektif”

“Sultanku, ketahuilah bahwa Puteri Nayla bukan wanita sembarangan, dia wanita yang cerdas. Tentu saja kesempatan sayembara ini tidak bisa kita berikan ke sembarang orang. Cukuplah orang yang memiliki kecukupan ilmu dan pemahaman agama yang benar, yang mampu membujuk Puteri Nayla untuk kembali. Hamba akan bermusyawarah dengan para imam besar di negeri ini, akan hamba tanyakan kepada mereka apakah mereka memiliki murid yang bisa menolong untuk membawa Puteri kembali”

“Baiklah aku setuju dengan pendapatmu. Barang siapa yang mampu membawa kembali puteriku maka sebagai imbalannya akan kunikahkan dia dengan putriku. Sekarang laksanakanlah, kumpulkan semua imam besar untuk membahas hal ini”

“Perintahmu wahai sultan” segera Perdana Menteri Tariq Barnini melaksanakan titah sang sultan.

***

Selama dua hari proses perundingan bersama para imam besar dilakukan. Hasilnya terseleksi 3 kandidat pemuda, yang pertama Maye Asy-Syukri yang merupakan pemuda tampan. Berasal dari kalangan aristrokrat dan kandidat mufti kota. Kedua Rowar Al-Kindi, seorang pemuda gagah. Masih tergolong bangsawan dan dipersiapkan untuk menjadi gubernur diwilayah taklukan kerajaan Sultan Fawwaz Al-Maghriby. Terakhir Aufik Ibnul-Labrie yang merupakan pemuda “biasa” dan “sederhana” sebab tiada embel-embel kehormatan duniawi yang melekat padanya, namun sifat fathonah (cerdas) dikaruniakan Allah SWT kepadanya. Putra penyair besar sekaligus mu’adzin kondang Jamas Labrie. Jamas Labrie sendiri merupakan sahabat dekat perdana menteri Tariq Barnini.

...PEMUDA “BIASA” DAN “SEDERHANA” SEBAB TIADA EMBEL-EMBEL KEHORMATAN DUNIAWI YANG MELEKAT PADANYA, NAMUN SIFAT FATHONAH (CERDAS) DIKARUNIAKAN ALLAH SWT KEPADANYA...

Singkat cerita pemuda pertama dan kedua yakni Maye Asy-Syukri dan Rowar Al-Kindi menemui kegagalan. Mereka gagal membujuk Puteri Nayla untuk kembali. Perang dalil telah mereka lakukan dengan Puteri Nayla, namun tetap tidak mampu meyakinkan Puteri Nayla. Mereka tak habis pikir dengan tingkah akal sang puteri.

Tinggal Aufik Ibnul-Labrie harapan terakhir sang sultan. Sultan dan segenap penghuni istana menumpukan harapan kepada Aufik Ibnul-Labrie. Tugas berat bagi Aufik. Aufik berjanji akan berusaha semampunya untuk membawa Puteri Nayla kembali.

Sebelum menjalankan niatnya untuk pergi ke tempat sang puteri dan membujuknya kembali, Aufik ingin mempersiapkan diri terlebih dahulu. Dia ingin mempersiapkan bahan perdebatan nanti. Demi hal tersebut, Aufik akan mendatangi Maye dan Rowar yang telah lebih dulu gagal, untuk diminta keterangan tentang hal apa saja yang telah mereka perdebatkan dengan Puteri Nayla. Sesampainya Aufik di tempat mereka berdua, ternyata Maye dan Rowar menolak untuk memberi keterangan tersebut. Mereka berasumsi hal itu tidak adil, karena baik Maye maupun Rowar sebelum mendatangi Puteri Nayla, mereka sama sekali tidak tahu apa yang akan diperdebatkan dengan sang puteri, dan apabila Aufik telah memiliki keterangan tersebut sebelumnya, maka hal ini tidak adil bagi mereka karena Aufik bisa melakukan persiapan lebih daripada mereka. Aufik maklum dengan keberatan Maye dan Rowar dan tidak ingin memaksa mereka.

Jadilah Aufik pergi menemui Puteri Nayla tanpa persiapan apapun. Sesungguhnya ada hal yang berbeda antara Aufik, Maye dan Rowar yakni masalah niat. Jika Maye dan Rowar berusaha membujuk Puteri Nayla karena memang tergiur dengan imbalan untuk menikahi Puteri Nayla, berbeda dengan Aufik yang berniat hanya untuk menolong Puteri Nayla dari kesalahan berpikirnya dan juga kerabat istana untuk bersama kembali dengan Puteri Nayla yang sangat mereka cintai. Aufik yakin bahwa segala sesuatu berpangkal dari niat, jika dia memang berniat menolong untuk membujuk Puteri Nayla kembali, insya Allah, Allah SWT akan menyertai dan menolongnya menggapai apa yang dia niatkan.

Sesampainya Aufik diambang perbatasan hutan, dari kejauhan dia melihat gubuk tempat Puteri Nayla berdiam diri. Dengan penuh ketawadhu-an Aufik mengayunkan langkag kakinya, sambil lisannya senantiasa basah akan dzikirullah. Sebelum mendekati gubuk yang dituju, Aufik menyempatkan diri terlebih dahulu menghampiri telaga hutan untuk mengambil air wudhu. Kebetulan wudhunya baru saja batal, dan untuk itu dia bermaksud untuk mengambil wudhu kembali guna mengikuti sunah Rasulullah SAW dalam menjaga wudhu. Aufik merasa risih jika harus berdzikir dalam keadaan tidak suci, untuk itu dia berwudhu.

...DIA BERMAKSUD UNTUK MENGAMBIL WUDHU KEMBALI GUNA MENGIKUTI SUNAH RASULULLAH SAW DALAM MENJAGA WUDHU...

“Assalamu’alaikum” Aufik menebarkan salam ke gubuk sang puteri.

“Wa’alaikum salam” Salam kedamaian dibalas Puteri Nayla. Tuan Puteri mempersilahkan tamu tersebut memasuki gubuk kediamannya.

“Wahai pemuda apakah engkau datang kepadaku atas perintah sultan juga, seperti dua pemuda sebelumnya?”

“Bukan tuan puteri”

“Lalu apa gerangan kedatanganmu?” Puteri Nayla merasa tebakannya salah.

“Saya datang kepada tuan puteri bukan atas perintah seorang sultan, tapi saya datang kepada tuan puteri atas permintaan seorang ayah”

Puteri Nayla memperhatikan jawaban Aufik, hatinya tergugah untuk memberikan rasa peduli yang lebih kepada Aufik. Lebih dari yang telah diberikannya kepada Maye dan Rowar dulu.

“Tuan puteri apa yang menyebabkanmu bertahan disini dan meninggalkan orang-orang yang kau cintai?”

“Aku ingin berkhalwat dengan Allah” Jawab Puteri Nayla singkat.

“Apa yang menyebabkan tuan puteri menolak ajakan kedua pemuda yang mendatangi tuan puteri sebelum saya?”

“Pertama karena sikap mereka”

“Bisa tuan puteri jelaskan kepada saya?” Pinta Aufik.

“Pria pertama datang dengan penuh percaya diri karena samudera ilmu yang dimilikinya begitu luas dan relung lautan pemahamannya begitu dalam, namun sayang dia tidak tahu atau mungkin terlupa bahwa yang bisa membuat aku bersimpati adalah ketakwaan, sedangkan ilmu yang banyak tidak identik dengan ketakwaan yang tinggi, sebab ketakwaan sendiri berarti memiliki ilmu dan pemahaman agama yang disertai dengan keikhlasan beramal juga ketawadhuan, sedang hal terakhir tersebut tidak tampak darinya. Kurasakan pada dirinya keujuban akan ilmu yang dimiliki. Pria kedua begitu gagah dan kharismatik saat mendatangiku, terasa sekali kewibawaan dan jiwa kepemimpinan melekat pada dirinya, namun sayang kesemua hal tersebut ditampakkan olehnya hanya untuk menebarkan pesona pada diriku. Tidak sadarkah dia bahwa kekasihku yakni Allah SWT jauh lebih gagah dan perkasa daripadanya? Sekarang apa yang engkau bawa wahai pemuda, hingga membuatmu mendatangiku saat ini? Ilmu yang banyak? Kegagahan? Keperkasaan? Atau harta yang banyak?”

...ILMU YANG BANYAK TIDAK IDENTIK DENGAN KETAKWAAN YANG TINGGI, SEBAB KETAKWAAN SENDIRI BERARTI MEMILIKI ILMU DAN PEMAHAMAN AGAMA YANG DISERTAI DENGAN KEIKHLASAN BERAMAL JUGA KETAWADHUAN...

...TIDAK SADARKAH DIA BAHWA KEKASIHKU YAKNI ALLAH SWT JAUH LEBIH GAGAH DAN PERKASA DARIPADANYA?...”

Dengan tawadhu Aufik menjawab apa adanya,
“Saya hanya membawa salam dari seorang ayah dan ibu yang sangat merindukan puterinya. Untuk kembali berkumpul seperti sedia kala, dan sepotong hati yang Insya Allah memiliki niat suci menyampaikan pesan rindu dari segenap penghuni istana” Lagi-lagi Puteri Nayla tergugah akan jawaban Aufik. “Alasan lainnya wahai tuan puteri, mengapa engkau menolak kedua pemuda sebelumku?”

“Alasan lainnya ialah saat mereka membujukku untuk kembali seraya mengajukan khitbah pada diriku, aku ajukan pada mereka satu syarat, namun sayang mereka tidak mampu memenuhinya?”

“Apa itu syaratnya wahai tuan puteri?”

“Aku katakan pada mereka, jika mereka menginginkan aku, ketahuilah bahwa aku adalah milik Allah Rabbil’alamin. Untuk itu mintalah izin kepada-Nya, ridho-Nya adalah ridhoku. Mereka mengatakan aku telah kehilangan akal dan mempersyaratkan hal yang mustahil, sehingga mereka merasa tidak sanggup untuk memenuhi permintaanku itu”

Aufik berpikir sejenak. Dia menemukan ide yang cemerlang untuk bisa membawa Puteri Nayla kembali, lalu dia meminta izin kepada Puteri Nayla,
“Tuan puteri, seandainya tidak keberatan, bolehkah saat ini saya meminta persetujuan tuan puteri untuk mengkhitbah secara pribadi dan kemudian saya sampaikan maksud tersebut kepada sultan?”

“Silahkan asalkan engkau bisa memenuhi permintaanku tadi”

“Baiklah tuan puteri” lalu Aufik keluar dari gubuk kediaman Puteri Nayla. Aufik menuju telaga untuk mengambil air wudhu, kemudian mendirikan dua rakaat sholat hajat. Usai sholat dengan penuh kekhusyukan dia menadahkan tangan berdoa kepada Rabb-nya. Tak berapa lama Aufik telah kembali lagi ke gubuk Puteri Nayla.

“Permintaan tuan puteri insya Allah telah saya lakukan”

“Darimana engkau tahu bahwa Allah ‘azza wa jalla telah mengizinkan dirimu untuk mengkhitbah diriku?” Nada Puteri Nayla kurang terima.

“Sekarang saya balik bertanya, darimana tuan puteri tahu bahwa permintaan saya untuk mendapatkan ridho Allah SWT guna mengkhitbah tuan puteri telah ditolak oleh Allah SWT? Buktikan kepada saya bahwa Allahul rahman warrahim tidak mengizinkannya?”

Puteri Nayla terdiam, tak mampu dia menjawabnya. Dia terjebak oleh pertanyaannya sendiri, tapi Aufik yang bijak memiliki solusi.

“Tuan puteri ketahuilah, bahwasanya untuk saat ini kita sama-sama tidak dapat mengetahui apakah Allah SWT meng-ijabahi doa saya atau tidak, namun hal itu bisa kita ketahui nanti, tidak saat ini dan tidak disini”

“Lalu kapan dan dimana jawaban Allah SWT tersebut akan dapat kita peroleh?”

“Jawaban tersebut hanya bisa kita peroleh dengan syarat tuan puteri harus ikut saya kembali ke istana, disanalah kelak jawabannya dapat kita ketahui”

“Terangkan kepadaku, kenapa begitu..”

“Tuan puteri, untuk mengetahui apakah Allah SWT meng-ijabahi doa saya atau menolaknya dapat kita ketahui dari lisan ayahanda tuan puteri yakni Sultan Fawwaz Al-Maghriby”

“Aku belum mengerti maksud ucapanmu”

“Telah menjadi sunatullah bahwa Allah SWT dalam melimpahkan kewenangannya untuk memberi ridho agar hamba-hamba wanita-Nya dinikahi oleh seorang pria adalah melalui ridho orang tua wanita tersebut. Bukankah Rasulullah bersabda, ridho dan murka Allah SWT tergantung pada ridho dan murka orang tua? Selama tidak ada alasan syar’i yang menghalangi dan tidak ada perintah Allah SWT melalui Al-Qur’an dan As-sunah yang dilangkahi, maka ridho orang tua merupakan jawaban atas ridho Allah SWT. Untuk itu marilah tuan puteri, pulanglah bersama saya ke istana untuk menemui sultan, demi mengetahui jawaban Allah SWT atas doa saya”

...SELAMA TIDAK ADA ALASAN SYAR’I YANG MENGHALANGI DAN TIDAK ADA PERINTAH ALLAH SWT MELALUI AL-QUR’AN DAN AS-SUNAH YANG DILANGKAHI, MAKA RIDHO ORANG TUA MERUPAKAN JAWABAN ATAS RIDHO ALLAH SWT...

Masya Allah, Puteri Nayla membatin. Kali ini dia betul-betul terperangkap dengan pernyataannya sendiri. Mau tak mau dia harus menentukan sikap apakah akan ikut Aufik kembali ke istana atau tetap bertahan di tempatnya semula. Terpikir olehnya satu alasan yang dapat dijadikan senjata pamungkas guna menolak ajakan Aufik.

“Kurasa sulit bagiku untuk meninggalkan tempat ini, sebab aku terlalu nyaman untuk tetap berkhalwat dengan Allah SWT”

“Mengapa tuan puteri ingin selalu berkhalwat dengan Allah SWT?”

“Karena aku mencintai-Nya” Puteri Nayla berujar tegas.

“Buktikan kepada saya bahwa tuan puteri memang mencintai Allah?”

“Jika harus membuktikan rasa cintaku melalui amalan, maka hal tersebut akan sulit, sebab engkau belum pernah menyaksikan aku beramal dan tak cukup waktu bagimu untuk menunggu disini guna melihat ku beramal. Sebaiknya aku bacakan saja satu bait doa yang selalu aku panjatkan kepada Allah SWT, semoga dari doa tersebut engkau dapat mengerti seberapa besar rasa cintaku kepada-Nya”

“Silahkan tuan puteri” Aufik menanti Puteri Nayla membacakan bait doanya.

“Aku selalu berdoa kepada Allah seperti ini, Ya Allah jika memang hamba beribadah kepada-Mu karena takut akan azab neraka-Mu, maka benamkanlah hamba ke dalamnya dan apabila hamba beribadah kepada-Mu karena mengharapkan surga-Mu, maka haramkanlah hamba tuk memasukinya, sebab hamba beribadah kepada-Mu hanya karena hamba mencintai-Mu, itu saja”

“Tuan puteri, kali ini saya akan mengutarakan pandangan saya secara lebih mendalam. Pertama mengenai keinginan tuan puteri untuk senantiasa berkhalwat dengan Allah SWT, saya mendukung hal itu dan saya hargai, namun satu hal yang perlu diluruskan. Tidaklah menjadi satu-satunya sarana berkhalwat berdua Allah dengan melakukan uzlah (mengasingkan diri), kegiatan tersebut tetap dapat kita lakukan meskipun kita tengah berkumpul bersama keluarga. Bukanlah berkhalwat dengan Allah SWT berarti kita sedang berduaan dengan zat-Nya, melainkan dengan pengetahuan-Nya. Allah berfirman, janganlah kalian berdua takut, sungguh Aku bersama kalian berdua mendengar dan melihat (QS. Thaha:46). Itulah definisi sesungguhnya berkhalwat dengan Allah SWT. Kembangkan terus sifat ihsan pada diri kita yakni dengan selalu merasa bahwa Allah senantiasa memperhatikan dan mengawasi kita. Sesungguhnya Allah atas kalian selalu mengawasi (QS. An-Nisa:1). Apabila sifat tersebut telah terpatri didalam benak kita dan dirasakan dalam keseharian kita, insya Allah kapanpun dan dimanapun kita berada sesungguhnya kita tengah berkhalwat dengan Allah. Tidak harus dengan menyendiri dan suasana sunyi” Logika Aufik menjungkir balikkan nalar Puteri Nayla, dan dia merasa bisa menerima pandangan tersebut.

...BUKANLAH BERKHALWAT DENGAN ALLAH SWT BERARTI KITA SEDANG BERDUAAN DENGAN ZAT-NYA, MELAINKAN DENGAN PENGETAHUAN-NYA...

...APABILA SIFAT TERSEBUT TELAH TERPATRI DIDALAM BENAK KITA DAN DIRASAKAN DALAM KESEHARIAN KITA, INSYA ALLAH KAPANPUN DAN DIMANAPUN KITA BERADA SESUNGGUHNYA KITA TENGAH BERKHALWAT DENGAN ALLAH...

“Yang kedua, untuk doa yang tuan puteri panjatkan, menurut saya sebaiknya tuan puteri secepatnya mengucapkan istighfar sebanyak-banyaknya”

“Mengapa harus begitu?”

“Dari doa yang tuan puteri panjatkan menunjukan bahwa tuan puteri telah berlaku sombong dihadapan Allah SWT”

“Na’udzubillahimindzalik. Apa maksudmu?”

“Tuan puteri sesungguhnya Allah telah menciptakan kita dengan menitipkan akal dan nafsu kepada kita. Itulah yang membuat kita sempurna, dan beda dari malaikat dan hewan. Jika malaikat hanya dititipkan akal tanpa nafsu, sementara hewan dititipkan nafsu tanpa akal. Sudah menjadi sunah-Nya bagi kita untuk memiliki kecendrungan akan kenikmatan duniawi maupun ukhrawi, hal itu tidak dilarang oleh-Nya, hanya saja bentuk kecintaan tersebut harus sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan-Nya. Lihat bagaimana Allah menghubungkan perintah doa dengan kesombongan diri manusia melalui firman-Nya, berdoalah kepadaku niscaya kan Aku kabulkan. Barang siapa yang sombong dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina (QS. Al-Mu’min:60) pada ayat lainnya Allah berfirman, dan serulah Dia oleh kalian dalam keadaan takut (dari neraka) dan berharap (kepada surga) (QS. Al-a’raaf:56) bahkan manusia semulia Rasulullah SAW sendiri mengajarkan pada kita doa berikut ini, saya memohon surga kepada Allah dan berlindung dengan-Nya dari neraka. Dan beliau meminta kepada kita untuk mendoakan beliau melalui doa selepas adzan, dimana dari doa kita tersebut beliau tetap berharap akan diberikan wasilah atau satu tempat di surga yang tidak diberikan kepada mahluk selain beliau. Lihatlah tuan puteri, Rasulullah SAW merupakan mahluk yang paling taat dan mengenal Allah, namun demikian beliau tetap beribadah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh rasa harap. Tetap mencintai manusia dan berkeluarga. Sangat amat sombong kita, tatkala Allah menciptakan segala kenikmatan dunia dan surga, lalu atas kenikmatan tersebut kita palingkan diri untuk menjauhi. Allah menciptakan semua itu bukan tanpa sebab. Allah tahu kecenderungan kita, sebab dia sendiri yang menciptakan nafsu bagi kita, namun agar nafsu tersebut terarah dalam penyalurannya, untuk itu Dia ciptakan juga akal bagi kita. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefujuran dan ketakwaan (QS. Asy-syams:8).

...SUDAH MENJADI SUNAH-NYA BAGI KITA UNTUK MEMILIKI KECENDRUNGAN AKAN KENIKMATAN DUNIAWI MAUPUN UKHRAWI, HAL ITU TIDAK DILARANG OLEH-NYA, HANYA SAJA BENTUK KECINTAAN TERSEBUT HARUS SESUAI DENGAN SYARIAT YANG TELAH DITETAPKAN-NYA...

...SANGAT AMAT SOMBONG KITA, TATKALA ALLAH MENCIPTAKAN SEGALA KENIKMATAN DUNIA DAN SURGA, LALU ATAS KENIKMATAN TERSEBUT KITA PALINGKAN DIRI UNTUK MENJAUHI...

Puteri Nayla tak mampu berkata-kata lagi. Diam seribu bahasa.

“Tuan puteri ketahuilah, manusia yang paling besar rasa cintanya kepada Allah SWT ialah Rasulullah SAW, namun beliau juga paling tahu cara yang benar dalam mencintai Allah SWT. Sesungguhnya cinta itu adalah perpaduan antara kecendrungan, harapan, kecemasan, ketakutan dan kerelaan untuk berkorban. Harap jangan dikaitkan kesederhanaan yang tuan puteri jalani saat ini merupakan wujud daripada sikap zuhud. Bukan begitu tuan puteri. Ketahuilah bahwa saat kita berbicara mengenai kezuhudan, sesungguhnya kita tidak sedang berbicara tentang apa yang ada didalam genggaman kita, tapi kita sedang berbicara tentang apa yang ada didalam hati kita. Bisa saja seseorang memiliki harta yang berlimpah, namun kesemua hal tersebut sama sekali tidak membuat dia lebih mencintai dunia ini ketimbang akhirat. Tidak juga mampu melalaikannya dari beribadah kepada Allah SWT. Bukti contoh lihatlah Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Betapa besar kerajaan yang dimilikinya dan betapa banyak harta yang berada di genggamannya, namun tetap saja beliau mampu mencapai derajat sebagai seorang rasul Allah. Allah telah menciptakan semuanya secara berpasangan, Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (QS. Yasin:36). Sekarang saya bertanya kepada tuan puteri, sebagai wanita siapakah yang layak menjadi pasangan tuan puteri, apakah Allah? Huu.. itu merupakan wujud kesombongan lainnya. Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri (QS. An-Nahl:72). Marilah tuan puteri ikut bersama saya untuk kembali menemui segenap penghuni istana, terutama orang tua tuan puteri”

...SESUNGGUHNYA CINTA ITU ADALAH PERPADUAN ANTARA KECENDRUNGAN, HARAPAN, KECEMASAN, KETAKUTAN DAN KERELAAN UNTUK BERKORBAN...

...KETAHUILAH BAHWA SAAT KITA BERBICARA MENGENAI KEZUHUDAN, SESUNGGUHNYA KITA TIDAK SEDANG BERBICARA TENTANG APA YANG ADA DIDALAM GENGGAMAN KITA, TAPI KITA SEDANG BERBICARA TENTANG APA YANG ADA DIDALAM HATI KITA...

Aufik berusaha untuk membujuk tuan puteri kembali, namun tanpa berkata sepatah katapun, Puteri Nayla langsung saja berkemas-kemas untuk pergi, siap meninggalkan gubuk reotnya menuju kembali ke istana.

“Marilah wahai pemuda, kita bergegas kembali ke istana. Setelah mendengar pandanganmu aku menjadi sadar atas khilafku dan semoga Allah mau memaafkan kesalahanku. Saat ini aku menjadi tidak sabar untuk menemui ayah bunda. Bujukanmu sungguh ampuh” Puteri Nayla tulus memuji Aufik.

“Terima kasih tuan puteri”

***

Akhirnya suasana ceria menyelubungi istana dan penghuninya. Sesampainya Aufik dan Puteri Nayla di hadapan Sultan Fawwaz, tanpa menunggu lama lagi, Sultan Fawwaz bermaksud untuk menepati janjinya menikahkan puterinya dengan pemuda yang mampu membawa kembali puterinya ke istana, namun tiba-tiba diluar dugaan Aufik bermaksud mengundurkan diri dari proses khitbahnya.

“Maaf sultan, tiada maksud saya untuk meremehkan kebaikan sultan, tapi saya sudah memutuskan untuk mundur dari proses khitbah ini”

Para penghuni istana yang kala itu hadir di balai istana berbisik-bisik. Ada yang keheranan, bingung, mengatakan bahwa Aufik pemuda yang bodoh karena melepaskan kesempatan untuk bisa menikahi puteri sultan, bahkan ada yang mengatakan Aufik telah lancang.

Sultan Fawwaz tidak ingin menanggapi bisik-bisik tersebut. Dia berprasangka baik dengan Aufik. Tidak mungkin pikirnya Aufik mengambil keputusan tersebut tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu.
“Apa gerangan yang membuatmu mengambil keputusan tersebut wahai Aufik?”

“Sejujurnya pada saat pertama kali mendatangi Puteri Nayla, saya hanya berniat menolong puteri agar kembali ke istana. Tidak ada sama sekali niat untuk menikahi, namun setelah bertemu dengannya, melihat rupanya, keanggunan dan kecerdesannya, niat saya jadi berubah, keikhlasan saya meluntur, dan saya ingin menikahi tuan puteri. Saya merasa malu kepada Allah akan hal ini, beruntung Allah tidak menutup pintu rahmat-Nya sehingga dengan pertolongan-Nya sama mampu membawa Puteri Nayla kembali. Sebagai seorang muslim saya hanya berusaha untuk menjadi orang yang tahu diri, sebab kata Rasulullah SAW, jika kamu tidak memiliki malu lagi maka berbuatlah sekehendakmu. Karena saya yakin bahwa pernikahan ini terjadi bukan atas kerelaan tuan puteri, untuk itu saya mundur. Saya tidak ingin tuan puteri menikah dengan saya hanya karena dijodohkan oleh sultan, saya masih memiliki harga diri untuk tidak menikahi wanita yang tak ingin dinikahi oleh saya, oleh karena itu saya berharap tuan puteri bisa menemukan pasangan yang cocok, yang kepadanya tuan puteri tertarik, dan berbekal restu orang tua insya Allah pernikahan mereka barokah. Itulah keterangan dari saya wahai sultan dan dikarenakan tugas saya telah selesai, untuk itu saya pamitmu. Ada urusan agama lain yang ingin saya selesaikan diluar sana. Assalamu’alaikum..”

...SAYA MASIH MEMILIKI HARGA DIRI UNTUK TIDAK MENIKAHI WANITA YANG TAK INGIN DINIKAHI OLEH SAYA...

...SAYA BERHARAP TUAN PUTERI BISA MENEMUKAN PASANGAN YANG COCOK, YANG KEPADANYA TUAN PUTERI TERTARIK, DAN BERBEKAL RESTU ORANG TUA INSYA ALLAH PERNIKAHAN MEREKA BAROKAH...

Aufik ingin meninggalkan balai istana setelah pamit kepada sultan dan meminta maaf kepada semua, termasuk pada Puteri Nayla. Baru beberapa langkah, tiba-tiba sebuah suara wanita menghentikan langkah Aufik.

“Tunggu wahai Aufik” Aufik kemudian menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara tersebut berasal. Rupanya suara itu milik puteri Nayla.

“Ada apa wahai puteri?”

“Aku ingin bertanya padamu wahai Aufik, sudikah engkau menarik ucapanmu tadi untuk mengundurkan diri dan mengajukan diri kembali seandainya wanita yang bernama Nayla Fawwaz ini menawarkan dirinya untuk dinikahi oleh mu?”

Suasana balai malah menjadi riuh, kemudian terhentikan oleh jawaban lugas dari Aufik. Dengan tenang dan mantap Aufik berujar,

“Saya bersedia”

Serta merta seluruh penghuni istana mengucapkan hamdalah. Mereka bahagia bukan saja karena telah kembalinya Puteri Nayla, melainkan juga atas pernikahan sepasang sejoli yang sama-sama mereka cintai.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum 21)

1 komentar:

  1. subhanallah
    sungguh cerita ini sangat menakjubkan hati, membuat saya merenung dan meneteskan air mata dari wal cerita sampai akhir. terima kasih atas ceritanya semoga cerita ini menambah keimanan saya kepada Allah SWT amiin ya rabbal'alamiin.

    BalasHapus