Selasa, 12 Januari 2010

Cerpen : Sang Mutarabbi


Cerpen : Sang Mutarabbi
Oleh : Erjie Al-Batamiy

Mukhlis berlari sekuat tenaga,deras peluh mengucur di sekujur tubuhnya. Ingin rasa hatinya berlari cepat, walau hal tersebut kurang memungkinkan. Tubuhnya tambun, baru saja beberapa langkah,nafasnya sudah tersengal-sengal. Ada hal penting yang ingin diberitahukannya kepada kak Zein, dan dia berharap kiranya kak Zein tengah di rumah saat ini.

“Assalamu’alaikum..Kak..” Sambil mengetuk pintu rumah, Mukhlis mengawali dengan salam, sedang Zein tengah asyik dengan kegiatan muroja’ah-nya (mengulangi hafalan Al-Qur’an). Sehari bisa lima jam dia menghabiskan waktu untuk membaca, mempelajari dan mengulangi hafalan Al-Qur’an.

“Wa’alaikum salam” Zein bergegas membuka pintu rumah. “Eh ada Mukhlis, ada apa lis?”

“Gini kak, tadi pak Ustadz Ibrahim meminta kepada saya untuk memberitahukan kepada Kak Zein, bahwa ba’da isya’ nanti Kak Zein diminta datang menemui pak Ustadz Ibrahim”

“Ada apa ya lis?” Zein penasaran. “Yaa.. Mukhlis gak tau kak, pokoknya kata pak Ustadz Ibrahim penting. Jangan sampe tidak datang, kalo bisa agenda ba’da isya’ ntar malam diprioritaskan. Gitu kata pak Ustadz Ibrahim”

Sebenarnya Zein memiliki agenda lain ba’da isya’ nanti, dia ingin membeli beberapa keperluan untuk menyambut ramadhan. Maklum sebagai bujangan segala sesuatu harus dipersiapkan sendiri. Dari keperluan sahur, hingga berbuka, sedang puasa tinggal menghitung hari. 10 hari lagi ramadhan kan datang menyapa.

Zein saat ini telah menjadi yatim piatu. Dia terlahir sebagai anak tunggal, saat berumur 18 tahun, kedua orang tuanya berpulang, kembali kepada Allah ‘Azza wa jalla, karena sebuah kecelakaan di jalan tol saat ingin mudik kembali ke kampung halaman, beruntung Zein selamat. Zein sangat kesepian, dia tinggal sendiri. Sedikit terhibur dengan profesinya sebagai penulis, dari karya tulisnya dia bisa mencurahkan isi hatinya. Setiap tahunnya, beberapa hari sebelum ramadhan Zein selalu menangis, karena saat-saat tersebut sangat membekas di ingatan maupun batinnya, karena orang tuanya kembali kepada Allah SWT, hanya beberapa hari menjelang ramadhan, tanpa sempat mencicipi ramadhan tahun itu, momen tersebut selalu dikenang oleh Zein. Selalu dia ucapkan doa yang diajarkan Rasulullah SAW apabila tertimpa musibah, “Innalillahi wa innailaihi roji’un, Allahumma’ jurni fi musibati, wa ahlifli khairan minha (sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali pada-Nya, ya Allah berikanlah hamba pahala atas musibah ini dan berikanlah ganti yang lebih baik)”, namun dari doa tersebut membuat Zein bertanya-tanya apakah kiranya yang bisa menggantikan rasa kehilangannya, terhadap orang-orang yang dicintainya.

Sebenarnya luka kesepian tersebut bisa disembuhkan dengan sebuah penawar, yakni dengan kehadiran seorang istri, namun kurang lebih sudah 6 bulan Zein memasukkan proposal nikah lengkap dengan profil dirinya kepada Ustadz Ibrahim untuk di ta’arufkan dengan akhwat dan tak kurang telah 12 akhwat dikenalkan padanya, sayang tak satu-pun menarik dan mantapkan hati Zein untuk menikahi akhwat tersebut. Sampai-sampai Ustadz Ibrahim merasa tidak enak hati dengan koleganya, yakni para murrabiyah yang mutarabbiyah-nya ditolak oleh Zein, sehingga Ustadz Ibrahim dicap memiliki mutarabbi yang terlalu memilih, terlalu mencari yang ideal. Ustadz Ibrahim sendiri tidak mempunyai prasangka tersebut, dia percaya Zein bukan tipikal ikhwan seperti itu. Zein hanya ingin saat memutuskan menikahi seorang akhwat, dia yakin dan mantap bahwa akhwat tersebut se-kufu dan se-fikroh dengannya, sehingga memudahkan proses koalisi mereka untuk menjadi partner, baik di jalan dakwah maupun kala menjalani biduk rumah tangga, dia ingin meninggalkan keragu-raguan menuju kepada kepastian hati dan tidak satu-pun dari akhwat-akhwat tersebut memenuhi kriteria yang diinginkan Zein, yakni se-kufu dan se-fikroh, walau sesungguhnya ada seorang akhwat yang memenuhi kriteria yang diidamkan Zein. Akhwat tersebut bernama Nabila.

Akhwat tersebut yang pertama kali mengajarkan Zein mengaji, mempelajari ilmu fikih, dan ilmu agama lainnya, saat Zein sedang kalut karena ditinggal kedua orang tuanya secara mendadak, akhwat tersebut yang dengan sabar dan telaten membimbing Zein, kebetulan sang akhwat merupakan asisten abinya, sedang abinya merupakan pemimpin pesantren yang saat ini telah bercerai dengan istrinya karena “pulang” duluan menghadap sang Khalik, sehingga jika abinya berhalangan untuk memberi materi kepada Zein, maka sang akhwat sesekali terpaksa menggantikan tugas abinya. Tenaga pengajar masih kurang, karena pesantren tersebut merupakan pesantren kecil. Akhwat tersebut seumuran dengan Zein, tapi untuk masalah agama dia jauh mumpuni ketimbang Zein, setidaknya dulu, untuk saat ini pengetahuan agama mereka menjadi seimbang, karena ketekunan dan kerja keras, Zein mengejar ketertinggalannya. Zein memegang erat petuah murabbinya “Zein ketahuilah bahwa ketekunan mengalahkan kecerdasan, orang cerdas pasti kalah dengan orang tekun, untuk itu jangan berputus asa, tekunlah belajar” petuah tersebut kini telah terbukti khasiatnya.

..KETEKUNAN MENGALAHKAN KECERDASAN, ORANG CERDAS PASTI KALAH DENGAN ORANG TEKUN, UNTUK ITU JANGAN BERPUTUS ASA, TEKUNLAH BELAJAR..

Satu hal yang disesalkan oleh Zein, yaitu nama lengkap dari akhwat yang menggelitik hatinya tersebut. Nama lengkapnya ialah Nabila binti Ibrahim. Akhwat tersebut tak lain merupakan putri tunggal sang murabbi. Berat rasanya, Zein tidak berani mengungkapkan perasaan aslinya, dikubur dalam-dalam angan tersebut, biar melebur menjadi tanah dan hilang ditelan masa.

Satu-satunya orang yang mengetahui perasaan Zein terhadap Nabila hanyalah Faris, teman dekat Zein. Hanya kepada Faris perasaan hatinya diungkapkan. Kebetulan mereka berdua sama-sama mutarabbi Ustadz Ibrahim. Pernah Faris menawarkan diri untuk membantu Zein melamarkan Nabila kepada Ustadz Ibrahim, mengingat Zein tidak berani mengatakan sendiri hal tersebut kepada murabbinya. Sayang, Zein keberatan, baginya itu hanya angan-angan, dan dia tidak enak kepada Ustadz Ibrahim, bisa-bisa dia dipecat oleh Ustadz Ibrahim sebagai mutarabbi. Jadilah keinginan tersebut bagai kiasan “Kasih tak Sampai”.

***

Sholat isya’ berjamaah baru saja usai. Sesuai amanah dari Ustadz Ibrahim, maka seluruh santri berkumpul semua, tak terkecuali Zein, Faris dan tentu saja Nabila. Mereka saling bertanya-tanya ada apa gerangan Ustadz Ibrahim mengumpulkan mereka semua.

Tak berapa lama Ustadz Ibrahim maju ke depan, “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa baraktuh” sontak salam tersebut dijawab oleh seluruh santri, “Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh” bergemuruh masjid tersebut dengan lafadz salam. Setelah mengucapkan tahmid, tahlil kemudian shalawat Ustadz Ibrahim memulai agenda malam itu,

“Tahukah kalian, mengapa bapak mengumpulkan kalian semua disini” Semua santri kompak menggelengkan kepala. “Baiklah. Sekarang Bapak minta kepada Zein dan Faris untuk maju kedepan” Para santri saling berpandangan, heran.

“Zein dan Faris.. ada hal penting yang ingin bapak sampaikan” Para santri tak terkecuali Nabila ikut menyimak dialog antara Ustadz Ibrahim, Zein dan Faris. “Kalian berdua adalah mutarabbi terbaikku. Dahulu kalian masih belum mengerti tentang agama, namun saat ini karena kasih sayang dan kemurahan Allah SWT, Dia memberikan kalian kemudahan untuk mengerti agama, dan dari awal bapak sudah memperhatikan kalian secara seksama, dari perhatian tersebut bisa disimpulkan bahwa kalian berdua memiliki potensi yang luar biasa untuk menjadi juru dakwah yang tangguh. Untuk itu, bisa kalian lihat sendiri, bapak turun tangan langsung membimbing kalian dari awal sebagai murabbi kalian.” Zein dan Faris masih enggan berkomentar, mereka mempersilahkan murabbinya menyelesaikan pembicaraan.

“Bapak merasa kalian berdua telah memiliki kecukupan ilmu, namun bukan berarti kalian harus berhenti mencari ilmu. Tuntutlah ilmu dari masa buaian hingga masuk liang lahat kelak. Untuk itu sudah saatnya kalian berjuang menjadi juru dakwah dan menjadi murrabi. Tidak mungkin selamanya kalian hanya akan menjadi objek dakwah, sudah saatnya kalian menjadi subyek dakwah, tetapi sebelum amanah tersebut kalian emban, ada satu ujian yang ingin bapak berikan kepada kalian berdua.”

..TIDAK MUNGKIN SELAMANYA KALIAN HANYA AKAN MENJADI OBJEK DAKWAH, SUDAH SAATNYA KALIAN MENJADI SUBYEK DAKWAH..

Zein mulai angkat bicara, “Apa ujiannya pak?”, Ustadz Ibrahim menampakan wajah bijaksananya, “Kalian berdua bapak beri tugas untuk berdakwah selama seminggu ini, hitung-hitung sebagai uji coba. Minggu depan kita akan bertemu lagi pada tempat dan jam yang sama seperti sekarang ini, dan harus kalian ingat bahwasanya pada saat pertemuan tersebut, kalian harus melaporkan kepada bapak tempat apa saja yang telah kalian kunjungi untuk berdakwah. Bapak ingin mengetahui siapa yang terbaik diantara kalian” Zein dan Faris tampak serius.

“Dan ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, bahwa setelah ujian tersebut berakhir dan telah diketahui siapa yang terbaik diantara kalian, maka penghargaan atas jerih payah salah satu diantara kalian untuk menjadi yang terbaik adalah bapak akan menikahinya dengan salah satu akhwat di pesantren ini” Semua kaget, para santri penasaran, siapa kiranya akhwat yang dimaksud. Tanpa berlama-lama lagi Ustadz Ibrahim akan menyebutkan sebuah nama, namun sebelum itu Ustadz Ibrahim bertanya kembali kepada Zein dan Ibrahim, “Tahukah kalian siapa akhwat yang bapak maksud?” Keduanya terdiam, lalu Ustadz Ibrahim menoleh ke arah Zein dan berkata, “Akhwat tersebut mantan murrabiyah kamu Zein” Berdetak kencang darahnya, dia tahu siapa yang dimaksud dengan murabbinya, “Akhwat tersebut adalah salah satu pelita hatiku dan penyejuk pandanganku selain almarhumah istriku, dia adalah Nabila, putriku!!” ucap Ustadz Ibrahim tegas. Tak ayal semua yang hadir saat itu terkejut bukan main, terutama Zein dan Nabila, namun tidak Faris, dia hanya diam, raut wajahnya tidak menunjukan keterkagetan, terlihat ada hal besar yang sedang dipikirkannya, Zein menebak-nebak apa kiranya yang tersembunyi dibalik hitam rambut Faris, ada apa gerangan, mengapa Faris sama sekali tidak terkejut. Zein mulai berpikir dan yakin pasti ada sesuatu yang ditutupi oleh Faris selama ini, tapi Zein tidak ingin buru-buru memvonis. Zein menunggu respon faris, sayang Faris tak bergeming, lagi-lagi diam. Dalam hati Zein berkata,

“Wahai sahabatku, mengapa kau hanya diam dan sama sekali tidak terkejut? Bukankah engkau mengetahui bahwa aku memiliki perasaan dengan Nabila, tapi mengapa engkau hanya diam, tidak mengundurkan diri saja dari tugas yang diberikan Ustadz Ibrahim dan membiarkan aku menjadi kandidat tunggal untuk menikahi Nabila, mengapa sahabatku? Atau jangan-jangan..” Ups.. setan berhasil mengambil kesempatan dan memasuki celah hati Zein untuk berburuk sangka, Zein bergumam, “Atau apa selama ini engkau diam-diam memiliki perasaan yang sama dengan Nabila, apa engkau ingin menghujamkan pisau tajam ke punggungku, sungguh celaka aku menceritakan kepadamu tentang perasaanku terhadap Nabila”, belum habis keriuhan yang tercipta, Ustadz Ibrahim langsung saja menutup acara, seusai membaca doa kiffaratul majelis, dia memberi nasehat kepada kedua mutarabbinya, “Persiapkanlah diri kalian” Hanya itu ucapannya, setelah salam, sang murabbi-pun berlalu, begitu juga dengan Faris tanpa menoleh apalagi berkata-kata dengan Zein, sementara Zein sadar bahwa beberapa meter dibelakangnya ada Nabila, dia tidak berani melihat ke belakang. Dia malu kepada Nabila, Zein buru-buru meninggalkan masjid.

Zein resah, bagaimana mungkin dia harus bersaing dengan Faris, sebab Faris lebih senior daripadanya, walau umur mereka kurang lebih sama, namun Faris lebih dulu belajar kepada Ustadz Ibrahim, sehingga tentu saja ilmu dan kepahamannya lebih baik daripada Zein. Ditambah lagi perasaannya tengah terombang-ambing, dengan adanya janji untuk dinikahi dengan Nabila, Zein khawatir niatnya untuk berdakwah selama seminggu nanti bukan karena Allah SWT, tetapi karena ingin menikahi Nabila. Semua tergantung pada niat. Berat sekali pikirnya.

Beruntunglah tiba-tiba Allah SWT memberinya ilham dan petunjuk, dia teringat sebuah kalimat bijak Ustadz Ibrahim, “Kejarlah akhirat karena itu adalah kehidupan sesungguhnnya, jika kita mengejar akhirat dengan niat, semangat dan cara yang benar, maka insya Allah dunia akan berada digenggaman kita, ditundukkan dunia bagi kita sebagai perhiasan dari Allah SWT, sedangkan jika kita mengejar dunia, ketahuilah bahwa jangankan akhirat, dunia-pun belum tentu dapat, camkan itu dihati kalian” Zein menemukan solusi atas kebimbangannya, dia akan mencoba melakukan Tazkiyatun Nafs (membersihkan hati), meluruskan niat, dan berdoa agar Allah SWT menjaga dan membimbing dia.

..KEJARLAH AKHIRAT KARENA ITU ADALAH KEHIDUPAN SESUNGGUHNNYA, JIKA KITA MENGEJAR AKHIRAT DENGAN NIAT, SEMANGAT DAN CARA YANG BENAR, MAKA INSYA ALLAH DUNIA AKAN BERADA DIGENGGAMAN KITA, DITUNDUKKAN DUNIA BAGI KITA SEBAGAI PERHIASAN DARI ALLAH SWT, SEDANGKAN JIKA KITA MENGEJAR DUNIA, KETAHUILAH BAHWA JANGANKAN AKHIRAT, DUNIA-PUN BELUM TENTU DAPAT..

***

Seminggu telah berlalu, hari yang dinantikan akhirnya tiba. Para santri termasuk Ustadz Ibrahim hadir, tak luput juga Nabila, yang mau tidak mau harus mendengar hasil keputusan penting abinya. Siapakah yang pantas menikahinya, Zein atau Faris.

Faris mendapat giliran pertama untuk memaparkan hasil dakwahnya selama seminggu ini, “Saya telah mengunjungi 3 masjid, 4 musholla dan 1 TPA” Faris memaparkan.“Kegiatan apa saja yang telah kamu isi di tempat-tempat tersebut?” Tanya Ustadz Ibrahim. “1 masjid saya isi khutbah jum’at, 2 masjid saya isi dengan pengajian, 4 musholla saya bantu mencari donator untuk dana pembangunan, dan 1 TPA saya isi dengan mengajarkan Al-Qur’an”.

“Subhanallah” Ungkap para santri, mereka kagum dengan senior mereka, demikian juga dengan Ustadz Ibrahim, Nabila dan tentu saja dengan Zein. Nabila deg-degan, karena didalam lubuk hatinya, sebenarnya dia telah memilih salah satu diantara 2 ikhwan yang sedang disidang saat ini oleh abinya.

..NABILA DEG-DEGAN, KARENA DIDALAM LUBUK HATINYA SEBENARNYA DIA TELAH MEMILIH SALAH SATU DIANTARA 2 IKHWAN..

“Lalu apa saja hasil yang telah diperoleh dari kegiatan dakwahmu itu?” kembali Ustadz Ibrahim bertanya kepada Faris. “Hasil dari pengajian di masjid-masjid adalah para jamaah masjid tersebut menjadi tahu hadits-hadits mana saja tentang ramadhan yang tergolong dhaif, lalu donator untuk mushola-mushola sudah mulai memberi respon yang positif, sedang di TPA, anak-anak sudah bisa mengaji dengan menggunakan tajwid yang benar. “Subhanallah” kembali decak kagum menyelimuti suasana. “Allahuakbar, bagus sekali Faris engkau memang salah satu yang terbaik, Alhamdulillah aku tidak salah menduga” Ujar Ustadz Ibrahim.

Sekarang tiba giliran Zein, dengan santai Zein maju kedepan dan siap memaparkan hasil dakwahnya, namun yang hadir dibuat heran dengan perubahan penampilan Zein, saat itu dia hanya mengenakan T-Shirt dan celana jeans, mereka jadi penasaran, karena sebagian dari mereka ada yang menginformasikan kepada yang lainnya bahwa seminggu belakangan ini, setiap keluar berdakwah Zein selalu berpenampilan seperti itu.

..DIA HANYA MENGENAKAN T-SHIRT DAN CELANA JEANS..

“Tempat mana saja yang telah kamu singgahi Zein untuk berdakwah?” Ustadz Ibrahim mulai menyidangkan Zein. “1 Pub & Cafe, 1 tempat pemuda-pemudi berkhalwat dan 1 warung internet”. Semua yang ada di masjid terbelalak kaget, bagaimana mungkin orang se-level Zein bisa melakukan tindakan jahil seperti itu. Para santri ada yang ketawa-ketiwi mendengar aksi Zein yang berdakwah pada tempat-tempat tersebut, tapi tidak untuk Ustadz Ibrahim, Faris dan juga Nabila, mereka serius sebab tahu siapa Zein. “Apa saja yang telah kamu lakukan di tempat-tempat tersebut?” Ustadz Ibrahim ingin mengklarifikasi.

“Di Pub & Cafe pada pintu keluarnya saya membagi-bagikan kepada setiap pengunjungnya selebaran berisi ajakan untuk meninggalkan tempat-tempat maksiat, di tempat orang berkhalwat saya datangi sepasang muda-mudi pezina dan saya dakwahi tentang azab dunia & akhirat bagi pelaku zina dan di warung internet saya kirimkan beberapa artikel mengenai ramadhan” Zein berujar apa adanya. Nabila berdebar-debar mendengar jawaban Zein, karena dia paham jawaban tersebut akan berpengaruh pada keputusan abinya untuk menikahkan dirinya.

“Lalu hasil dari dakwahmu?” Tanya Ustadz Ibrahim. “Pada Pub & CafĂ© setelah membandingkan daftar jumlah tamu antara malam setelah selebaran saya bagikan dengan malam-malam berikutnya, ternyata jumlah pengunjung relatif sama, malahan cendrung meningkat, tidak terjadi perubahan, dan untuk pasangan pezina, setelah saya tanyakan ternyata mereka sama sekali tidak terpengaruh dengan dalil yang saya bacakan, mereka tetap melakukan kegemaran mereka yakni berzina, mungkin hati mereka sudah terlalu kelam, sedangkan di warung internet hasil yang diperoleh ialah respon dari pembaca atas artikel kiriman saya yang kebanyakan berisi ucapan “Subhanallah”, itulah hasil dakwah saya selama seminggu ini”. Suasana seketika hening, para santri seakan tak percaya, sungguh jauh sekali hasil dakwah yang diperoleh antara Faris dan Zein, bagaikan langit dan bumi. Faris memperoleh hasil yang gemilang, sementara Zein, hasil dakwahnya sangat mengecewakan, jauh dari yang diharapkan, sehingga semua telah yakin bahwa Ustadz Ibrahim akan memilih Faris sebagai mutarrabi terbaik dan menikahkan Faris dengan putrinya, Nabila. Lain halnya dengan Ustadz Ibrahim, Faris dan Nabila, ketiganya tersenyum, masing-masing memiliki ucapan batin yang berbeda, Ustadz Ibrahim, berkata dalam hati, “Ya Allah innalhamdalillah, aku telah mantap untuk memilih siapa menantuku”, lalu Faris berujar di hati, “Hee.. ternyata dugaanku benar” sedangkan Nabila dengan tersipu malu membatin, “Ya Allah terima kasih Engkau telah memilihkan dia sebagai jodohku, dengan cara apa aku harus membalas semua ini, bantulah hamba tuk mensyukuri nikmat-Mu”.

“Zein, bapak sudah sangat mengenalmu, dan bapak sekarang ingin kamu menjelaskan kepada kami semua dasar pertimbangan atas semua tindakanmu itu”

“Akan saya jelaskan pak, saya melakukan ini karena saya sayang pada kalian semua” Semua bingung, lalu Zein melanjutkan, “Pasti ada yang bertanya-tanya apa maksudnya, begini.. Sepanjang yang saya ketahui, saya yakin bahwa mungkin saja sebagian santri yang hadir disini akan membayangkan bahwa dakwah itu identik dengan tempat-tempat seperti masjid, musholla ataupun TPA, tapi apakah selamanya sebagai juru dakwah kita hanya menunggu bola? sudah saatnya kita menggunakan metode jemput bola dengan mendatangi objek dakwah”.

..APAKAH SELAMANYA SEBAGAI JURU DAKWAH KITA HANYA MENUNGGU BOLA? SUDAH SAATNYA KITA MENGGUNAKAN METODE JEMPUT BOLA DENGAN MENDATANGI OBJEK DAKWAH..

“Tahukah bagaimana cara saya mengimplemantasikan rasa sayang saya dengan kalian? Sekarang silahkan dianalogikan saja sebuah ilustrasi berikut, andaikan saja saat ini kita semua sedang berada di yaumil hisab (hari perhitungan), lalu Allah SWT bertanya kepada kita semua, sudahkah kalian berdakwah kepada seluruh manusia, kita jawab “sudah”, kemudian Allah SWT bertanya kembali, sudahkah kalian mendakwahi mereka yang ada pub, klub malam, dan tempat-tempat maksiat lainnya? Saya rasa kita semua akan kebingungan menjawabnya. Untuk itulah karena rasa sayang saya kepada kalian, kewajiban tersebut saya ambil alih, dan dengan begitu kita semua bisa terhindar dari murka Allah SWT. Saya sadar bahwa untuk tempat-tempat seperti masjid, musholla atau TPA, sudah ada yang mendakwahi, yakni orang-orang seperti faris dan lainnya, sedangkan untuk pub, club malam atau tempat maksiat lainnya, sangat sedikit yang datang kesana untuk berdakwah, dan saya berharap saya termasuk golongan yang sedikit tersebut.” Perlahan-lahan stigma para santri terhadap Zein mulai berubah ke arah yang lebih positif.

“Untuk masalah penampilan, Allah SWT memerintahkan kita untuk berpakaian sesuai dengan syariat-Nya. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimanakah cara berpakaian yang sesuai syariat tersebut, minimal memenuhi 4 hal, pertama menutup aurat, kedua sopan, ketiga bersih & rapi, keempat tidak berlebihan. Apakah pakaian t-Shirt dan jeans yang sedang saya kenakan ini tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat pakaian syar’i tersebut. Ketahuilah bahwa memakai gamis seperti Rasulullah atau baju koko bahkan sorban hanya “salah satu” model pakaian islami, bukan “satu-satunya” model pakaian islami, sehingga sah-sah saja menggunakan pakaian diluar model pakaian gamis atau koko, asalkan memenuhi keempat syarat pakaian syar’i yang telah saya sebutkan tadi. Untuk membuktikan kebenaran pendapat saya, coba kita perhatikan, cara berpakaian antara Rasulullah SAW dan Abu Jahal memiliki kesamaan, yakni menggunakan jubah atau gamis. Kenapa mereka memiliki model berpakaian yang sama, apakah karena mereka se-iman, sama-sama seorang muslim? Tentu tidak. Persamaan mereka adalah mereka sama-sama orang arab, sehingga bisa disimpulkan bahwa gamis atau jubah merupakan pakaian budaya bukan pakaian agama, karena dilihat dari sudut pandang islam, berpakaian sesuai syariat memiliki scoupe yang lebih luas, tidak sesempit itu. Saya berpakaian seperti ini hanya ingin menyesuaikan dengan milieu (lingkungan) dan objek dakwah saya, dengan objek dakwah yang saya sebutkan tadi, tentu saja mereka bakalan skeptis lebih dulu jika saya berpakaian gamis atau memakai jubah, sehingga pendekatan dakwah akan mengalami penolakan sedari awal, dan kenapa saya masih berpakaian seperti ini waktu melaksanakan sholat isya’ tadi, karena saya belum sempat menggantinya, tadi waktu sampe dirumah sudah keburu iqamah, yaa.. jadinya rada kurang pas sih alias salah kostum dan untuk hasil dakwah saya yang masih jauh dari harapan, saya serahkan semuanya kepada Allah SWT, karena bukan hak saya untuk memberikan cahaya hidayah pada hati manusia, saya hanya pemberi peringatan bukan pemberi hidayah. Itulah penjelasan dari saya pak” Luluh sudah kewajiban Zein untuk memberikan penjelasan kepada Ustadz Ibrahim.

..CARA BERPAKAIAN YANG SESUAI SYARIAT TERSEBUT, MINIMAL MEMENUHI 4 HAL, PERTAMA MENUTUP AURAT, KEDUA SOPAN, KETIGA BERSIH & RAPI, KEEMPAT TIDAK BERLEBIHAN..

Rona kepuasaan memancar jelas dari wajah Ustadz Ibrahim, dengan penuh wibawa dia berkata kepada para santri, “Wahai para santri, dari apa yang telah dijabarkan oleh 2 senior kalian yaitu Faris dan Zein setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil, pertama dengan adanya perbedaan karakter dakwah dari mereka berdua, sudah selayaknya kita sebagai juru dakwah saling menghargai dan melengkapi satu dengan lainnya, sehingga seluruh aspek kehidupan dapat disentuh oleh sinar dakwah, untuk itu hargailah perbedaan. Kedua dari hasil dakwah yang diperoleh Zein, seharusnya membuat kita paham bahwa parameter atau ukuran keberhasilan dakwah, bukan terletak pada hasil akhirnya, melainkan sejauh mana para juru dakwah telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berdakwah, jika mereka telah maksimal mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga tidak ada jalan selain itu, maka dapat dikatakan bahwa dakwah mereka berhasil, sebab mereka hanya penyeru bukan penentu, bukan hak mereka untuk menentukan apakah manusia akan berubah menjadi baik atau tidak. Lihatlah berapa ratus tahun Nabi Nuh berdakwah untuk mengajak manusia menyembah Allah SWT, namun lihat hasilnya, jumlah pengikutnya bisa dihitung dengan jari, apakah dakwah Nabi Nuh gagal? Tidak, sesekali tidak, dia telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai penyeru bukan penentu. Ketiga dari cara berpakaian Zein dapat diambil pelajaran bahwa dakwah bukan sekedar focus tentang “apa” yang akan disampaikan, tetapi juga fokus dengan “bagaimana cara” menyampaikan dengan benar,sehingga hasil dakwah bisa maksimal. Hendaklah kita menjadi muslim yang mu’tadil (moderat), jangan melihat islam dengan kacamata yang sempit, karena islam agama yang dinamis dan sesuai dengan segala zaman. Akhirnya bapak telah memutuskan siapa yang berhak menikahi Nabila.” Suasana tegang, raut wajah Nabila dan Zein serius,mereka tidak menyangka secepat ini Ustadz Ibrahim akan memberikan keputusannya, tapi tidak dengan Faris, dia hanya tersenyum santai karena telah mengetahui hasilnya.

..PARAMETER ATAU UKURAN KEBERHASILAN DAKWAH, BUKAN TERLETAK PADA HASIL AKHIRNYA, MELAINKAN SEJAUH MANA PARA JURU DAKWAH TELAH MENGERAHKAN SELURUH KEMAMPUANNYA UNTUK BERDAKWAH..

..DAKWAH BUKAN SEKEDAR FOKUS TENTANG “APA” YANG AKAN DISAMPAIKAN, TETAPI JUGA FOKUS DENGAN “BAGAIMANA CARA” MENYAMPAIKAN DENGAN BENAR,SEHINGGA HASIL DAKWAH BISA MAKSIMAL..

“Zein!! Kamu yang berhak menikahi Nabila” Rasanya jantung Zein ingin lepas dari pembuluh-pembuluhnya, begitu juga dengan Nabila, gadis itu menangis, sebuah tangisan bahagia karena Allah SWT telah mengabulkan doanya untuk bisa menikah dengan Zein, karena selama ini dia telah menaruh hati kepada Zein, namun dia gengsi akan hal itu. Sekuat apapun ditutupinya, ternyata hal tersebut akhirnya diketahui juga oleh Ustadz Ibrahim dengan melihat gelagat Nabila. Atas inisiatif dari Ustadz Ibrahim, dia menanyakan perihal Zein kepada Faris, awalnya Faris enggan untuk menceritakan isi hati Zein kepada Ustadz Ibrahim, namun akhirnya Faris berterus terang dan kemudian Ustadz Ibrahim kompak dengan Faris membuat suatu sandiwara “memperebutkan” Nabila, dalam rangka menjodohkan Zein dengan Nabila. Ustadz Ibrahim tidak ingin “virus merah jambu” menyebar lebih luas lagi, sehingga menimbulkan fitnah di hati Nabila dan Zein.

Sebenarnya bisa saja Ustadz Ibrahim langsung menjodohkan Zein dengan Nabila, akan tetapi sebelum Ustadz Ibrahim sempat mengutarakannya, Zein sudah terlanjur mengajukan proposal menikah kepada Ustadz Ibrahim, dan menurut Ustadz Ibrahim jika memang Zein ingin menikahi Nabila, mengapa harus repot-repot mengajukan proposal segala. Cukup dengan menyampaikan langsung kepada Ustadz Ibrahim, sehingga pada saat Zein mengajukan proposal nikah, itu berarti dia ingin menikahi akhwat lain selain Nabila. Resiko sulit yang harus ditanggung Zein dan Nabila karena berusaha sama-sama jaim (jaga image), hampir saja mereka tidak jadi menikah andaikan saja Zein menerima proposal akhwat yang dijodohkan dengannya.

Zein melihat ke arah Faris, Faris tersenyum kepadanya, seolah-olah ingin mengucapkan “selamat”, Zein menebak-nebak arti senyuman tersebut, Zein merasa dia telah berlaku dzalim karena berprasangka buruk dengan Faris, berfikir bahwa Faris menusuknya dari belakang dengan menyukai Nabila juga, namun hal itu sungguh-sungguh jauh. Zein istighfar, dia menyadari dia telah salah.

Senyuman Faris sebenarnya senyuman puas seorang teman, puas karena berhasil melakoni sandiwara untuk menjodohkan Zein dan Nabila dengan baik. Zein menghampiri Faris,

“Antum sengaja mengalah ya?” Tanya Zein.

“Nggak kok, tapi bukan berarti ana punya perasaan dengan Nabila lho, tidak sama sekali, ana juga udah punya calon, sekarang lagi proses ta’aruf nih. Doain ya moga lancar”

“Amin” Jawab Zein.

“Sedari awal ana yakin antum bakalan keluar sebagai pemenangnya, makanya ana gak mau mundur, dan ternyata tebakan ana benarkan, selamat ya.” Terang Faris.

“Hm.. kalo saja tebakan antum meleset kan bisa berabe akh? Antum gak jadi nikah sama calon antum dan ana gak bisa nikah dengan Nabila.” Zein sedikit protes, sedangkan Faris hanya menyimpan tawa dibatinnya karena ini semua cuma sandiwara.

“Makanya akh, ini pelajaran buat antum, kalo emang suka ya ngomong dong, khitbah akhwatnya, jangan dipendam trus, ntar bisa keduluan orang kan. Makan deh itu gengsi” Zein cuma bisa nyengir.

Bahagia kini menyelubungi suasana pesantren pimpinan Ustadz Ibrahim, terutama bagi Zein dan Nabila, karena besok insya Allah ijab qabul sekaligus walimahan akan langsung diadakan, sementara 3 hari lagi masuk bulan ramadhan, terbayang nur kebahagian menjalar di hati Zein dan Nabila, bagaimana tidak, mulai ramadhan tahun ini mereka akan menjalaninya predikat baru sebagai pria beristri dan wanita bersuami, betapa besar potensi pahala yang bisa mereka reguk, karena pahala ibadah seorang pria atau wanita yang telah berkeluarga jauh lebih besar daripada ibadah mereka yang bujangan, ditambah lagi ibadah tersebut dilakukan dalam momen yang penuh berkah yakni bulan ramadhan. Luar biasa bahagia hati mereka saat ini, sehingga sujud syukur seakan-akan menjadi ritual yang wajib mereka lakukan.

Zein akan tetap melakukan kebiasaannya menangis pada beberapa hari menjelang ramadhan, tapi bukan tangis kesedihan seperti dulu melainkan tangis kebahagiaan, dulu tangis tersebut dilakukannya karena mengenang kepergian kedua orang tuanya, namun kini tangis pada waktu tersebut akan dikenangnya untuk mengingat kebaikan yang telah diberikan oleh Allah SWT, karena mengabulkan doanya untuk diberi pengganti atas kehilangan kedua orang tuanya. Sungguh beruntung Zein dan itu kesudahan bagi mereka yang sabar. Subhanallah walhamdulillah walailahaillahu wallahuakbar...

“Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa" (QS Al-A’raf:128).

Dedicated to:
Kado Pernikahan bwt teman-temanku yang baru menikah, dan menjalani status sebagai suami istri pada ramadhan kali ini, kurang lebih 10 undangan pernikahan teman-teman harus kuhadiri pada 2 bulan belakangan ini.. Huff jadi ngiri hee..

3 komentar: