Jumat, 22 Januari 2010

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta (Bab II)

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta
Oleh : Erjie Al-Batamiy

BAB II

Awal pertemuan

Dari remang-remang kejauhan di ufuk timur sana, sinar mentari berpendar menyelimuti hawa sejuk di pagi itu. Saat itu lebih kurang pukul 6 pagi. Ryan melakukan beberapa gerakan kecil agar tubuhnya menjadi sedikit bugar. Hari minggu itu Ryan telah merencanakan sesuatu . Ia ingin pergi ke toko buku selepas zuhur.

Telah menjadi kebiasaannya untuk minimal seminggu sekali membeli buku, namun karena padatnya aktivitas yang dilakukannya pada akhir-akhir ini, membuat banyak buku yang telah di beli olehnya hanya tersusun rapi di rak buku tanpa sempat di bacanya.

Sebetulnya ia merasa tak nyaman akan hal ini. Ia merasa telah berlaku boros karena membeli banyak buku tanpa tindak lanjut untuk membacanya, namun hari itu ia tetap dengan rencananya semula untuk pergi ke toko buku, melihat-lihat buku, kalau-kalau ada yang bagus, apalagi kurang lebih dua hari yang lalu baru saja dibuka sebuah toko buku baru, Ryan menjadi penasaran dan ingin melihat-lihat koleksi buku di toko buku tersebut.

Hari minggu merupakan hari libur bagi anak-anak Inferno Band. Hari ini biasa digunakan bagi mereka untuk re-freshing. Melapangkan jiwa, dan menyegarkan kembali mentalitas diri. Tak terkecuali bagi Ryan, walau momen ini sedikit terusik oleh kehadiran mimpi yang ia alami tadi malam, oleh karena itu ia juga berencana hari ini untuk menemui sahabat karibnya, Maulana. Untuk bertukar pikiran mengenai hal yang menimpa dirinya. Sekaligus melepas rindu dan memperbaharui tali silahturahim di antara mereka.

Ass.akh, pa kabar ? semoga antum dalam keadaan baik aja (Insya Allah)

Afwan klo ana baru sempat ngirim kabar. (Baru sms klo lagi ada perlu aja he9x)

Antum ntar sore ada di tempat g ? ana mo kesana, ada perlu, sekalian silahturahim. Syukron..

Begitu tulis Ryan dalam sms-nya. Pesan-pun di kirim.


Tak berapa lama datang sms balasan dari Maulana, berbunyi :

W3. Alhamdulillah ana dlm kedaan sehat, Antum datang aj, ana hari ini g kemana-mana kok.

Ryan merasa lega membaca sms balasan karibnya tersebut, tanpa membuang waktu ia bergegas mandi dan sarapan. Kebetulan Dor baru saja pulang membawa tiga bungkus nasi uduk, dengan sigap Ryan menuju dapur mengambil tiga piring makan dan tiga gelas minum untuk dirinya dan dua sahabatnya. Obrolan-obrolan kecil terjalin di antara mereka bertiga. Hampir saja Ryan ingin menceritakan tentang mimpi yang di alaminya, namun niat tersebut diurungkannya. Sebaiknya tidak ia ceritakan hal ini pada sembarang orang, pikirnya. Cukuplah pada orang-orang yang sangat dekat dengannya. Jika tidak pada Maulana maka pada Iqbal seorang karibnya yang lain.

Setelah melewati waktu zawal, suara adzan dari masjid di samping rumah Ryan berkumandang kembali, tanda telah masuk waktu zuhur, dengan penuh semangat Ryan bersiap diri memenuhi panggilan Rabb-nya, setelah mengerjakan shalat qabliah zuhur di rumah, bergegas ia pergi menuju masjid bersama dengan jamaah lainnya.

Saat itu jamaah shalat zuhur terlihat lebih banyak dari hari biasanya. Kebetulan hari itu hari minggu, sehingga banyak jamaah yang sebagian besar bapak-bapak sedang libur kerja.

Selesai shalat para jamaah sibuk dengan wiridnya masing-masing, tak terkecuali Ryan. Selesai wirid para jamaah pada berdiri mendirikan shalat ba’diyah dzuhur, namun berbeda dengan Ryan, setelah selesai wirid ia langsung pulang ke rumah untuk mengerjakan shalat ba’diyah-nya di rumah, karena menurutnya itu lebih utama.

Di dalam hati ia berkata, mungkin ini yang di maksud oleh Rasullullah tentang menjadi orang yang terasing, dan mungkin aku ditakdirkan untuk itu”. Tanpa ia sadari bahwa apa yang baru saja diucapkannya telah menjadi kenyataan untuk saat ini dan untuk waktu yang akan datang.

Setelah shalat ba’diyah di kerjakan, Motor di panaskan dan Ryan telah siap untuk keluar rumah. Dimulai dengan doa, kemudian melangkahkan kaki kanannya, Ryan pergi melaksanakan rencana yang ia niatkan tadi pagi.


...SELESAI SHALAT PARA JAMAAH SIBUK DENGAN WIRIDNYA MASING-MASING, TAK TERKECUALI RYAN. SELESAI WIRID PARA JAMAAH PADA BERDIRI MENDIRIKAN SHALAT BA’DIYAH DZUHUR, NAMUN BERBEDA DENGAN RYAN, SETELAH SELESAI WIRID IA LANGSUNG PULANG KE RUMAH UNTUK MENGERJAKAN SHALAT BA’DIYAH-NYA DI RUMAH, KARENA MENURUTNYA ITU LEBIH UTAMA...

...DI DALAM HATI IA BERKATA, MUNGKIN INI YANG DI MAKSUD OLEH RASULLULLAH TENTANG MENJADI ORANG YANG TERASING, DAN MUNGKIN AKU DI TAKDIRKAN UNTUK ITU”. TANPA IA SADARI BAHWA APA YANG BARU SAJA DIUCAPKANNYA TELAH MENJADI KENYATAAN UNTUK SAAT INI DAN UNTUK WAKTU YANG AKAN DATANG...

***

Mentari terasa cukup menyengat siang itu. Desingan klakson dan deru kendaraan serta umpatan para pengedara meriuhkan suasana di sepanjang jalan, dari arah utara, motor Ryan melaju sedang menuju toko buku baru yang ingin dikunjunginya, sesampainya disana, ia sibuk mencari tempat parkir kosong untuk kendaraan roda dua miliknya, begitu mendapatkannya, ia melepaskan helm, mengunci stang motor, dan mengambil karcis parkir.

Dengan santai Ryan berjalan dan sesekali matanya melirik kesana kemari untuk melihat-lihat koleksi buku yang ada. Ia membuka dan membolak-balikkan halaman demi halaman dari beberapa buku yang agak mencuri perhatiannya. Buku sejarah, buku sastra, buku kesehatan semua dijamahnya.

Dari sebelah kanan derap lembut suara sepatu perlahan menuju ke arahnya, lalu terhenti sejenak ketika seorang gadis kecil berumur lebih kurang 8 tahun terlihat kebingungan, dengan ramah si empunya sepatu menyapa,

“Sedang cari buku apa dik ?” senyum-pun mengiringi pertanyaan ramah tersebut.

“Komik-komik di mana ya mbak ?” tanya si gadis kecil

“Adik sedang mencari komik apa ?”

“Komik Doraemon..!”

“Oh..komik Doraemon di sebelah sana dik..” seraya menunjukkan sebuah rak berisi puluhan komik
Tak ayal dialog antara si gadis kecil dan wanita yang tak lain bekerja di toko buku itu mengundang perhatian Ryan. Matanya melirik sebentar ke arah itu. Tadinya ia hanya ingin melihat sekilas, namun selang beberapa detik kemudian entah mengapa tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang.

Subhanallah, ungkap hatinya penuh ketakjuban.

Secara spontan matanya melirik kembali ke arah wanita itu. Ia tahu ini salah. Ia tahu pandangan ini merupakan salah satu dari anak-anak panah iblis. Tak seharusnya ia mengulangi pandangannya, dan bukannya ia tak mengerti akan perintah Allah untuk menahan pandangan, namun ini terlalu sulit. Kecantikan wanita itu terlalu mencolok di bandingkan wanita sekitarnya, bahkan bila di bandingkan dengan wanita-wanita cantik yang sering di temuinya dalam berbagai kesempatan.

Sekali lagi ia arahkan pandangannya kearah wanita itu. Kali ini ia memandang lebih lama, dan bergumam,

Dia sungguh berbeda.

Aura kecantikan yang di pancarkan wanita itu begitu terasa berbeda dengan yang di pancarkan wanita cantik lainnya. Kesopanan pakaiannya, santun lakunya, bening tatapnya, tulus senyumnya, sungguh-sungguh menawarkan sesuatu yang beda. Sesuatu yang belum pernah di saksikan seumur hidup Ryan, dari dandanannya mudah ditebak bahwa wanita tersebut seorang akhwat.

Subhanallah.. Sungguh luar biasa karya Tuhanku yang satu ini. Ya Allah sesungguhnya Engkaulah sebaik-baiknya pencipta.

Tanpa sadar sosok wanita itu berjalan ke arahnya. Keruan saja Ryan menjadi salah tingkah dan mencoba pura-pura membaca buku yang ada di tangannya, namun baru saja wanita tersebut akan beranjak dari hadapannya, tiba-tiba saja mulut Ryan bergeming,

“Mba’ !?!”

“Ya..” jawab wanita itu

Ryan menjadi kikuk. Seakan-seakan mulutnya berujar dengan sendirinya, tanpa di sadari atau di sengaja, karena jauh di alam bawah sadarnya sesungguhnya hal itu tak lain merupakan dorongan batinnya, dengan sedikit debaran, ia mencoba untuk tetap terlihat cool.

...AURA KECANTIKAN YANG DI PANCARKAN WANITA ITU BEGITU TERASA BERBEDA DENGAN YANG DI PANCARKAN WANITA CANTIK LAINNYA. KESOPANAN PAKAIANNYA, SANTUN LAKUNYA, BENING TATAPNYA, TULUS SENYUMNYA, SUNGGUH-SUNGGUH MENAWARKAN SESUATU YANG BEDA. SESUATU YANG BELUM PERNAH DI SAKSIKAN SEUMUR HIDUP RYAN, DARI DANDANANNYA MUDAH DITEBAK BAHWA WANITA TERSEBUT SEORANG AKHWAT...

...SUBHANALLAH.. SUNGGUH LUAR BIASA KARYA TUHANKU YANG SATU INI. YA ALLAH SESUNGGUHNYA ENGKAULAH SEBAIK-BAIKNYA PENCIPTA...

“Mba’ saya sedang cari buku “Kesaksian yang terabaikan” terbitan Nurulhaq Publishing, kira-kira masih ada ngga’ ya ?”

“Sudah di cek datanya di komputer mas ?” tanya wanita itu tanpa memperhatikan pertanyaan Ryan secara seksama.

“Tadi sih udah tapi hasilnya nihil. Saya cuma mau nanya aja, mungkin masih ada stok lamanya di gudang. Soalnya saya sudah cari kemana-mana tapi belum ketemu juga!”

“Bukunya terbitan tahun berapa mas ?”

“Cetakan pertamanya tahun 1999, tapi kalo untuk cetakan selanjutnya saya kurang tahu, mungkin cuma ada cetakan pertamanya aja”

“Oh..begitu! gini mas, kalaupun ada digudang kita sebagai stok lama tetap aja tidak kita entri di computer, karena maksimal buku-buku yang kita entri di komputer cuma buku yang terbitan terakhirnya sampai dengan tujuh tahun yang lalu”

Tiba-tiba wanita tersebut teringat akan sesuatu dan kembali bertanya kepada Ryan untuk meyakinkan ingatannya.

“Tadi kalo gak salah mas bilang judul bukunya “Kesaksian yang terabaikan” ya, itu buku terjemahankan?

“Iya, benar sekali mba’”

“Itukan buku lama mas dan kalo saya gak salah dengar-dengar isunya buku tersebut sengaja dihilangkan dari pasaran karena content-nya...” wanita tersebut memberi jeda pada ucapannya.

“Menyudutkan salah satu kelompok?” Ryan coba menyambung kalimat yang terputus tersebut dan hanya anggukan yang diberikan oleh wanita tersebut.

Dan aku tahu sekali kelompok mana yang merasa disudutkan akibat terbitnya buku tersebut, aku yakin aku pernah melihat buku tersebut. Iya aku yakin aku pernah melihat buku tersebut dan semoga aku masih bisa menemukannya disitu. Judul asli buku tersebut ialah “Ignoring Testimony : Testimony from The Former of God Soldier” terbitan pertama tahun 1984, dua tahun setelah kejadian itu. Ya Allah apakah ini takdir-Mu? Mengapa tiba-tiba saja datang seorang lelaki kepadaku dan menanyakan tentang buku itu? Ataukah ini sekedar kebetulan belaka? Atau jangan-jangan? Laa hawla walaa kuwwatillabillaah. Tapi untuk apa lelaki ini mencari buku tersebut, sekedar hobi bacakah atau …” wanita itu membatin, sejenak pikirannya menerawang melintasi celah masa silam, menuruni bukit kesedihan dan terhempas didalam jurang kepedihan. Terbayang untuk kesekian kalinya wajah rupawan seorang lelaki yang sangat dia cintai...

Kakak..

Andai saja saat itu dia sedang sendiri dan tiada seorangpun disekitarnya, tentulah aliran air mata kerinduan tak akan mampu ia bendung, cukuplah kini hanya di batin saja.

“Iya sih saya dengar juga begitu, katanya sengaja dihilangkan dari pasaran, gak tahu benar apa tidak, makanya daripada penasaran mending saya cari aja” jawab Ryan enteng,karena dia tidak tahu detil isi dari buku tersebut, yang dia tahu hanya sebatas sinopsisnya saja.

“Kalo boleh tahu buat apaan ya buku itu ?” Tanya wanita itu penuh selidik.

Ryan sedikit tersenyum lalu berkata, “ Ya… sebenarnya hanya buat tambahan referensi bacaan saya saja mbak.”

...DAN AKU TAHU SEKALI KELOMPOK MANA YANG MERASA DISUDUTKAN AKIBAT TERBITNYA BUKU TERSEBUT, AKU YAKIN AKU PERNAH MELIHAT BUKU TERSEBUT. IYA AKU YAKIN AKU PERNAH MELIHAT BUKU TERSEBUT DAN SEMOGA AKU MASIH BISA MENEMUKANNYA DISITU. JUDUL ASLI BUKU TERSEBUT IALAH “IGNORING TESTIMONY : TESTIMONY FROM THE FORMER OF GOD SOLDIER” TERBITAN PERTAMA TAHUN 1984, DUA TAHUN SETELAH KEJADIAN ITU. YA ALLAH APAKAH INI TAKDIR-MU? MENGAPA TIBA-TIBA SAJA DATANG SEORANG LELAKI KEPADAKU DAN MENANYAKAN TENTANG BUKU ITU? ATAUKAH INI SEKEDAR KEBETULAN BELAKA? ATAU JANGAN-JANGAN? LAA HAWLA WALAA KUWWATILLABILLAAH. TAPI UNTUK APA LELAKI INI MENCARI BUKU TERSEBUT, SEKEDAR HOBI BACAKAH ATAU …” WANITA ITU MEMBATIN, SEJENAK PIKIRANNYA MENERAWANG MELINTASI CELAH MASA SILAM, MENURUNI BUKIT KESEDIHAN DAN TERHEMPAS DIDALAM JURANG KEPEDIHAN. TERBAYANG UNTUK KESEKIAN KALINYA WAJAH RUPAWAN SEORANG LELAKI YANG SANGAT DIA CINTAI...

Wanita tersebut mengambil inisiatif dan menawarkan kepada Ryan untuk mencarikan buku yang sedang dicari oleh Ryan.

“Kalau memang perlu saya bisa bantu nyariin atau pesan, dan kalau ada yang lainnya sekalian saja. Catat di sini saja mas.” Seraya menyodorkan kertas dan pena yang dari tadi berada di tangan kanannya.

Ryan mengambil kertas dan pena tersebut, sambil mencatat, sesekali ia mencoba mengingat daftar buku-buku yang agak sulit di dapatkannya, setelah selesai, kertas dan pena yang ia gunakan di kembalikan olehnya.
“Toko buku ini baru bukakan mba’? baru dua harikan?”

Ryan mencoba mengalihkan topik pembicaraan dari seputar buku tadi, dan sekedar berbasa-basi, karena sebenarnya tanpa bertanya-pun dia sudah tahu jawabannya. Ia hanya berusaha mengulur waktu agar bisa lebih lama bersama. Ia tak bisa memahami perasaan aneh yang hinggap padanya saat itu. Ia betul-betul merasa nyaman dan tak ingin wanita itu beranjak dari situ.

“Iya baru dua hari.. Mas sering hunting buku-buku ya. Buku apa aja yang mas sering baca ? Disini koleksi buku-buku kita lumayan lengkap lho.”

Sambil mendengar, Ryan mencoba untuk mencuri pandang. Matanya tertuju pada sebuah co-card yang menggantung pada wanita itu. Di situ terdapat sebuah nama “IRA FAYZA KHAIRY.”

Oh.. Ira namanya..

Tiba-tiba ada sesuatu yang mengusik batinnya. Sedikit curiga ia memperhatikan kembali nama belakang wanita itu, kemudian pandangannya beralih pada sebuah papan besar yang berada tak jauh dari atas kepalanya. Disitu tertulis dengan jelasnya, “TOKO BUKU KHAIRY.”

“Ada apa mas..?” tanya wanita itu sedikit keheranan, melihat gelagat lain dari Ryan.

“Mba’ yang punya toko ini ya..?” tanya Ryan serius.

“Mas tahu dari mana ?”

“Itu!” seraya menunjukkan nama belakang pada co-card yang menggantung pada diri wanita itu, sejurus kemudian mata wanita itu tertuju pada co-card yang dimaksud.

“Kebetulan iya..”

“Oh.. kirain mba’ pegawai disini, mana pake’ co-card kayak gitu”

“Yaa.. mas, masa’ yang boleh pake co-card cuma pegawai aja, tapi asumsi mas gak salah kok, memang saya kerja disini, sebagai manajer. Toko buku ini milik papa, dan saya diberi amanah oleh beliau untuk mengurus toko ini, sekalian belajar bisnis, gitu kata beliau.”
“Kalo gitu papa-nya mba’ ngurus bisnis yang lain ya ?”

“Iya, papa ngurus bisnis yang lain. Alhamdulillah untuk saat ini kita udah punya 3 toko buku. Pusatnya di Jakarta dan cabangnya ada di Bandung dan Jogja. Hm.. tapi ngomong-ngomong nih mas, kok bisa sampe perhatiin co-card saya segala ya, mas termasuk cowok yang telaten ya.”

Masya Allah, ini pujian apa sindiran. Masa’ dia bilang aku cowok yang telaten, maksudnya? Ih.. nyindir banget nih mba’.

Ryan menggerutu didalam hati. Timbul perasaan tidak enak dan juga malu. Ia tahu dia salah dan kenapa juga matanya harus memperhatikan hingga ke co-card segala. Sindiran yang cerdas pikirnya. Ryan berpikir sejenak untuk memberikan jawaban yang sekiranya mampu menyelamatkan mukanya.

“Kalo saya sampe memperhatiin co-card-nya mba’, itu sebagai wujud dari sikap wara’ lho mba’.”

“Wara’ ?” Tanya wanita itu keheranan.

“Iya, Wara’. Saya memperhatikan co-card mba’ sebagai wujud kehati-hatian saya atau penjagaan diri dari perbuatan sia-sia. Untuk mastiin bahwa orang yang sedang saya tanyakan mengenai buku yang saya cari adalah orang yang mengerti akan informasi buku-buku di toko buku ini, dan orang tersebut tidak lain pastilah pegawai toko buku ini bukan? Nah sekarang saya nanya ke mba’ nih, cara apakah yang paling efektif untuk mengetahui bahwa orang tersebut merupakan pegawai toko buku ini atau bukan?”

Tanpa wanita itu sempat menjawabnya, Ryan langsung menimpali,

“Tentu salah satu caranya dengan melihat co-card kan?”

Wanita itu hanya diam sambil bibirnya mengulas senyum tipis.

“Coba mba’ bayangkan, kalo aja orang yang sedang saya tanyain ternyata bukan pegawai toko buku ini, kan sia-sia jadinya pertanyaan saya, jadi gak efisien dan buang-buang waktu aja. Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia.”

Kok bisa ya ngasi jawaban kayak gitu. Semoga ini hanya prasangka buruk-ku saja bahwa dia sedang ngeles. Hm.. smart answer.

Sejenak keduanya terdiam.

“Tapi terlepas dari itu semua, saya minta maaf ya mba’, saya hanya mencoba untuk mengklarifikasi, afwan jiddan kalo saya sedikit lancang, tapi insya Allah saya gak punya maksud gimana-gimana.”

“Gak apa mas, saya sendiri juga bingung apa yang mau saya maafkan, wong gak ada yang salah kok menurut saya, tapi jawaban mas barusan cukup religius”

“Religius? Mba’ ngejek ya?” Ryan balik bertanya.

“Eh nggak kok, that’s a nice answer I have ever heared,dan nggak nyangka aja”

“Nggak nyangka? Maksudnya?” Ryan semakin bingung.

Wanita itu berusaha menghindar untuk menjawab pertanyaan Ryan, walau dalam hatinya ia berkata,

Nggak nyangka kalo melihat tampilan luarnya.

“Mas ngaji dimana?”

Oh.. Ryan bergumam dan mulai paham arah pembicaraan wanita itu.

Dengan respon yang cool, Ryan menjawab,

“Saya rasa bukan masalah ngaji dimana-nya, kalo mba’ coba menghubung-hubungkan dengan jawaban saya tadi, tapi lebih karena karena saya rajin dan “telaten” (sambil memberi respon menyindir balik) membaca buku, ditambah pula dengan melihat style mba’ tebakan pertama saya, ya.. mba’ adalah seorang akhwat, jadi saya hanya berusaha untuk menyesuaikan gaya bahasa dengan lawan bicara itu saja.”

Oh.. begitu, ini mas malah nyindir balik.

“Tapi ngomong-ngomong kita belum kenalan nih dari tadi, salam ta’aruf saya Ryan.”

“Salam ta’aruf juga dari saya, saya Ira.”

Mereka saling memperkenalkan diri masing-masing tanpa melakukan ritual berjabat tangan. Tak terasa dialog yang mereka lakukan telah membuat sang waktu berlalu selama kurang lebih sepuluh menit.

“Ok mba’ Ira terima kasih ya untuk waktu dan bantuannya, saya tunggu kabar bukunya ya.”

“Oh ya mas saya minta nomor yang bisa dihubungi, untuk ngasi kabar mengenai pesanan buku-buku tadi.”

Ira menyodorkan kembali kertas yang tadi dia berikan ke Ryan untuk menulis buku-buku yang akan dipesan, sejurus kemudian Ryan mencatat nomor ponsel pribadi miliknya dikertas tersebut.

“Baiklah mas Ryan saya permisi dulu dan silahkan mas untuk melihat-lihat koleksi buku lainnya.”

“Ok mba’ Ira, syukron ya”

Masing-masing dari mereka berlalu, namun tiba-tiba,

“Mas Ryan !” Ira memanggil kembali.

Dia memanggilku kembali. Ada apakah gerangan. Ryan terkejut mendengar Ira memanggil namanya kembali. Menyeruaklah didalam hatinya perasaan “GR”, dengan mantap dan penuh percaya diri dia membalikkan badan,

“Ada apa mba’ ?”
“Itu tali sepatunya lepas, katanya mas orang yang “wara’” (sambil memberikan sindiran balasan), hati-hati lho entar bisa jatuh.”

Ya kirain mau ngomong apa, udah GR aja. Sindiran balasan rupanya. Gak apa-apalah Allahummaghfirli..”

“Syukron untuk informasinya mba’, jazakillah khair” Jawab Ryan sambil tersenyum.

“Wa iyyakum.” Ira ikut tersenyum.

Afwan ya mas, gak ada maksud apa-apa kok, cuma iseng he..

Menyadari hari mendekati sore, Ryan menyudahi tamasyanya di toko buku dan membawa beberapa buku ke kasir untuk di belinya, setelah membayar buku yang hendak di belinya tadi, kembali ia alihkan pandangannya mencari-cari sosok Ira yang kala itu sedang merapikan beberapa buku yang agak berserakan di rak buku, saat itu Ira sama sekali tak menyadari bahwa dari kejauhan ada sepasang mata sedang menatapnya, sambil senyum-senyum sendiri Ryan berjalan keluar menuju parkiran.

***

Ada sesuatu yang menggelitik perasaan Ryan dari kejadian yang baru saja di alaminya. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya membuat dirinya sangat takjub melihat wanita tadi. Jika karena kecantikan wajahnya, itupun di akui oleh Ryan. Wajahnya memang cantik, tapi itu saja tak kan cukup. Bukankah dia sudah sering bertemu dengan wanita-wanita cantik dalam berbagai kesempatan, tapi perasaannya biasa saja saat melihat mereka. Tak seperti saat melihat wanita tadi. Ada semacam perasaan lain dalam dirinya.

Bukanlah kecantikan wanita itu yang menjadi faktor utama keinginanku untuk melihatnya berulang kali, walau ku akui faktor itu mungkin saja ada, tapi ku tetap yakin itu bukanlah faktor yang utama, pasti ada hal lainnya.

Berpikir dan terus berpikir akhirnya ia sedikit menemukan jawaban dari pertanyaan batinnya.

Ada sesuatu lain yang melekat pada diri wanita itu. Sesuatu yang jauh lebih anggun dari pada sekedar keindahan fisik belaka. Sesuatu yang terpatri rapi di dalam relung jiwanya, yaitu keindahan hatinya.

Kemilau wajahnya mungkin saja merupakan refleksi keindahan yang terpancar dari kecantikan akhlaknya, dan kecantikan wajah yang tampak darinya tersempurnakan oleh kecantikan hati yang selalu dia jaga di manapun ia berada. Mungkin asumsiku ini terlalu terburu-buru atau bahkan berlebihan, entahlah.. aku tahu pendapatku ini bukanlah lahir dari sebuah pengamatan yang mendalam dan nalar, lebih kepada prasangka atau firasat atau apalah namanya.. atau karena hatiku telah ... ah tidak, bukan itu, bukan itu Ryan .. Hey wake up man.. Hati-hatilah saat nafsu telah melogika..

Hm.. by the way tumben-tumbenan akhwat kok supel ya he.. Semoga prasangkaku ini benar, walau kuakui terkadang memang sulit untuk membedakan mana sifat supel mana yang kelewat ramah terhadap lawan jenis, entahlah ..

Jawaban tadi kiranya sementara cukup memuaskan bagi Ryan untuk menghilangkan sedikit ganjalan pada hatinya. Jawaban terhadap misteri yang menyelimuti keanggunan yang ada pada diri Ira.

***

Sambil menyanyikan lagu favoritnya yaitu lagu ciptaannya sendiri, ia pacu kendaraan roda duanya menuju Masjid Baitul Hikmah. Tempat di mana Maulana, sahabat karibnya tinggal sebagai penjaga masjid bersama dengan aktivitis dakwah lainnya. Kendaraan dipacu dengan cukup kencang olehnya. Ia ingin mengejar waktu untuk sholat ashar berjamaah di sana.

Sudah lumayan lama ia tidak bersua dengan Maulana. Hampir satu bulan kiranya. Terakhir bertemu saat ia meminjamkan Maulana sebuah buku tentang Fiqh siyasah (fiqh politik). Kala itu kebetulan Maulana sedang bertamu ke rumah Ryan. Mengingat kejadian lampau tersebut membuat Ryan tergugah akan kenangan-kenangan masa silam saat ia dan Maulana masih sama-sama duduk di bangku SMA di tempat asal mereka, Batam. Pada waktu itu tali pertemanan yang terjadi di antara mereka terjalin dengan amat baik dan semakin baik hingga saat ini.

Mereka bertekad untuk saling membantu baik dalam keadaan senang maupun susah, bahkan dulu mereka sering bolos bareng, kemudian jika pacaran inginnya jadian bareng. Tak jarang juga mereka saling bantu saat sedang berkelahi dengan orang lain tanpa peduli siapa yang salah dan siapa yang memulai lebih dulu.

Perbedaan yang sangat tampak antara keduanya ialah kegemaran atau kecenderungan mereka masing-masing. Jika Ryan lebih senang dengan musik, berbeda dengan Maulana yang lebih senang untuk ikut aktif dalam organisasi intra sekolah atau OSIS dan sejenisnya. Tak mengherankan di kemudian hari ketika mereka telah sama-sama menjadi seorang ikhwan, maka kegemaran masing-masing dari mereka pada saat SMA tetap mereka jalani. Maulana di bidang pergerakkan mahasiswa sementara Ryan di bidang musik, namun dengan kapasitas masing-masing, mereka saling mengakui dan menghargai bahwa mereka adalah sama-sama aktivis Islam dan bertekad untuk menjadi Jundullah, bagian dari pasukan Allah yang berjuang untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.

Setelah lulus SMA mereka sepakat untuk sama-sama kuliah di Jogjakarta. Pada akhirnya Maulana di terima di FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) UGM, sedang Ryan di terima di Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembanguan UII (Universitas Islam Indonesia).

...MEREKA SALING MENGAKUI DAN MENGHARGAI BAHWA MEREKA ADALAH SAMA-SAMA AKTIVIS ISLAM DAN BERTEKAD UNTUK MENJADI JUNDULLAH, BAGIAN DARI PASUKAN ALLAH YANG BERJUANG UNTUK MENEGAKKAN KALIMATULLAH DI MUKA BUMI INI...

***
Tak berapa lama Ryan telah sampai ke tempat tujuannya, dari depan aula masjid tampak wajah penuh keakraban menyambut kedatangannya, dengan senyum yang teduh Maulana menyapa sahabatnya itu dengan salam.

“Assalamu’alaikum.!”

“Wa ‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barukatuh.” Jawab Ryan.

Dengan dandanan khas aktivis pergerakkan, maulana mengajak Ryan untuk menuju ke kamarnya yang berada dibelakang masjid. Obrolan-obrolan ringan sambil di selingi tawa kecil menghiasi perjumpaan mereka.

Di depan aula masjid tampak beberapa orang ikhwan sedang berdiskusi. Mereka tampak asyik dan larut dalam suasana tersebut, kemudian fokus mereka sedikit teralihkan dengan kedatangan Ryan. Mereka dan Ryan saling bertatapan kemudian saling melempar senyum.

Suasana keilmuan dan islami terasa sekali saat Ryan memasuki kamar Maulana. Persis di sebelah kasur berjejer buku-buku yang tertata rapi dalam sebuah almari kaca. Di seberang rak terdapat bermacam kaset nasyid dan belasan vcd islami.

“Ada gerangan apa engkau ingin menemuiku ?” tanya Maulana dengan sedikit bercanda.

“Waduh maen nanya langsung aja antum, persilahkan dulu kek tamunya masuk. Kayaknya buru-buru nih, antum lagi ada kesibukan ?”

“Oh.. afwan, gak kok, lagi gak sibuk akh, ana cuma penasaran saja apa yang mau antum bicarain, tumben pasti penting nih. Mari akh silahkan masuk” Maulana mempersilahkan sahabatnya masuk.

“Ngomong-ngomong liqo’ antum gimana, masih jalan ? katanya antum baru pindah alamat.” Sambung Maulana.

“Iya ana baru pindah alamat, ana ditransfer dan lokasi liqo’ jadi berubah di daerah Pogung. Alhamdulillah surat rekomendasi dari Murobbi sudah ana dapatkan tapi ana belum sempat menghubungin Murobbi yang baru, jadinya udah dua minggu ana gak liqo’” Ryan coba menerangkan dan tanpa membuang waktu lagi ia coba utarakan maksud hatinya untuk menemui Maulana,

“Ada sesuatu penting yang ingin ana bicarakan.”

“Apaan ? Mau konsultasi cinta ?” kembali Maulana bertanya dengan nada bercanda.

“Antum bisa aja..! Bukan itu maksud kedatangan ana kesini. Ana kesini untuk bertukar pikiran dengan antum mengenai mimpi yang ana alami tadi malam.”.

Dengan lancar Ryan menggunakan kosakata khas para ikhwan. Ia melakukan ini semata-mata hanya untuk menyesuaikan diri dengan obyek bicaranya seperti dengan Ira di toko buku tadi, sehingga gaya bicaranya akan berbeda jika ia bertemu dengan teman-teman bandnya atau teman-teman di lingkungan pergaulan lainnya.

“Mimpi !?.. Mimpi buruk ya ?”

“Bagi ana sih ini mimpi buruk.” Dengan menghirup napas yang cukup panjang Ryan coba melanjutkan ceritanya.


Bersambung…

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta (Bab I)

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta
Oleh : Erjie Al-Batamiy


BAB I

Dan ceritapun dimulai

Alunan lembut melody soft blues dari gitar Fender Tele-Caster berwarna hitam milik Ryan terdengar akrab di telinga teman-teman bandnya. Petikan demi petikan dirasa semakin mantap. Menghanyutkan ritme emosi dan mengantarkan getaran-getaran psikis para pendengarnya. Malam itu jam menunjukkan pukul sebelas lebih tiga menit. Para personil Inferno Band melakukan sesi terakhir latihan untuk konser hari Rabu mendatang. Tergambar jelas wajah puas para personil begitu juga dengan Dor, sang manajer yang punya nama asli Abdulrahman bin Sutarjo.

Para personil mengemas perlengkapan latihan masing-masing, dan kemudian semuanya bergegas, bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing, kecuali Ronald sang vokalis yang rumahnya menjadi basecamp sekaligus tempat latihan yang baru saja selesai.

Dor dan Ryan yang kebetulan tinggal serumah pada sebuah kontrakan pamit terlebih dahulu. Disusul Ijul dan Doni yang sempat menghisap sebatang rokok terlebih dahulu sebelum pulang.

Suasana kota Jogja sangat lenggang, hanya terdengar sesekali suara motor yang bergantian. Saat itu sedang musim hujan, jalan basah, angin terasa lembab. Kebetulan malam itu sedang tidak turun hujan. Ditengah jalan Dor dan Ryan berpisah. Dor pulang duluan karena sudah sangat mengantuk, sedangkan Ryan singgah terlebih dahulu ke warung bubur kacang ijo milik aa’ Bram.

Warung bubur kacang ijo milik aa’ Bram terletak tidak jauh dari kediaman Ryan, paling-paling hanya sekitar 200 meter arah selatan rumahnya. Ryan sudah mengenal aa’ Bram dan istrinya cukup lama. Sering ia dibawakan oleh-oleh jika aa’ Bram pulang ke Kuningan atau pun pulang ke kampung istrinya di Bandung.

Warung aa’ Bram selalu ramai di datangi oleh anak-anak kos yang ada di daerah tersebut. Selain makanannya yang terkenal enak, harga di warungnya pun dijamin lebih miring di banding warung-warung burjo lainnya. Ditambah lagi akan sifat aa’ Bram yang terkenal ramah dan gampang akrab pada siapa saja. Hal inilah yang membuat dia disenangi oleh banyak orang.

Dari kejauhan terdengar suara motor milik Ryan mendekat ke arah warung burjo. Perlahan tapi pasti motor tersebut berhenti tepat di depan warung burjo aa’ Bram. Saat itu seperti biasa warung terlihat ramai dipenuhi oleh anak-anak kos. Baik yang datang hanya sekedar untuk mencari cemilan, atau pun rokok, sampai yang benar-benar kelaparan juga ada.

Ryan memarkirkan motornya dengan hati-hati. Maklum zaman sekarang pencurian motor terjadi di mana-mana dan sebagai seorang muslim ia selalu berusaha untuk bersikap waspada sebagai bentuk usaha atau ikhtiarnya. Baru kemudian ia bertawakal menyerahkan semuanya kepada Allah.

Click, terdengar suara kunci pengaman yang ia pasang pada cakram depan motornya. Beberapa saat kemudian ia pun masuk ke warung tersebut dan memesan satu mangkok bubur kacang ijo hangat.

“A’ burjonya satu ya” ujarnya dengan sedikit serak pada suaranya

“Lho kok tumben, biasanya indomie goreng telor..”

“Tenggorokanku lagi rada gak enak a’.. mungkin gara-gara tadi latihannya pake’ AC, trus mana latihannya kemalaman lagi…” jawab Ryan sambil menahan sedikit sakit di tenggorokkannya. Sekalipun di band posisinya sebagai gitaris tetapi tidak jarang ia diminta juga oleh Ronald sang vokalis untuk jadi backing vocal, baik saat latihan maupun pada saat konser, dan tenggorokannya benar-benar sensitif terhadap udara dingin.

“Tadi habis latihan band..?” tanya aa’ ramah. Ryan Cuma mengangguk

“Di bungkus apa makan sini yan ?” tanya aa’ lagi.

“Makan sini aja a’.. gak usah pake’ ketan ya a’..”

“Sip bos..” jawab aa’ mantap

Tak lama kemudian semangkuk bubur kacang ijo hangat yang dipesan oleh Ryan tadi sudah tersaji tepat di hadapannya. Ia mengaduknya sambil meniup dengan perlahan. Tak lupa ia mengucapkan basmalah sesaat sebelum menyantapnya. Setelah beberapa suap ia mulai merasa agak enakkan. Hatinya mengucap syukur kepada rabbnya akan hal itu, dan ia mulai mengajak si aa’ ngobrol.

“Kemarin kenapa tutup seharian a’..?”

“Iya, kemarin saya mengantar istri ke rumah sakit.” Jawab aa’ bram kalem

“Teh Rika sakit apa a’? Perasaan dua hari yang lalu pas ketemu dengan saya kelihatannya baik-baik aja.”

“Penyakit Maagnya kambuh lagi, tapi kali ini lumayan parah.” Tampak raut kesedihan dari wajah aa’ Bram.

“Innalilahi wa innailaihi roji’un, tapi sekarang sudah tidak apa-apa kan ?..” tanya Ryan prihatin.

“Alhamdulillah sekarang sudah agak baikkan..” kemudian aa’ Bram permisi sebentar ke belakang untuk mengangkat gorengan yang baru saja matang.

Selang beberapa menit kemudian semangkuk Bubur Kacang Ijo yang tadi dipesan oleh Ryan habis di lahapnya. Ia mulai merasa mengantuk. Penat yang menjalar di seluruh tubuhnya ikut memberi andil menambah rasa kantuk tersebut. Tanpa berlama-lama lagi ia pun mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari saku celananya.

“A’ burjonya satu.”

“Sudah yan..? Ryan mengangguk. “Hm..burjo satu ya..? biasa seribu tiga ratus”

“Nih.. a’”.. seraya menyodorkan uang lima ribu yang di keluarkannya tadi.

Dengan cekatan tangan si aa’ mengambil uang lima ribu tersebut dan langsung mencari kembaliannya.

“Nih yan.. kembaliaannya..”

“Thanks a’..”.

Uang kembalian tersebut langsung saja di ambil oleh Ryan tanpa menghitungnya lagi. Sejurus kemudian kakinya melangkah keluar dari warung menuju motornya yang terparkir dengan aman. Sambil bersiul kecil ia membuka kunci pengaman yang terpasang di cakram depan motornya, lalu setelah itu ia memasukkan kunci ke kontak motor dan segera beranjak dari tempat itu.

***

Sesampainya dirumah, Ryan segera membuka pintu garasi, dengan sedikit tertatih ia mendorong motornya ke dalam garasi. Meletakkannya tepat disamping sedan hitam milik Abdurrahman alias Dor, panggilan keren sang manajer band.

Ryan mengamati sekeliling rumah, ternyata penghuninya sudah tertidur pulas semua. Ia terus berjalan dengan langkah gontai sambil menahan rasa kantuk. Matanya melirik ke arah jam dinding yang berada diantara dua kaligraphi arab bertuliskan Allah dan Muhammad yang tertata sedemikian rupa di sebelah kanan dan kiri jam dinding. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul dua belas kurang beberapa menit.

Hampir tengah malam rupanya. Ia bergumam.

Membuka almari pakaian, Ryan mencari sarung untuk sholat. Sambil menguap ia memilah-milah beberapa sarung miliknya, setelah beberapa saat, sehelai sarung bermotif kotak-kotak dengan variasi warna biru muda yang dominan serta warna putih dan ungu yang tampak serasi dikeluarkannya dari almari pakaian. Sarung tersebut diletakkannya di atas meja baca yang ditumpuki beberapa buku yang belum sempat dibaca olehnya.

Tangannya dengan perlahan menyingsingkan celana jeans yang sedang ia kenakan setinggi pangkal betisnya, kemudian ia menuju ke ruang wudhu yang berada di samping kamar mandi rumahnya.

Membasahi sebagian anggota tubuhnya dengan sucinya air wudhu dan ditemani oleh nada-nada dengkuran si Dor yang lumayan nyaring, Ryan mencoba untuk tetap menikmati suasana. Rasa kantuk yang tadi menyerangnya perlahan-lahan hilang sesaat setelah ia mengambil air wudhu.

“Kantuk yang baru saja menyerangku tadi benar-benar buah perbuatan setan”

Segera setelah mengganti pakaian, ia mengambil sajadah dan membentangkannya. Menghadapkan wajahnya kebawah dan mengarahkan pandangannya pada tempat dimana ia akan sujud, dengan penuh kekhusyukkan ia kerjakan lima rakaat shalat witir, shalat dengan bilangan ganjil pada rakaatnya dan sangat di anjurkan oleh Rasullullah SAW untuk dikerjakan setiap malamnya.

Sebenarnya ia lebih sering mengerjakan shalat malam pada sepertiga malam yang terakhir dengan bilangan sebelas rakaat. Namun malam ini ia betul-betul merasakan keletihan yang sangat di sekujur tubuhnya, khawatir kalau-kalau nanti ia tidak terbangun pada sepertiga malam yang terakhir dan melewatkan malam tanpa mengerjakan satu rakaat pun shalat lail maka dengan sedikit kepayahan ia mengerjakannya sebelum beranjak tidur. Baginya biarlah kehilangan sedikit pahala dari rabbnya daripada harus mengambil resiko kehilangan cinta dari-Nya. Bukankah Allah lebih mencintai hamba-hambanya yang melakukan ibadah secara konsisten atau terus-menerus meskipun hanya sedikit daripada banyak namun terputus-putus, pikirnya.

Setelah menyelesaikan sholat malam ia bersiap untuk tidur. Diaturnya alarm tepat pukul setengah empat pagi dan diletakkannya jam tersebut di samping kanan kasur yang hanya beralaskan tikar. Sejenak ia palingkan diri dari pikiran-pikiran yang membebaninya, dan dengan perasaan lega karena telah mengerjakan shalat witir, ia rebahkan badannya di atas kasur. Seraya menadahkan tangan, dalam keadaan berbaring ia berdoa ,kemudian badan, kaki dan wajahnya ia hadapkan ke kanan untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan nabinya pada saat tidur.

***

Perlahan ia coba memejamkan mata dan mengistirahatkan jasad yang telah seharian beraktivitas. Kira-kira setelah setengah jam berlalu tetap saja matanya belum menunjukkan tanda-tanda akan mengantuk. Semakin lama hal ini benar-benar membuat ia semakin cemas. Bagaimana tidak, kira-kira jam setengah empat nanti ia sudah harus bangun lagi, atau paling lambat jam empat tepat saat azan subuh berkumandang untuk mengikuti shalat subuh berjamaah di masjid. Apalagi subuh nanti merupakan gilirannya untuk mengisi tausiyah yang di adakan rutin saban hari minggu di masjid tersebut.

Sedikit memaksakan, Ryan mencoba untuk terus memejamkan mata. Baru sekitar satu jam kemudian ia mulai merasa nyaman, secara perlahan kesadarannya mulai menghilang dan terus menghilang ke alam bawah sadar. Alam dimana kematian menjadi saudara kembarnya. Alam dimana manusia tidak mengerti dimana sesungguhnya ia berada. Alam yang di kenal oleh awam sebagai alam tidur, tanpa terasa kepulasan telah menyelimutinya dan mengantarkan dirinya sejenak pada suatu fase lain dari kehidupan ini.

Sinar bulan malam itu cukup terang. Tersempurnakan akan kerlipan bintang-bintang yang mengangkasa. Cahaya perak dan lukisan malam yang tergores dalam kanvas kehidupan, meruas dan meruangi sisi-sisi jiwa manusia yang tiada walau sedetikpun luput dari pengawasan-Nya. Pengawasan dari yang memiliki mata namun tidak mengantuk, dari yang memiliki telinga namun tidak tuli, dari yang maha berkuasa namun tiada mendzalimi, dalam kasih-Nya (rahman) manusia hidup, dalam sayang-Nya (rahim) keimanan di bawa mati.

Raut yang tergambar pada wajah Ryan saat ini, saat ia sedang terlelap, menampakkan bahwa ia baru saja melewati hari yang sangat melelahkan. Hari yang mengantarnya untuk terlelap menghabiskan sisa-sisa malam. Hari-hari yang ia habiskan untuk menjalani profesi sebagai seorang musisi, tapi bukan sembarang musisi. Ia seorang musisi yang terkenal atau lazim di sebut artis. Merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Baru sekitar 26 tahun ia habiskan jatah umurnya di dunia ini.

***

Bunga tidur yang mengesalkan

Kring..kring..kring bunyi berulang-ulang alarm dari jam milik Ryan sontak memecahkan kesunyian di malam itu. Spontan seketika itu juga membuat yang empunya menjadi terjaga, dengan terburu-buru tangannya berusaha meraih jam tersebut dan mematikannya. Pada saat itu masih pukul setengah 4 pagi, namun dari arah samping rumahnya telah terdengar alunan ayat-ayat suci Al-quran melantun merdu mengalir di telinganya, menambah kesyahduan suasana di pagi itu. Keindahan lantunan ayat-ayat suci tersebut secara teratur mengirama melewati gendang telinganya dan membuat ia yang masih setengah sadar langsung terjaga sepenuhnya. Untunglah hal pertama yang diingatnya ialah Allah, serta merta bibirnya berucap Alhamdulillah, kemudian kearah langit ia menadahkan tangan dan berdoa,

“Alhamdulillahiladzi ahyanaa ba’damaa amaatanaa wa ilaihinnusyur, ya Allah segala pujian hanya Engkaulah pemiliknya, terima kasih terhaturkan dari hati hamba kepada-Mu duhai zat yang maha suci lagi maha terpuji, tiadalah daya maupun upaya melainkan atas izin-Mu sehingga hamba mampu menjadikan diri-Mu menjadi hal yang pertama kali hamba ingat saat hamba terjaga.”

Lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an yang masih saja berlangsung sampai kelak adzan subuh di kumandangkan sebenarnya berasal dari kaset yang sengaja di putar oleh takmir Masjid Nurul ‘ilmy, masjid yang berada di lingkungan rumah Ryan setiap setengah jam sebelum masuk waktu sholat subuh.

Sejujurnya malam tadi terasa amat singkat sekali bagi Ryan. Dia mungkin hanya tertidur kira-kira dua sampai tiga jam saja, namun kondisi badannya sudah terasa segar kembali. Agak aneh memang. Ia tak sadar dan terlupa bahwa sesuatu yang cukup penting baru saja terjadi dalam tidurnya.

Dengan sedikit gerakan perenggangan ia coba mempersiapkan diri untuk mengerjakan shalat subuh. Sambil sesekali menguap ia menuju kamar Dor dan adiknya Dor, yaitu sigit.

“Dor,git.. udah mo subuh, ayo bangun.. ntar kesiangan.”

“Ya..” sahut keduanya dengan nada memelas.

...SEJUJURNYA MALAM TADI TERASA AMAT SINGKAT SEKALI BAGI RYAN. DIA MUNGKIN HANYA TERTIDUR KIRA-KIRA DUA SAMPAI TIGA JAM SAJA, NAMUN KONDISI BADANNYA SUDAH TERASA SEGAR KEMBALI. AGAK ANEH MEMANG. IA TAK SADAR DAN TERLUPA BAHWA SESUATU YANG CUKUP PENTING BARU SAJA TERJADI DALAM TIDURNYA...

Selang sepuluh menit kemudian, Ryan sudah siap dengan rapi mengenakan baju koko dan sarung yang ia gunakan untuk shalat witir tadi malam, sedang Dor masih di kamar mandi, sementara Sigit baru saja mulai mengambil air wudhu dengan wajah yang sedikit mengantuk. Tepat pukul empat, adzan pun di kumandangkan oleh pak Heri, orang yang di bayar oleh takmir tiap bulan khusus untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Ryan mengambil sajadah, kemudian membentangkannya. Di ikuti oleh Dor dan Sigit, kemudian masing-masing dari mereka mengerjakan shalat fajar atau Qabliah subuh.

Ryan selalu membiasakan diri untuk mengerjakan shalat sunatnya di rumah kecuali jika dia sedang berpergian. Mengetahui keutamaan serta pahala yang akan di dapatkan, membuat Ryan prihatin melihat banyaknya orang yang masih mengerjakan shalat-shalat sunat mereka di masjid khususnya sholat rawatib. Padahal rasul telah menyampaikan sabda beliau bahwasanya shalat sunat yang di kerjakan di rumah jauh lebih utama daripada shalat sunat yang di kerjakan di masjid. Perbandingannya-pun tak tanggung-tanggung yaitu seperti perbandingan antara shalat fardu yang dikerjakan berjamaah dengan yang di kerjakan sendiri, yaitu 25 atau 27 kali lipat.

Sedikit mempercepat tanpa mengabaikan sifat shalatnya, kurang dari tiga menit, Ryan telah merampungkan ibadah sholat sunatnya. Dor dan Sigit sudah terlebih dahulu selesai, dengan tenang Ryan membuka pintu rumah, menutup dan menguncinya kembali.

***

Iqamah telah di kumandangkan. Terdengar suara pak Heri yang sedikit berat itu mengalun di udara. Shalat subuh-pun dimulai. Para jamaah dengan khusyuk mendengarkan imam melantunkan bacaannya, tak terkecuali Ryan.

Selang beberapa waktu kemudian, di tengah sholatnya tiba-tiba kekhusyukan Ryan mulai terganggu. Bukan gangguan yang sedikit, tetapi benar-benar menyesakkan. Gangguan yang hanya bisa di rasakan oleh Ryan seorang, tidak pada jamaah lainnya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi gangguan tersebut. Berusaha untuk merebut kembali kekhusyukan sholatnya yang telah di renggut oleh setan, namun apa daya ia tetap saja tak mampu.

Sayup-sayup konsentrasi terhadap bacaan, baik yang sedang dibacanya maupun yang sedang di baca oleh imam mulai surut dan berkurang. Dalam hati ia meminta perlindungan kepada Allah agar sudi untuk menghilangkan gangguan tersebut, namun tetap saja gangguan itu datang dan datang lagi hingga imam mengucapkan salam tanda berakhirnya sholat.

...PADA SAAT IA SEDANG ASYIK MASYUK MENGHADAP TUHANNYA, SEKETIKA ITU JUGA SETAN DENGAN LICIKNYA MENGINGATKAN RYAN AKAN SEBUAH MIMPI. MIMPI YANG IA ALAMI TADI MALAM. MIMPI YANG KELAK DIKEMUDIAN HARI AKAN SANGAT MEMPENGARUHI HIDUPNYA. SEBUAH MIMPI BURUK MENURUTNYA. BENAR-BENAR BURUK. LEBIH BURUK DARI MIMPI KETEMU HANTU, ATAU YANG SEJENIS...

Setelah salam, Ryan mengucapkan istighfar sebanyak tiga kali, memohon ampun kepada Allah akan ketidaksempurnaan shalatnya. Ia telah berusaha semampunya namun inilah yang terjadi. Lagi-lagi ini merupakan perbuatan setan, pikirnya.

“Bisa-bisanya ini terlintas pada saat aku sedang sholat”

Pada saat ia sedang asyik masyuk menghadap Tuhannya, seketika itu juga setan dengan liciknya mengingatkan Ryan akan sebuah mimpi. Mimpi yang ia alami tadi malam. Mimpi yang kelak di kemudian hari akan sangat mempengaruhi hidupnya. Sebuah mimpi buruk menurutnya. Benar-benar buruk. Lebih buruk dari mimpi ketemu hantu, atau yang sejenis.

Kekesalan memenuhi relung jiwanya. Sangat beralasan memang jika situasi batinnya menjadi seperti itu. Ia bertanya-bertanya mengapa ingatan akan mimpi itu baru terlintas pada saat ia sedang sholat. Mengapa tidak pada saat ia baru bangun tidur tadi, sehingga jika memang mimpi itu dirasa akan sangat mengusik kekhusyukan shalatnya ia bisa mewanti-wanti hal tersebut sebelum melaksanakan shalat.

Seandainya saja…

Setelah mengucapkan perkataan itu dalam hatinya Ryan buru-buru untuk beristighfar. Ia baru saja teringat bahwa perkataan seperti itu di larang oleh Rasullullah untuk di ucapkan meskipun hanya di dalam hati.

Perkataan ini hanya akan membuka lebih lebar lagi pintu masuk setan kedalam hatiku. Ia berusaha membuat ku menyalahkan apa yang telah di takdirkan Allah SWT. Maha suci Allah dari segala kekurangan termasuk salah dalam menetapkan takdir terhadap hamba-hambanya.

***

Waktu terus berputar, berjalan beriringan dengan laju kehidupan. Ryan sadar ia masih punya satu kewajiban lain, yaitu mengisi tausiyah pada pagi itu. Untuk sementara ia berusaha menyingkirkan pikiran tadi dari benaknya.

Siraman rohani pada pagi itu mampu ia sampaikan dengan baik. Tidak banyak yang di sampaikan olehnya. Tidak pula berat kandungannya. Baginya yang terpenting dapat memberikan ilmu yang praktis bagi para jamaah yang mendengarkan, untuk kemudian bisa langsung diamalkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

***

Bersambung...

Jumat, 15 Januari 2010

Novel : Tiada Salah Dengan Cinta (Synopsis)


Novel : Tiada Salah Dengan Cinta (Synopsis)


Ryan sosok manusia yang dianugerahi Allah sebuah qalbu yang apabila di ilustrasikan bagai sebuah electric guitar lengkap dengan sound system-nya, alunan nada-nada qalbunya bergema dan menghasilkan rangkaian harmonisasi, melantun indah agar didengar oleh semua orang, yang apabila dikonversi menjadi bait syair : “Hai kalian ketahuilah bahwa aku adalah seorang ikhwan, seorang yang berusaha untuk menjadi mukmin, seorang yang memiliki cita-cita kematian yang tak kalah tingginya yakni menjadi syuhada” , namun sayang.. sekalipun volume sound-nya telah maksimal, akan tetapi hanya sayup-sayup terdengar ditelinga manusia, disebabkan peredam suara yang terlalu tebal dan baik, yakni tampilan luarnya. Tampilan luar Ryan betul-betul ampuh untuk menjadi peredam suara yang menghalangi suara qalbunya didengar nyaring di telinga manusia. Tampilan luarnya membuat dia harus rela divonis oleh hakim manusia sebagai “orang biasa”.


Bisa saja pikirnya untuk mengubah tampilan luarnya layaknya ikhwan kebanyakan, agar orang-orang tahu kapasitas dirinya, namun dia tidak sanggup menerima konsekuensinya yakni : mengganti qalbunya yang selama ini di ilustrasikan bagai sebuah electric guitar menjadi qalbu yang di ilustrasikan bagai sebuah gambus, hal ini tak pas baginya, tidak matching dengan ruangan jiwanya yang telah terlanjur terpampang foto-foto Steve Vai, Joe Satriani, John Petrucci, Eric Johnson bahkan Eric Clapton untuk digantikan foto-foto Hadad Alwi & Sulis, Opick, atau bahkan nasyid yang sedang digandrungi saat ini seperti Raihan atau Edcoustic, sehingga doanya kepada Allah agar diberikan kekasih hati seorang istri yang memiliki kepekaan mata & telinga qalbu yang sensitif, untuk dapat melihat layak tidaknya sebuah gitar tidak hanya pada casing luarnya saja, seperti Ibanez Jam butut milik Steve Vai, yang selalu digunakannya disetiap konsernya, sekalipun butut tetap menjadi andalan baginya, kemudian telinga qalbu untuk mendengar dan membedakan secara detil mana nada-nada qalbu yang sumbang mana yang tidak, mana senar gitar yang masih bagus atau telah “mati” untuk segera diganti.

Sedangkan Ira adalah sosok wanita yang apabila manusia ingin membicarakan tentang kecantikan, sementara ukuran kecantikan yang dimaksud adalah fisik belaka, maka tidak berlaku ungkapan : “Sesungguhnya kecantikan itu relatif bagi setiap orang”, karena dari 10 orang yang ditanya untuk menilai fisik Ira, pasti semuanya memiliki jawaban yang seragam yaitu “Ira adalah wanita yang cantik”, namun apabila definisi kecantikan ditarik lebih dalam, tidak pada ukuran fisik belaka, Ira-pun tetap menempati klasifikasi yang baik.


Lalu kemudian Ira memiliki seorang ayah, pemimpin sebuah organisasi rahasia yang dengan tekad baja melalui organisasi yang dipimpinnya ber’azzam untuk memiliki saham atau andil besar dalam proses transisi yang membawa umat Islam dari zaman muluk jabariayah menuju kembali kepada zaman khalifah, yang dia yakini tidak akan lama lagi terjadi, dengan melihat situasi dunia akhir-akhir ini.

Bagaimanakah kisah mereka, dengan jalan apakah Allah mempertemukan mereka? Silahkan membaca novelnya.


Ttd


Erjie...

Selasa, 12 Januari 2010

Cerpen : Pengen Kayak Bon Jovi (Rocker yang Sayang Istri)


Cerpen : Pengen Kayak Bon Jovi (Rocker yang Sayang Istri)
Oleh : Erjie Al-Batamiy


Suga Keanberhm sedang melihat-lihat etalase berisi bermacam-macam jenis senar gitar. Ada merek Ernieball, Fender sampai Pyramid. Sebulan belakangan Suga Keanberhm telah disibukkan dengan urusan renovasi rumah. Maklum dia dan istrinya yakni Nova Ang baru saja pindah rumah. Rumah tersebut termasuk murah, karena murah konsekuensinya banyak bagian dari rumah yang harus diperbaiki sana sini. Budget mereka terbatas karena masih tergolong pengantin baru. Kesibukan merenovasi rumah telah membuat Suga Keanberhm lupa merawat gitar kesayangannya yaitu Flying X 730 Masta Series.

Senar-senar gitarnya pada berkarat dan secepatnya harus diganti. Sayang bila gitar custom khusus untuk musik rock tersebut harus terabaikan karena harganya cukup mahal. Dipesan langsung dari Mynul Hakeem Co Ltd, sebuah perusahaan gitar ternama di Amerika Serikat yang khusus memproduksi gitar custom berkualitas. Kebetulan pemilik perusahaan tersebut teman Suga, yakni seorang muslim keturunan Afro-Amerika, Mike Pakonjo Hakeem. Pakonjo merupakan nama marga keturunan Zaire sedang Hakeem adalah nama islamnya.

“Yang mana ya jadi bingung..” Suga masih memilih senar yang akan dibelinya. “Yang ini saja merek Ernieball, sesekali mau nyobain pake yang ini. Satu setnya berapa ?” Suga menanyakan pada pelayan toko alat musik tersebut.

“Ini harganya 100 kron” jawab pelayan toko.

lumayan mahal, tapi tak mengapa, itung-itung percobaan

“Saya beli satu set” Suga tetap ingin membeli senar tersebut.

Pelayanan toko langsung mengambil satu set senar gitar baru dari etalase yang ada didepannya. Membungkusnya, kemudian memencet tombol-tombol alat kasir. Barang diserahkan uang diberikan.

Cuaca kota Stockholm siang itu cukup dingin. Suga tidak terlalu terpengaruh. Pakaiannya cukup tebal dan fisiknya telah terbiasa akan iklim demikian sebab dia lahir dan besar dikota tersebut. Sejak lahir dia telah menjadi warga negara Swedia dan memperistri seorang gadis bernama Nova Ang kira-kira setengah tahun yang lalu. Nova Ang merupakan gadis yang kini telah berwarga negara Swedia. Blesteran Kashmir dan Uighur. Ayahnya seorang militan kashmir sedang ibunya seorang muslimah asal xinjiang.

Suga Keanberhm telah menjadi muslim sejak lahir, beruntung orang tuanya telah menjadi seorang muallaf sebelum Suga lahir. Suga bertemu dengan Nova Ang ketika mereka sama-sama berada didalam satu forum yakni sesama aktivis United Nations World Food Programme (UNWFP) atau lembaga pangan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Nova yang kala itu merupakan seorang aktivis sekaligus berprofesi sebagai seorang akuntan spesialisasi lembaga keuangan syariah berkenalan dengan Suga yang saat itu tengah mengisi acara musik untuk menghibur anak-anak benua Afrika yang tengah dilanda oleh tragedi kemanusiaan yaitu kelaparan. Suga seorang musisi muslim. Keislaman-nya yang notabene pemuda eropa mampu mencuri perhatian Nova yang berasal dari asia. Berawal dari lirikan kemudian menuju pada ketertarikan dan akhirnya pernikahan. Nova sangat surprise saat mengetahui bahwa Suga disamping seorang rocker juga seorang dai. Nova tidak keberatan malahan senang sekaligus bangga.

***
Suga tengah menuju café untuk mengobrol sambil meminum segelas susu coklat hangat. Disana dia telah ditunggu oleh Mika Portnov, pemain mussete grup band “Back Yard”.

“Hello Mika. Sudah lama menunggu?”

“Belum terlalu. Aku juga baru sampai”

“Gimana dengan pertunjukan band mu nanti malam?”

“Ya tentu saja jadi. Oh ya katanya bandmu “Smile Lee Cathy” tengah break, karena tengah fokus buat jalanin puasa ramadhan. Jadi kegiatanmu apa sekarang?”

“Seperti biasa. Berdakwah, mengisi pengajian sana sini, menambah waktu belajar baik al-qur’an, hadits maupun fiqh”

“Gimana perkembangan dakwahmu?”

“Alhamdulillah sekarang sudah lebih baik. Mereka yang kudakwahi mulai bisa menerima aku dan gaya dakwahku. Ahh..” Suga menghela nafas. “Masih membekas kenangan saat aku pertama kali berdakwah, mereka meremehkan aku, karena predikatku seorang rocker seolah bisa digeneralir oleh stigma mereka bahwa semua rocker sama, tapi itu sudah biasa” Suga tersenyum.

Mika dan Suga mengobrol lumayan lama. Mereka membahas banyak masalah, dari mulai masalah musik, dakwah, keluarga hingga masalah politik. Hari merayap perlahan menuju senja. Mereka sepakat untuk mengakhiri jumpa mereka, pulang ke rumah masing-masing, berkumpul bersama keluarga.

Sesampai dirumah Suga melihat istrinya, Nova tengah murung. Dia husnu dzan mungkin istrinya ada masalah dikantor. Terlebih saat ini istrinya sedang kedatangan tamu bulanannya, jadi rada sensitif. Suga hanya memberi salam, dan belum mau menanyakan ada apa. Jika Nova tetap diam maka Suga baru akan menanyakan perihal murungnya ba’da tarawih kelak. Sekarang Suga diam saja, khawatir salah tanya, malah membuat istrinya yang saat ini tengah sensitif marah tak menentu.

Ba’da tarawih telah menghampiri. Suga baru saja pulang sholat tarawih dari masjid Stockholm. Masjid yang diarsiteki oleh Ferdinand Boberg dan berada tepat di jantung kota. Menjadi kebanggaan bukan saja bagi umat muslim, melainkan bagi penduduk kota.

Suga melihat istrinya sedang menonton televisi. Nova sedang menonton acara discovery channel. Wajahnya tetap murung. Suga mendatangi Nova. Dia duduk disamping Nova, tanpa berkata-kata Suga coba merangkul istrinya, Nova mempersilahkan, namun wajahnya tetap murung tak ada senyum yang mengiringi.

Tak ada sama sekali timbul dibenak Suga perasaan tidak nyaman dan menjauhi istrinya, meski Nova saat ini sedang datang bulan. Dia berusaha berinteraksi dengan istrinya secara makruf. Suga berharap rangkulannya mampu mencairkan kebekuan pada rona wajah sang istri.

“Istriku sayang ada apa nih.. kok dari tadi murung terus?” Suga menyapa lembut istrinya. Nova hanya menggeleng manja. Timbul berbagai tafsir dibenak Suga atas gelengan tersebut. Apakah Nova ingin mengatakan tidak ada apa-apa sedang dia lagi bad mood saja atau memang tak ingin menceritakan.

Suga kembali diam. Istrinya berwenang untuk mau atau tidak menjawab pertanyaannya. Suga dituntut sabar saat ini, Suga tahu bukan dia yang menjadi “tersangka” atas murungnya Nova, tapi reaksi Nova seolah Suga pelakunya.

Sebelumnya Suga dan Nova telah terikat pada komitmen bersama. Dalam rangka memperkuat mitsaqan ghalizha diantara mereka, Suga dan Nova sepakat agar seiring dengan berjalannya waktu, mereka harus terus dan terus belajar untuk bisa saling mengerti. Memahami kekurangan dan kelebihan pasangan. Tabiat, kecendrungan dan hal lainnya. Salah satunya ialah kesepakatan untuk saling mengalah. Tatkala Suga sedang emosi atau labil, tak peduli siapa yang benar dan siapa yang salah, untuk saat itu Nova harus mengalah, sekalipun berada diposisi yang benar. Begitu juga sebaliknya. Setelah badai emosi reda, barulah dibicarakan dari hati ke hati atas apa yang terjadi.

Sebagai seorang istri dalam mengingatkan Suga, Nova selalu santun menyampaikannya dan dengan bahasa yang lembut, sehingga Suga tidak pernah merasa digurui. Disitulah letak kecerdasan Nova dalam menjaga wibawa suami sekaligus qawwamnya. Tak berbeda dengan Suga apabila dia ingin menegur Nova, tidak ber-emosi ria. Suga takut kufur akan nikmat Allah SWT yang telah menolong dirinya dengan menganugerahi seorang isteri sholehah. Kemakrufan mereka junjung tinggi dan penjagaan ritme komunikasi menjadi menu setiap hari.

...DISITULAH LETAK KECERDASAN NOVA DALAM MENJAGA WIBAWA SUAMI SEKALIGUS QAWWAMNYA...

...SUGA TAKUT KUFUR AKAN NIKMAT ALLAH SWT YANG TELAH MENOLONG DIRINYA DENGAN MENGANUGERAHI SEORANG ISTERI SHOLEHAH...

...KEMAKRUFAN MEREKA JUNJUNG TINGGI DAN PENJAGAAN RITME KOMUNIKASI MENJADI MENU SETIAP HARI...

Tiba-tiba Nova semakin mendekap Suga. Merebahkan badan dan kepalanya di dada Suga. Pertama-tama volume yang terdengar cukup kecil, tapi lama-kelamaan semakin membesar. Semula hanya isak tangis saja, berubah pilu menjadi tangisan. Baju sholat yang belum sempat diganti oleh Suga terbasahi oleh air mata kekasih hatinya. Nova menangis cukup deras, namun dia malu menampakan wajah tangisnya ke hadapan Suga. Jadilah wajah tersebut selalu menutup di dada Suga. Suga bertanya-tanya dan ikutan sedih. Suga mengerti pasti ada sesuatu.
“Yang.. kok jadi nangis..?” Suga kembali bertanya, sedang Nova masih “asyik” dengan tangisannya.

Suga berinisiatif meraih jemari Nova. Jemari dan telapak tangan tersebut terasa basah oleh keringat. Perlahan Suga menggenggamnya, genggaman tersebut dibalas oleh Nova. Saat itulah Nova merasa sedikit kuat. Terasa deras runtuhan salju hatinya, kini sedikit tertopangi oleh sandaran hatinya, sang suami tercinta.

Setelah memiliki sedikit kekuatan, Nova bermaksud menyampaikan uneg-uneg batin pada pangeran hatinya.

“Suamiku.. tadi sore diriku mengikuti pengajian khusus karyawati muslimah dikantor.. tanpa sengaja usai dari pengajian tersebut diriku mendengar bawahanku sedang berdiskusi, penasaran lalu kudekati mereka. Sebelum sampai untuk menyapa kuhentikan langkah kakiku, tahukah suamiku apa yang membuat langkah kakiku terhenti? Ternyata mereka sedang membicarakan kita suamiku.. tak ingin mengusik mereka dengan kehadiranku dan membuat mereka menghentikan pembicaraan tersebut, lantas dari balik dinding ku coba mendengar diam-diam. Rupanya dirimu wahai suamiku, lelaki yang sangat kuhormati dan kukagumi sedang menjadi bahan olokan mereka. Tak sadarkah mereka bahwa sekarang bulan ramadhan, dan sungguh keterlaluan perilaku mereka yang tetap meng-ghibah, dan yang menjadi bahan ghibah mereka adalah atasannya sendiri. Sungguh diriku sangat malu, harga diriku sebagai seorang atasan seolah hilang”

Suga hanya menyimpul senyum. Batinnya bergumam bahwa ini hanya merupakan varian lain dari tantangan dakwah yang harus dia jalani. Fitnah, fitnah dan fitnah menjadi “teman akrabnya”. Dia mungkin saja kuat menerima paradigma negatif masyarakat sekitar atas dirinya, tapi untuk istrinya dia khawatir Nova tak kuat. Semakin dia menambah yakin akan firman Allah SWT, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Q.S Al-Anfal : 28)

“Apa yang mereka bicarakan?” Suga coba mengklarifikasi.

“Mereka katakan bahwa kegiatanmu untuk berdakwah merupakan sensasi belaka. Bagaimana mungkin seorang rocker mampu menjalani aktivitas lain sebagai seorang dai. Disatu sisi sebagai seorang dai berusaha untuk mengingatkan manusia kepada Allah SWT, sementara disisi lain berprofesi sebagai rocker sudah pasti membuat pelakunya lalai dari mengingat Allah SWT, yang diingatnya tentu saja cuma musik. Mereka menyamakan dirimu dengan artis-artis lainnya yang hanya menjadikan musik religi sebagai komoditas belaka. Mungkin masih relevan seandainya saja musik yang diusung bergenre nasyid”

Suga sempat tertawa kecil mendengar penjelasan terakhir istrinya mengenai nasyid. Dia mempersilahkan Nova untuk menyelesaikan seluruh uneg-unegnya.

“Melihat keseharianmu wahai suamiku, mereka prihatin, penampilanmu yang sering hanya mengenakan celana jeans dan t-shirt sungguh-sungguh tidak mencerminkan akhlak seorang dai, ditambah lagi dengan musik kegemaranmu yakni musik rock, mereka mengklaim bahwa dirimu pastilah orang yang kasar dan berhati keras bagaikan batu”

Suga meng-anggukkan kepalanya. Genggaman tangannya tidak dia lepaskan dari jemari Nova. Suga ingin bidadarinya tetap tenang, sebab Suga paham Nova saat ini tengah rapuh.

“Lalu apa yang membuatmu begitu sedih hingga menangis seperti tadi istriku?”

“Yang membuat diriku sangat bersedih tak lain, karena ku tak mampu membela dirimu dihadapan mereka, ku hanya mampu berdiam diri saja. Peran sebagai seorang istri untuk menjaga nama baik suami dan menutupi aibnya, telah gagal ku laksanakan. Bukankah Allah SWT berfirman : mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (Q.S Al-Baqarah : 187). Emosi telah meliputi diri, sehingga ku khawatir akan berkata yang bukan-bukan”

“Apakah dirimu setuju dengan pandangan mereka terhadapku?”

“Tentu saja tidak! Jika apa yang dilakukan olehmu salah selama ini, pastilah diriku akan memberitahukannya kepadamu. Kumerasa nyaman hidup denganmu. Dirimu adalah pakaianku wahai suamiku. Untuk itu sebelum menerima lamaranmu dahulu, pertanyaan-pertanyaan qalbu selalu kuhadirkan sebelumnya antara lain, pantas atau cocokkah dirimu menjadi pakaianku, cukupkah ukurannya dengan ukuran jiwaku, sesuaikah dengan seleraku.. dan ternyata match. Sekalipun begitu ku masih merasa kekurangan ilmu untuk membelamu dihadapan orang-orang yang berpandangan minor terhadapmu”
Selagi tangan kirinya menggenggam jemari Nova, tangan kanan Suga secara lembut membelai rambut Nova. Derai rambut yang selalu membuat orang sekitar penasaran bagaimanakah bentuknya. Sebab hanya Suga yang diberi akses oleh Nova untuk melihat dan membelainya, selain mahramnya tak ada satupun yang tahu, oleh karena Nova selalu menutup rapi dengan jilbabnya. Untaian kecupan kasih sayang mendarat manis dikening Nova. Malaikat-pun mengucapkan “subhanallah”, seolah iri kala melihat sepasang bibir yang senantiasa dibasahi oleh asma Allah berpadu rasa dengan kening yang selalu sujud menyembah pada-Nya.

...SEBAB HANYA SUGA YANG DIBERI AKSES OLEH NOVA UNTUK MELIHAT DAN MEMBELAINYA...

...MALAIKAT-PUN MENGUCAPKAN “SUBHANALLAH”, SEOLAH IRI KALA MELIHAT SEPASANG BIBIR YANG SENANTIASA DIBASAHI OLEH ASMA ALLAH BERPADU RASA DENGAN KENING YANG SELALU SUJUD MENYEMBAH PADA-NYA...

“Bismillah.. Untuk pertanyaan mereka yang mengklaim bahwa sebagai seorang rocker otomatis membuatku lalai dari mengingat Allah SWT, akan kujelaskan begini, jika kita sedang berbicara masalah mengingat Allah, tentunya kita sedang berbicara mengenai dzikirullah, dan apabila kita berbicara mengenai dzikirullah, sungguh bijak kiranya untuk kita memahami makna dzikirullah secara harfiah terlebih dahulu. Oleh para ulama dzikirullah berarti menghadirkan Allah SWT didalam benak kita, baik dengan atau tanpa pengucapan. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa apapun yang kita lakukan, selama suatu perbuatan tidak dilarang oleh syariat, dan atas perbuatan tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk beribadah atau bertaqarrub kepada Allah SWT dan selalu digenangi benak kita akan perasaan diawasi oleh Allah SWT, maka saat itu ketahuilah.. bahwa kita sedang melakukan dzikirullah. Diriku memahami ada sebagian orang awam yang menganggap bahwa pengertian dzikirullah adalah pengucapan asma-Nya melalui lisan secara berulang-ulang dan mengingat-Nya didalam pikiran. Hal tersebut tidak salah, namun tak sepenuhnya benar. Mengingat Allah melalui lisan hanya salah satu media untuk mengingat Allah, dan lazim disebut wirid”

“Jika begitu, bisa dikatakan dzikirullah memiliki berbagai cara?”

“Betul sekali. Contoh lain daripada media dzikirullah seperti sholat, mendengarkan al-qur’an dan lainnya. Sekarang kepadamu aku bertanya wahai istriku, jika diriku menjalani profesi rocker dengan niat untuk memenuhi kewajibanku dalam mencari ma’isyah, lalu tidaklah ku langkahkan kaki ini untuk tampil ditempat maksiat, saat tampil selalu kujaga pandanganku karena merasa Allah selalu mengawasiku dan 1,5 jam sehari kuhabiskan waktu untuk berlatih gitar dan mendengarkan kompleksitas dari nada-nada musik rock guna menghidupkan sel-sel otak kananku agar membuatku mampu meningkatkan intuisi dalam berpikir, memudahkanku menghafal ayat-ayat suci al-qur’an dan ilmu-ilmu bermanfaat lainnya serta membantu akalku menemukan solusi atas permasalahan umat, dan terlepas dari itu semua ternyata aku-pun tetap menjalani aktivitas sebagai seorang dai yang berdakwah dari satu masjid ke masjid lainnya dan dari satu halaqah ke halaqah lainnya. Apakah masih pantas diriku ini disebut sebagai orang yang lalai dari mengingat Allah? Innamal a’malu binniat..”

“Lalu dengan lirik lagunya itu lho? Mungkin saja mereka benar, mengapa tidak seperti lirik lagu nasyid yang selalu mengajak manusia untuk mengingat Allah?”

“Hee.. kamu lucu banget istriku.. jadi gemes..” Suga merasa ada yang menggelitik hatinya atas apa yang baru saja diucapkan Nova, karena tak mampu menahan rasa gemasnya, Suga jepitkan tangannya ke pipi Nova yang lumayan chubby. Nova menampakan ekspresi bingung sekaligus manja.

“Kamu lucu deh istriku.. Diriku paham bahwa dirimu memang sama sekali tidak menyukai musik rock dan doyan banget dengerin musik mellow seperti nasyid, tapi anehnya yang kamu nikahi kok justru seorang rocker ya hee.. kenapa sayang, terlalu tampankah diriku ini hingga kamu gak bisa berpikiran jernih lagi?” Suga coba menggoda Nova.

“Idih maunya..” Tangkis Nova. “Dulu tuh kenapa diriku mau karena kasian, abis nih orang kok kerjanya nyanyi teriak-teriak, ihh gak romantis amat nih orang, mana ada cewek yang mau, dan daripada gak laku, sini deh nikah sama diriku aja, itung-itung amal nolongin orang yang gak laku, gak tega abisnya hihi..”

“Hmm.. beneran nih.. dulu nikah niatnya gitu, bulan ramadhan lho ini, kali-kali aja yang barusan diomongin diijabah ama Allah”

tentu saja tidak suamiku, aku mau dinikahi olehmu karena sesuatu istimewa yang ada dihatimu, sesungguhnya Allah tidak melihat rupamu, luarmu atau penampilanmu tetapi Dia melihat pada hatimu, begitu kata Rasulullah

“Ih ada yang ngambek ya?” berbalik kini Nova yang menggoda Suga. “Tentu tidak dong sayang, masa’ sih niatnya begitu. Na’udzubillahimindzalik. Diriku ini mau menikah denganmu karena kutahu suamiku, engkaulah yang terbaik bagiku, dan maafkanlah istrimu ini yang dengan segala kedhaifan-nya belum mampu menjadi yang terbaik bagimu hingga saat ini” Suga tersentuh.

“Walaupun dengan ketawadhuanmu engkau mengatakan belum mampu menjadi yang terbaik bagiku wahai istriku, namun ketahuilah...” Suga meraih tangan Nova dan meletakkannya di dada Suga, lalu berkata, “insya Allah engkau kan selalu memiliki tempat yang istimewa di kerajaan hatiku”

Nova merasa terharu dan tersanjung. Wanita tersebut meneteskan air matanya.

“Aduh ada yang nangis lagi, ntar dulu dong sayang, kan diskusinya belum selesai nih.. gak malu tuh di liatin ama malaikat”

“Biarin aja.. ntar kalo Allah mengizinkan diriku untuk bertemu dengan-Nya di surga kelak, kan ku adukan kepada Allah tentang dirimu”

“Apa yang ingin engkau adukan wahai istriku?”

“Kan kukatakan kepada Allah, ya Allah lihatlah hamba lelaki-Mu ini, yang selalu membuat istrinya menangis karena ke-GR-an, untuk itu ya Allah hukumlah dia dengan tidak mengizinkannya keluar dari surgaku, agar aku bisa bersamanya dan memeluknya selama yang aku inginkan”

subhanallah Suga membatin.

“Aduh yang, kok sekarang jadi diriku yang GR ya?”

“Tuh kan.. rasain.. gantian GR nya..” Nova bercanda manja sembari mengekspresikan wajahnya cemberut laksana bayi yang berpura-pura menangis agar diberi perhatian, pelukan, dan ungkapan kasih sayang.

…YA ALLAH LIHATLAH HAMBA LELAKI-MU INI, YANG SELALU MEMBUAT ISTRINYA MENANGIS KARENA KE-GR-AN, UNTUK ITU YA ALLAH HUKUMLAH DIA DENGAN TIDAK MENGIZINKANNYA KELUAR DARI SURGAKU, AGAR AKU BISA BERSAMANYA DAN MEMELUKNYA SELAMA YANG AKU INGINKAN…
“Oke deh, kita lanjutin ya perihal nasyid tadi?” Tanya Suga, dan Nova mengiyakan.

“Rasulullah pernah bersabda, Bait syair paling bagus yang pernah diucapkan oleh orang-orang Arab adalah bait syair Labid, apa yang dimaksud dengan labid? yakni segala sesuatu selain Allah adalah batil, dengan kata lain sebaik-baiknya syair adalah yang tidak bertentangan dengan akidah. Untuk itu istriku, sebagai seorang penulis lagu, diriku memegang teguh aturan tersebut. Coba lihat lagu-lagu yang pernah kutulis, adakah yang bertentangan dengan akidah? Hee.. dirimu tidak akan mampu menjawabnya karena seperti kukatakan tadi, bahwa dirimu tidak menyukai musik rock sehingga keinginan untuk mendengarnya pun tidak ada, apalagi memperhatikan lirik lagunya secara seksama. Lirik lagu yang kubuat selalu mengandung pesan kebaikan Cuma kemasannya aja yang rock. Sekarang patut disepakati oleh kita semua, apakah yang dimaksud dengan musik nasyid? Apakah lagu yang berisi lirik yang mengajak kepada kebaikan atau musik dengan nuansa islami?”

…SEKARANG PATUT DISEPAKATI OLEH KITA SEMUA, APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN MUSIK NASYID? APAKAH LAGU YANG BERISI LIRIK YANG MENGAJAK KEPADA KEBAIKAN ATAU MUSIK DENGAN NUANSA ISLAMI?...

Nova menjadi antusias, penjelasan seperti ini belum pernah dia dengar sebelumnya.

“Jika dikatakan bahwa nasyid merupakan jenis lagu yang liriknya mengajak pada kebaikan, maka lagu-laguku sudah bisa diberi predikat sebagai nasyid, sebab liriknya mengajak pada kebaikan, hanya saja kemasannya yang rock, dan jika nasyid diartikan sebagai musik bernuansa islami, acuannya apa? Apakah musik non-distorsi? Atau wajib pake gambus dan rebana? Jika memang demikian mana dalil yang membenarkannya? Bukankah ushul fiqh berkaitan dengan masalah mu’amallah ialah pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dan halal bagi bani adam kecuali yang dilarang, pertanyaan berikutnya adalah.. adakah larangan untuk bermain musik rock, melalui dalil yang qath’i?”

Suasana semakin larut, tak terasa Nova telah lupa dengan kesedihan yang menimpanya beberapa waktu yang lalu.

“Dan yang terakhir nih istriku, perihal penampilanku yang sering hanya mengenakan jeans dan t-shirt. Itu merupakan salah satu strategiku untuk berdakwah” Nova ber-husnu dzan, dia yakin suaminya tidak asal bunyi.
“Jika mereka mempertanyakan kepadamu mengenai penampilanku, jawab saja bahwa dakwahku terinspirasi dari proses nuzul qur’an”

“Dimana korelasinya?”

“Coba tebak, kira-kira waktu Allah menurunkan al-qur’an kepada Jibril, Allah menggunakan bahasanya siapa?”

“Gak tau.. emang ada riwayatnya gitu?”

“Masya Allah sayang, kita berandai-andai saja”

“Oh okey.. Hm pake bahasanya siapa ya?” Nova masih memikirkannya.

“Tentu saja pake bahasanya Jibril dong. Gak mungkinkan Allah menyampaikannya dengan menggunakan bahasa Allah, ya gak bakalan ngerti Jibril. Begitu juga saat Jibril menyampaikan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan bahasa Nabi yaitu bahasa arab. Dari peristiwa tersebut diriku terinspirasi untuk berdakwah dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh objek dakwah. Bukankah objek dakwahku ialah anak muda yang awam? Agar mereka bisa mengerti dengan apa yang kusampaikan, untuk itulah diriku menggunakan celana jeans dan t-shirt, karena penampilan sendiri merupakan salah satu media untuk berkomunikasi. Tidak harus fil-lisan selalu. Dari penampilanku, kuingin mengkomunikasikan kepada mereka bahwa wahai kalian ketahuilah bahwa akupun sama seperti kalian, masih muda, gaul dan juga mengikuti perkembangan zaman, mau bukti lihatlah penampilanku, samakan dengan kalian? Tapi sekalipun begitu, ternyata hal tersebut tak menghalangiku untuk menjadi pemuda yang berusaha mendekati diri kepada Allah SWT, lalu mengapa kalian tidak? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menyentil mereka untuk berpikir dan berubah ke arah yang lebih baik. Bukankah manusia akan lebih gampang berubah jika dia merasa orang yang menasehati mereka adalah bagian daripada mereka? Nalar mereka akan kritis untuk bertanya, dia aja bisa kenapa aku tidak? Beda kalo diriku berpakaian layaknya ustadz kebanyakan, nalar mereka akan berkata, ya iyalah dia sih gampang aja berubah, kan dia ustadz. Diriku ingin mendakwahi mereka dengan menempatkan diri sebagai seorang teman bukan ustadz, dan apakah kelak pantas untuk menyandang gelar ustadz, kyai, atau syeikh sekalipun, biarlah Allah yang memutuskannya. Sampaikan dakwah kepada suatu kaum dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka, begitu kata Rasulullah”

…KARENA PENAMPILAN SENDIRI MERUPAKAN SALAH SATU MEDIA UNTUK BERKOMUNIKASI. TIDAK HARUS FIL-LISAN SELALU…

…BUKANKAH MANUSIA AKAN LEBIH GAMPANG BERUBAH JIKA DIA MERASA ORANG YANG MENASEHATI MEREKA ADALAH BAGIAN DARIPADA MEREKA?...

Nova tersenyum. Dia merasa puas dengan jawaban suaminya. Merasa untuk waktu yang akan datang dia lebih siap menghadapi dunia. Ber’azzam untuk menjadi seorang mujahidah dengan cara menyiapkan perbekalan fisik maupun batin bagi mujahid yang dicintainya yaitu Suga Keanberhm. Menegakan kepala karena yakin bisa membela kehormatan dan nama baik suami, semakin memantapkan diri bahwa pilihannya untuk menjadikan Suga sebagai imam sekaligus teman dalam suka dan duka dirasa tepat. Innalhamdalillah. Ikhtiarnya sempurna sedang istikharahnya barokah.

suamiku…imamku…ustadzku…mu
jahidku…sahabatku

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah : 228)

Note: Hah.. Indahnya pacaran setelah menikah..

Cerpen : Poligamer


Cerpen : Poligamer
Oleh : Erjie Al-Batamiy

Kicauan beraneka spesies burung bersiulan meriuhkan suasana rumah Baim. Rumah tersebut dibuat semi tradisional. Ada hiasan wayang, kursi jati, tembikar dan lainnya. Baim sedang khusyuk belajar. Mengkaji dan mengulas mengenai syarah / penjelasan tentang materi pengajian yang baru saja didapatnnya kemaren sore. Materi tersebut berjudul “Adab-adab berpoligami”. Terdapat bab-bab tersendiri dari kumpulan materi tersebut diantaranya, Kewajiban Memberi Giliran Di Antara Isteri-isteri, Bagian Untuk Isteri Baru, Mengundi Di Antara Isteri-isteri Untuk Dibawa Safar, Tata Cara Isteri Menghibahkan Gilirannya, Kiat Mendapatkan Izin Untuk Melanggar Gilirannya.

Baim sudah bulat dengan tekadnya untuk berpoligami kelak. Kesediaan untuk di poligami merupakan syarat wajib yang harus diterima oleh calon isterinya. Jika calon isterinya tidak bersedia maka Baim akan mencari calon lainnya. Bagi Baim poligami merupakan hak mutlak suami, dengan atau tanpa persetujuan isteri poligami yang akan dilakukannya tetap sah.

Tak lama lagi Baim akan menikahi seorang akhwat yang kebetulan ibunda dari si akhwat merupakan teman dari ibunda Baim. Ada dilema yang muncul pada jiwa Baim, disatu sisi dia sangat ingin menikahi akhwat bersangkutan karena kecantikan ahklak dan fisiknya, namun disisi lain Baim tahu bahwa saat ini akhwat tersebut sedang mengidap penyakit paru-paru kronis, yang membuat akhwat tersebut harus rutin memeriksakan perkembangan kesehatannya. Baim tak sampai hati untuk menyampaikan perihal keinginannya berpoligami pada si akhwat, khawatir si akhwat bakalan menolak sehingga pernikahan mereka gagal, atau bisa jadi si akhwat makin bertambah sakit. Untuk itu Baim sengaja mengurungkan niatnya untuk menyampaikan, setidaknya hingga mereka menikah dan si akhwat telah sembuh. Muncul juga dalam pemikiran Baim bahwa, seandainya saja setelah mereka menikah si akhwat belum juga menampakkan gejala kesembuhan yang signifikan, maka hal tersebut akan dijadikan alasan bagi Baim untuk berpoligami. Dia akan mengatakan didepan pegawai Kantor Urusan Agama dimana dia berdomisili, bahwa alasan baginya untuk berpoligami disebabkan isterinya tidak mampu memenuhi kewajiban layaknya seorang isteri pada umumnya.

“Assalamu’alaikum…” Terdengar sapaan di depan rumah Baim.

“Wa ‘alaikum salam…” Jawab Baim.

Bergegas Baim menghampirinya, ternyata sahabatnya yakni Andi yang datang. Kedatangan Andi adalah untuk menjaga tali silahturahim diantara dia dengan sahabatnya. Suasana keakraban memenuhi pertemuan mereka. Baim mempersilahkan masuk dan menghidangkan minuman dan juga makanan ringan. Sumringah Andi, sambil menanyakan apakah Baim telah memiliki agenda pada malam hari ini.

“Im, kamu sudah punya acara belum ntar malam?”

“Sepertinya belum, insya Allah kosong, ada apa ndi?”

“Ini nih, aku tadi baru saja jalan-jalan ke mall, eh ngeliat di studio XXI lagi ada penayangan Mega Film “Ketika Cinta Bertasbih” nonton yuk, kebetulan tiketnya udah kubeliin buat kita”

“Ogah ah, gak mau”

“Lho kenapa?” Andi keheranan. Baim menghela napas, sejenak tenang.

“Kurang sreg aja buat menontonnya”

“Kurang sreg kenapa?” Kembali keheranan menerpa Andi.

“Sejujurnya aku tidak terlalu tahu mengenai fakta yang sesungguhnya, namun dalam sebuah iklan film yang banyak disiarkan dalam berbagai media, mengenai film “Ketika Cinta Bertasbih”, konon katanya film ini menjelaskan dalil-dalil yang sangat jelas menentang poligami. Pantas saja jika film ini digandrungi oleh banyak kaum hawa bahkan banyak para tokoh yang katanya ulama juga menyambut baik film tersebut”

Andi hanya menyimak, dia belum terlalu yakin dengan apa yang ada dipikirannya mengenai pembicaraan Baim.

“Memang aku belum menonton langsung film tersebut, akan tetapi dari iklan yang ditayangkan di telivisi, ada satu kalimat dalam film tersebut yang aku anggap penting dan menarik untuk diungkap kebenarannya, kalimat tersebut diucapkan oleh salah seorang gadis yang berkata, aku ingin seperti Fatimah, yang tak mau dimadu oleh sayyidina Ali”

“Okey, kayaknya aku mulai mengerti arah pembicaraanmu, tapi silahkan lanjutkan dulu im”

“Hal ini menjadi menarik karena ungkapan ini digunakan untuk menolak poligami”

“Kamu yakin ungkapan diatas bisa ditafsirkan sebagai penolakan akan poligami?”

“Ya aku yakin sekali”

“Kamu sudah baca novelnya belum? Sudah membaca keseluruhan dialog mengenai poligami yang kamu utara kan tadi?”

“Belum sih, emangnya ada apa dari keseluruhan dialognya?”

“Hee.. im..im kok buru-buru amat memvonisnya. Pada penutup dari dialog tersebut, sang penulis novel memberikan ilustrasi sederhana, bahwa keinginan seorang Fatimah atau wanita manapun untuk menolak dipoligami bukan karena mereka beranggapan bahwa poligami itu haram, tetapi penolakan mereka disebabkan ketidak suka-an mereka untuk di poligami. Apakah jika seseorang tidak suka makan jengkol, petay atau yang lainnya bisa diartikan bahwa menurut mereka makanan-makanan tersebut haram? Apakah ketidak suka-an Rasullah pada acar di kuku memiliki aspek syariat dan menyebabkan pemakaian acar pada kuku menjadi haram? Im… ketahuilah bahwa ketidak suka-an Rasulullah tersebut karena kapasitas beliau sebagai manusia bukan nabi, sehingga itu hanya masalah selera, bukan masalah benar salah. Bisa disimpulkan bahwa dialog poligami yang terdapat pada novel Ketika Cinta Bertasbih bukan bentuk penolakan atau pengharaman atas praktek poligami. Untuk itu jangan terlalu terburu-buru memvonis sahabatku, ingatlah sabda Rasulullah : Sesungguhnya ketergesa-gesa-an itu datangnya dari setan, sementara kehati-hatian itu datangnya dari Allah”

…KETAHUILAH BAHWA KETIDAK SUKA-AN RASULULLAH TERSEBUT KARENA KAPASITAS BELIAU SEBAGAI MANUSIA BUKAN NABI, SEHINGGA ITU HANYA MASALAH SELERA, BUKAN MASALAH BENAR SALAH…

“Tapi ndi, ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Sebenarnya berpoligami telah jelas bagi kita hukumnya adalah boleh. Allah berfirman : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS. Al-Nisa’: 3) dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Pilihlah 4 orang dan ceraikan yang lainnya”

Kembali Andi terlebih dahulu menyimak.

“Pada hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menegaskan, Apa saja yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa saja yang diharamkan-Nya maka hukumnya haram, dan apa saja yang didiamkan-Nya maka hal itu dimaafkan, maka terimalah apa saja dari Allah yang dimaafkan-Nya, karena sesungguhnya Allah tidak melupakan sesuatu pun, kemudian beliau SAW membaca, dan tidaklah Tuhanmu lupa (QS. Maryam: 64).” Terang Baim, kemudian melanjutkan,

“Demikianlah beberapa dalil qathi’ yang menetapkan hukum seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari satu istri hingga empat orang, namun anehnya, masih saja ada orang-orang yang ragu bahkan membuat keragu-raguan tentang hukum yang telah jelas ini. Berbagai macam cara dilakukan guna mengaburkan hukum poligami, dengan menyimpangkan makna ayat, menafsirkannya dengan ro’yu (akal semata) Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu (QS. At-Tahrim: 1)” Tak puas dengan uneg-uneg dalil yang baru disampaikannya Baim-pun menambahkan,

“Berkaitan dengan pendapat sebagian orang yang mengklaim bahwa Fatimah menolak untuk di poligami, sebaiknya pendapat tersebut perlu diluruskan. Benarkah Fatimah Menolak Poligami? Suatu saat Ali bin Abi Thalib memiliki niat untuk menikah lagi. Mendengar niat Ali radhiyallahu ‘anhu tersebut, Fatimah pun menolak, Rasulullah juga menentang keras keinginan Ali bin Abi Thalib untuk menikah lagi. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru dan beliau bersabda Keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan ia mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga, akan tetapi, yang menceritakan kejadian ini tidak hanya satu, sehingga mengambil kesimpulan menentang poligami hanya bermodalkan hadits tersebut sangatlah picik dan jauh dari sikap ilmiah, jika tidak ingin dikatakan jahil/bodoh, karena masih ada hadits lain yang menjadi penjelas atas hadits tersebut, kenapa Rasulullah bisa sangat emosi ketika anaknya hendak dimadu”

“Terangkan padaku” Sahut Andi.

“Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, kemudian Fatimah mendengar tentang hal tersebut dan dia datang kepada Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam dan berkata, kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu, dan ini Ali ingin menikahi anak perempuan Abu Jahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri, ketika mengucapkan tasyahhud Beliau berkata, Amma Ba’d, Aku telah menikahkan Abu Ash ibn Rabi’ kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku, dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki kemudian Ali meninggalkan pinangannya, dari hadits ini nampak jelas sebuah kebenaran bahwa alasan Fatimah menolak dipoligami adalah karena ia tidak ingin dikumpulkan dengan putri Abu Jahal musuh Allah. Jelaslah keputusan Fatimah dan Rasulullah ini bukanlah sebuah penolakan akan poligami, melainkan penolakan terhadap Abu Jahal yang notabene memusuhi Rasulullah dan Dakwah Islamiyah kala itu”

“Ada hadits lainnya?” Tanya Andi.

“Ada. Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda, dan sesungguhnya aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan, dan juga tidak mengharamkan apa yang telah dihalalkan, akan tetapi, Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri musuh Allah dalam satu tempat selama-lamanya. Dalam hadits ini, semakin tegas pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengatakan : Aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan. Tentunya hal ini menjadi senjata pamungkas untuk membungkam mulut orang-orang yang menggunakan hadits penolakan Fatimah tersebut untuk menolak hukum poligami yang telah ditetapkan dengan jelas hukum kebolehannya oleh Allah Dzat yang Maha Kuasa”
Andi melihat gelagat emosi pada jiwa Baim, dan ingin menyampaikan pendapat yang berseberangan dengan pendapat Baim.

“Baim sahabatku, pertama-tama aku ingin sampaikan kepada kamu bahwa aku yang sedang berbicara denganmu kini bukanlah seorang pro poligami atau kontra poligami. Aku tidak ingin menempatkan diriku pada salah satu posisi tersebut, dan aku merasa sangat senang dan bersyukur jika Allah menempatkanku sebagai seorang pro syariah, sebab itu adalah posisi ideal bagi seorang mukmin sejati. Mengapa kukatakan hal yang demikian, karena sebentar lagi aku akan menyampaikan pendapatku tentang poligami yang mungkin agak bersebarangan dengan pendapatmu, dan atas pendapatku tersebut aku tidak ingin kamu mengecapku sebagai seorang yang menentang poligami. Sebelumnya aku ingin bertanya padamu, bolehkah kamu melakukan poligami tanpa persetujuan istrimu?”

…AKU MERASA SANGAT SENANG DAN BERSYUKUR JIKA ALLAH MENEMPATKANKU SEBAGAI SEORANG PRO SYARIAH, SEBAB ITU ADALAH POSISI IDEAL BAGI SEORANG MUKMIN SEJATI…

“Tentu saja boleh, sebab poligami adalah hal yang tidak diharamkan oleh Allah, sehingga berimplikasi secara fikih menjadi mubah hukumnya”

“Apakah sah poligamimu apabila tidak memperoleh persetujuan istrimu?”

“Selama rukun nikah dan syarat sah nikah kupenuhi, maka poligami insya Allah sah”

“Baiklah, sejujurnya saat kamu mengatakan bahwa bolehnya berpoligami tanpa persetujuan istri, aku setuju dengan pendapatmu bahwa hal tersebut boleh, lalu sahkah pernikahan tersebut, aku kembali setuju dengan pendapatmu, bahwa selama rukun nikah dan syarat sahnya dipenuhi maka hal tersebut sah, tapi ada hal penting yang terlewatkan, tahukah kamu apa itu?”

Baim diam tanda tak tahu.

“Seluruh ulama, bahkan mungkin seluruh muslim di dunia insya Allah sepakat dengan pendapatmu, yang membolehkan poligami, tapi tahukah kamu sebenarnya saat kita membahas tentang poligami, sesungguhnya kita tidak sedang berbicara dalam tataran boleh apa tidak, tetapi kita sedang berbicara dalam tataran perlu atau tidak. Ingatlah itu sahabatku.”
Tersentak menjadi rona kecil di jiwa Baim, dia mulai terpengaruh akan pandangan Andi.

“Kamu sedari tadi beragumen seolah-olah kebanyakan muslim di dunia ini menentang dan mengecap poligami itu haram, padahal tidak. Bukan itu permasalahannya, telah menjadi ijma’ bahwa poligami itu mubah dan sah-sah saja untuk dilakukan, tapi apakah seorang suami perlu atau tidak berpoligami, maka itu akan menjadi masalah yang berbeda. Sebab tidak tepat jika poligami dikatakan sebagai sunah melainkan solusi”

…KAMU SEDARI TADI BERAGUMEN SEOLAH-OLAH KEBANYAKAN MUSLIM DI DUNIA INI MENENTANG DAN MENGECAP POLIGAMI ITU HARAM, PADAHAL TIDAK…

…SEBAB TIDAK TEPAT JIKA POLIGAMI DIKATAKAN SEBAGAI SUNAH MELAINKAN SOLUSI…

“Solusi?” Baim mengerutkan dahinya.

“Iya. Kenapa disebut solusi, karena antara sunah dan solusi memiliki implikasi yang berbeda. Perbedaannya antara lain, jika poligami dikatakan sunah maka konsekuensinya orang yang melakukan poligami akan mendapatkan pahala dan orang yang monogami tidak, lalu pelaku poligami akan memiliki keutamaan dibandingkan pelaku monogami, dan terakhir pelaku poligami akan digolongkan sebagai umat Muhammad sedang pelaku monogami tidak termasuk. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah dan barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka bukan golonganku logiskah secara syar’i hal tersebut?”

…JIKA POLIGAMI DIKATAKAN SUNAH MAKA KONSEKUENSINYA ORANG YANG MELAKUKAN POLIGAMI AKAN MENDAPATKAN PAHALA DAN ORANG YANG MONOGAMI TIDAK, LALU PELAKU POLIGAMI AKAN MEMILIKI KEUTAMAAN DIBANDINGKAN PELAKU MONOGAMI, DAN TERAKHIR PELAKU POLIGAMI AKAN DIGOLONGKAN SEBAGAI UMAT MUHAMMAD SEDANG PELAKU MONOGAMI TIDAK TERMASUK…

Baim enggan menjawab, karena hati kecil dan nalarnya akan berfatwa bahwa hal tersebut tidak logis.

“Beda jika poligami dikatakan sebagai sebuah solusi. Jika poligami dikatakan sebagai sebuah solusi konsekuensinya poligami hanya bisa dilakukan jika terjadi suatu masalah dan tidaklah permasalahan tersebut bisa selesai kecuali poligami sebagai solusi atau jalan keluarnya, tidak ada alternatif solusi lainnya. Apa contoh masalahnya, misalnya istri tidak mampu memberikan keturunan atau mandul, istri mengalami penyakit menahun yang menyebabkan dia secara mutlak tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, atau dengan niat tulus dan benar-benar karena Allah berpoligami untuk kepentingan dakwah islamiyah, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertanyaannya, sudahkah kita mampu untuk memastikan hati kita bahwa niat tersebut betul-betul karena Allah? Jika tidak mampu atau ragu untuk memastikan sebaiknya jangan berpoligami. Dari contoh yang telah kusebutkan, teranglah bahwa bolehnya poligami bersifat kasuistis atau kondisional, sebab poligami adalah solusi, untuk itu dibutuhkan suatu kondisi tertentu yang harus dipenuhi sebelum melakukan poligami, yakni alasan yang kusebutkan tadi. Itulah pandangan bijak dari segi fiqih dan nyata bahwa aku tidak mengharamkannya sama sekali”

…JIKA POLIGAMI DIKATAKAN SEBAGAI SEBUAH SOLUSI KONSEKUENSINYA POLIGAMI HANYA BISA DILAKUKAN JIKA TERJADI SUATU MASALAH DAN TIDAKLAH PERMASALAHAN TERSEBUT BISA SELESAI KECUALI POLIGAMI SEBAGAI SOLUSI ATAU JALAN KELUARNYA, TIDAK ADA ALTERNATIF SOLUSI LAINNYA…

…SUDAHKAH KITA MAMPU UNTUK MEMASTIKAN HATI KITA BAHWA NIAT TERSEBUT BETUL-BETUL KARENA ALLAH? JIKA TIDAK MAMPU ATAU RAGU UNTUK MEMASTIKAN SEBAIKNYA JANGAN BERPOLIGAMI…

Terasa sedikit pudar warna terang dari lukisan niat yang ada di kanvas hati milik Baim. Baim mulai mempertimbangkan doktrin yang diterimanya selama ini tentang poligami.

“Tentang bolehnya poligami tanpa persetujuan isteri, ketahuilah im, bahwa dalam melakukan ibadah kepada Allah memiliki beberapa tahapan, yang pertama sah lalu kedua diterima. Mungkin niat kamu untuk berpoligami adalah beribadah kepada Allah, sehingga saat kamu berpoligami tanpa persetujuan isteri atau bahkan tanpa adanya kondisi tertentu yang menyebabkan poligami menjadi sebuah solusi, mungkin saja poligamimu sah, tapi masih satu hal yang perlu dipertanyakan yaitu, apakah ibadah poligami yang kamu lakukan itu bernilai di mata Allah sehingga diterima oleh-Nya?”

…BAHWA DALAM MELAKUKAN IBADAH KEPADA ALLAH MEMILIKI BEBERAPA TAHAPAN, YANG PERTAMA SAH LALU KEDUA DITERIMA…

…MUNGKIN SAJA POLIGAMIMU SAH, TAPI MASIH SATU HAL YANG PERLU DIPERTANYAKAN YAITU, APAKAH IBADAH POLIGAMI YANG KAMU LAKUKAN ITU BERNILAI DI MATA ALLAH SEHINGGA DITERIMA OLEH-NYA?...

Sentakan bagai kejutan listrik baru saja menyengat Baim.

“Analogikan saja sholat, katakanlah rukun & syarat sah sholat telah kita penuhi seperti wudhu, sifat sholat dan menutup aurat, tapi aurat yang tertutup bagi kita kaum pria hanya dari pusar hingga lutut, katakan saja kita sholat hanya mengenakan singlet dan celana pendek yang menutupi lutut, mungkin sholat kita sah, kewajiban kita gugur, tapi apakah akan diterima oleh Allah dan diganjar pahala sholat kita tersebut? Sangat meragukan”

Makin terasa jungkir balik logika Baim, perlahan dia mulai bisa menerima pandangan Andi.

“Kita bisa memasuki surga Allah tak lain semata-mata karena kemurahan Allah SWT. Begitulah yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, tapi tahukah kamu im, bahwa salah satu faktor yang menjadi pertimbangan Allah dalam melimpahkan kemurahan-Nya kepada kita ialah dengan melihat prilaku atau etika pergaulan yang dilakukan oleh hamba-Nya, baik saat hamba tersebut bergaul dengan sesama manusia (hablumminannas) atau saat sedang bergaul dengan Allah (hablumminallah). Sudahkah pergaulan tersebut tergolong makruf oleh-Nya? Bagaimana mungkin dapat dikatakan makruf apabila kita berpoligami tanpa persetujuan isteri atau tanpa kondisi tertentu yang wajib dipenuhi sebelum berpoligami. Kamu tahu betapa sakit dan dzalimnya hal tersebut baginya. Itu bukan suatu kemakrufan sahabatku. Bayangkan saja rasanya kamu di duakan oleh isterimu, bagaimana sakitnya. Berbuat adillah, karena adil dekat dengan taqwa, sedangkan taqwa adalah jalan menuju surga, bukankah mampu berbuat adil merupakan syarat mutlak sebelum berpoligami”

Pandanganmu sungguh mendalam sahabatku, ungkap Baim dihati.

…SALAH SATU FAKTOR YANG MENJADI PERTIMBANGAN ALLAH DALAM MELIMPAHKAN KEMURAHAN-NYA KEPADA KITA IALAH DENGAN MELIHAT PRILAKU ATAU ETIKA PERGAULAN YANG DILAKUKAN OLEH HAMBA-NYA, BAIK SAAT HAMBA TERSEBUT BERGAUL DENGAN SESAMA MANUSIA (HABLUMMINANNAS) ATAU SAAT SEDANG BERGAUL DENGAN ALLAH (HABLUMMINALLAH). SUDAHKAH PERGAULAN TERSEBUT TERGOLONG MAKRUF OLEH-NYA?...

“Mengenai hadits tentang Fatimah yang kamu sebutkan tadi, betul bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah untuk menolak poligami, tapi ada ibroh yang mendalam dapat kita ambil dari hadits tersebut. Bahwa dari hadits tersebut kita peroleh dua pelajaran berharga, pertama, seorang istri berhak untuk memberikan respon apakah setuju atau tidak atas keinginan suami untuk berpoligami, walaupun persetujuan tersebut bukan merupakan syarat sah bagi poligami suami apabila tetap ingin berpoligami, tapi layak untuk dihargai dan dijadikan bahan pertimbangan. Kedua, seorang istri berhak untuk menuntut cerai atas ketidak-sedia-annya dipoligami. Ingat itu sahabatku. Tunaikanlah segala sesuatu sesuai dengan haknya masing-masing”

…PERTAMA, SEORANG ISTRI BERHAK UNTUK MEMBERIKAN RESPON APAKAH SETUJU ATAU TIDAK ATAS KEINGINAN SUAMI UNTUK BERPOLIGAMI, WALAUPUN PERSETUJUAN TERSEBUT BUKAN MERUPAKAN SYARAT SAH BAGI POLIGAMI SUAMI APABILA TETAP INGIN BERPOLIGAMI, TAPI LAYAK UNTUK DIHARGAI DAN DIJADIKAN BAHAN PERTIMBANGAN. KEDUA, SEORANG ISTRI BERHAK UNTUK MENUNTUT CERAI ATAS KETIDAK-SEDIA-ANNYA DIPOLIGAMI…

Baim hanya diam, terasa pengajian intensif yang di ikutinya tentang poligami serasa hambar, karena sesungguhnya dia belum menguasai dan memahami masalah mendasar dari adab awal sebelum berpoligami, terlalu terburu-buru mempelajari adab-adab setelah berpoligami.

“Ingatlah Baim sahabatku, sekali lagi aku katakan, aku sama sekali tidak menolak poligami apalagi mengharamkannya, sebab saat kita sedang berbicara tentang poligami, sesungguhnya kita tidak sedang berbicara mengenai boleh atau tidak, sah apa tidak, haram ataukah halal, tapi perlu atau tidak, sebab poligami sebuah solusi bukan sunah. Bukankah Rasulullah lebih dari 20 tahun mempratekkan hidup monogami bersama Khadijah r.a, lebih lama daripada kehidupan poligami beliau. Mengapa bukan hal tersebut yang kita pratekkan?”

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-A’raf : 33).